Mobil Sanzio hanya memiliki dua jok, tidak perlu lagi ditanyakan seberapa mahalnya supercar itu, karena dari jumlah joknya saja telah dapat diketahui kualitasnya.
Dan itu artinya, mau atau tidak mau, Narra harus duduk bersebelahan dengan Sanzio. Di depan, di samping laki-laki yang dulu sempat Narra sendiri juluki sebagai raksasa hutan.
Tapi, setidaknya mereka tidak benar-benar hanya berdua. Ada putra Narra bersama mereka, tertidur dalam pangkuan Narra dan bocah itu masih erat menggenggam camilannya.
Narra enggan melihat Sanzio di sebelah. Menjaga agar rasa canggungnya tidak sampai terbaca oleh Sanzio meski sebenarnya Sanzio sendiri pun merasakan hal yang sama—canggung tentu saja.
"Jelaskan padaku, ke mana saja kau selama lima tahun ini," minta Sanzio seketika. Memulai introgasinya dan takkan ia lewatkan satu pertanyaan pun.
Narra membenarkan posisi tidur putranya. "Aku sibuk berkuliah dan mempelajari dunia bisnis. Ayahku telah meninggal, kini akulah yang harus menggantikannya." Sambil melihat ke samping jendela Narra menjawab pelan.
Sejenak Sanzio menatap sisi wajah Narra lalu kembali melihat ke depan. Hendak melewati sebuah bundaran, lantas Sanzio membanting setir kemudinya cekatan, dengan satu tangannya saja dia putar penuh setir kemudi sampai otot lengannya mengencang.
"Jawab dengan lugas. Siapa Ayah anak itu? Dia bukan anakku, dan juga bukan anak Pedro. Aku tahu kau takkan mungkin mau repot-repot mengambil anak asuh dari panti asuhan," papar Sanzio tegas.
Masih ke luar jendela Narra memandang. Matanya sendu berbinar indah, seolah-olah ada sesuatu yang tak dapat ia ungkapkan meski hatinya begitu ingin.
"Kembali dari Lauterbrunnen, aku berpacaran dengan seorang pria dan hadirlah anak ini."
Hening sampai beberapa menit lamanya. Sanzio telah dapat menebak ini, tetapi mengapa dadanya bergemuruh setelah Narra sendiri mengakuinya. Ada rasa kecewa kepada perempuan itu yang tak dapat menjaga dirinya hanya untuk sang suami.
"Dan dia tidak bertanggungjawab?" Sanzio bertanya lagi.
Narra mengangguk samar-samar. Menunduk mengamati wajah imut putranya yang tertidur. "Dia memukulku ketika aku meminta tanggungjawab darinya."
Dengan kecepatan pelan Sanzio melesatkan mobilnya. Mengambil banyak waktu agar ia dapat berbicara lebih lama lagi dengan Narra.
"Jika kau ingat, hari di mana kau akan meninggalkan rumah dan desaku, aku memintamu untuk menungguku. Kusuruh kau menyelesaikan kuliahmu, dan tunggulah aku setidaknya empat sampai lima tahun," kata Sanzio. Masih tak percaya Narra seceroboh itu atas diri sendiri.
Kembali lagi Narra mengangguk samar-samar. Kini ia mengangkat muka memandang Sanzio di samping. Tatapnya sendu muram, mencoba menutupi namun tak kuasa.
"Aku mengingatnya," sahut Narra hampir-hampir parau. "Tapi apakah mungkin pria semahal dirimu bersedia menikahi perempuan sepertiku? Dilihat dari sisi mana pun, kau terlalu sempurna untukku."
Sanzio menoleh hingga tatap mereka bertemu. Kembali lagi ia memandang lurus, memutus lebih dulu kontak matanya bersama Narra.
"Tidak ada yang sempurna, kau tahu itu. Jangan pandang aku dari sisi itu, lihat saja aku sebagaimana selama kau berada di Lauterbrunnen. Aku yang menjengkelkan dan kaku."
Entahlah, Sanzio merasa lidahnya kelu. Seperti ada sesuatu yang menyekat batang lehernya begitu ia mendapati sorot sendu berbinar Narra barusan.
"Memintamu menungguku bukanlah tanpa alasan. Kau perempuan yang ingin kunikahi." Sanzio berterus terang. Toh kenyataannya kini Narra telah menjadi istri temannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SENSATION
RomansFollow untuk membuka bab-bab yang dikunci melalui web ! 21+ || DARK LOVE ROMANCE