CHAPTER 8

101K 6.9K 1.8K
                                    

Sanzio berjalan dari arah dapur menuju ke halaman belakang. Di pundak kirinya dia memapah kapak lalu tangan kanannya dia memegang sepasang sandal jepit.

Ada Narra di belakang, duduk di kursi sembari membaca buku yang belum pernah Sanzio baca, dia berniat membantu Sanzio mendapatkan poin-poin penting dari buku tersebut, hingga selalu mencatat semua poin-poin penting yang ditemukannya pada sebuah buku khusus. Sampulnya berwarna putih polos.

Tanpa berhenti Sanzio menjatuhkan sandal yang dibawanya tepat di samping kaki Narra. "Sandalmu."

Sekelebat Narra melihat kepada sepasang sandal di bawah kemudian beralih memandang Sanzio yang berjalan ke arah tumpukan bonggol-bonggol bulat kayu.

"Tidak adakah warna hitam? Kenapa harus pink lagi?" komentar Narra. Dia menutup buku bacaannya.

Sanzio meregangkan otot-otot lehernya siap mengapak. "Tidak ada warna hitam. Pakai saja itu," jawabnya tanpa melihat Narra. Dia mulai mengapak penuh tenaga dan tentu pasti hanya mengenakan koas kutang putih juga jeans hitam.

Rambut agak gondrongnya pun Sanzio kuncir satu dengan bagian depan yang berjatuhan ke depan. Sangat segar karena ia baru saja selesai mandi.

"Aku tidak mau. Kau saja yang pakai." Narra kesal. Semenjak berada di sini, penampilannya menjadi sangat kacau. Setiap hari dia selalu memakai dress anggun yang kadang bercorak bunga-bunga, juga dua kali ini sudah Sanzio membelikannya sandal pink.

Tidak apa hanya sandal jepit biasa, tapi setidaknya janganlah warna pink. Sudahlah warnanya pink, tipis pula. Mungkin besok akan putus lagi, pikir Narra semakin kesal.

"Buang saja kalau tidak mau. Jangan mengeluh sakit kalau kakimu kembali terluka," timpal Sanzio. Mengapak satu kali dengan sangat kuatnya hingga bonggol kayu di bawah langsung saja terbelah menjadi dua bagian.

"Biar saja terluka. Aku tidak mau pakai sandal pink lagi," omel Narra. Mukanya cemberut namun dia perhatikan sandal pink di bawah lalu melihat kepada kaki kosongnya.

Narra berdecak. "Ya sudahlah, kupakai saja."

"Bilang apa?" Sanzio terus mengapak.

"Terima kasih, Paman," sahut Narra asal.

Mendengar Narra mengomel, kesal Sanzio kembali membelikannya sandal pink, di dapur Kenneth dan Ruby dibuat terkekeh serta tersenyum-senyum. Sekarang dapat mereka dengarkan kedua orang itu saling adu mulut karena Sanzio tak suka dipanggil paman oleh Narra, dan Narra ngotot sebab katanya Sanzio sudah tua.

Bukan lagi paman, sekarang Kenneth dan Ruby dengar Narra memanggil Sanzio kakek. Perempuan itu tertawa karena suami istri ini dengar Sanzio mengancam akan melemparnya dengan kapak.

"Sanzio terlihat sabar dengannya. Andai kita memiliki anak perempuan, pasti begitulah gambaran Sanzio dan adik perempuannya," ucap Ruby. Dia sedang membuat adonan kue sementara Kenneth duduk menikmati segelas kopi sambil membaca koran.

"Mereka sangat lucu. Selama Narra di sini, kuperhatikan Sanzio jadi lebih banyak bicara. Narra terus memancingnya untuk selalu bicara dan berdebat akan hal-hal kecil," tutur Kenneth. Dia menyeruput kopinya di gelas.

Ruby memeriksa panggangan kuenya do oven. "Citra galaknya jadi bercampur lucu. Dia jadi lebih hangat." Sambil bicara Ruby juga mengulas senyum.

"Tapi benarkah tidak ada sandal warna lain selain warna pink?" Tiba-tiba Ruby bertanya. Penasaran juga kenapa Sanzio selalu membelikan Narra sandal pink.

Kenneth membuka lembaran koran di sebelah. "Ada banyak. Tapi di matanya Narra hanya cocok memakai sandal pink. Katanya kaki Narra kecil dan putih, jadi lebih cocok pakai warna pink saja agar sesuai dengan dress-dress yang selalu Narra kenakan setiap hari." Kenneth menjelaskan.

SENSATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang