CHAPTER 28

81K 5.5K 2.1K
                                    

Jangan silent.
Setidaknya tekan vote jika tidak mau berkomentar.

****

Sembari bertatapan intim, tangan Narra bergerak; membuka ritsleting celana suaminya, melepaskan kaitan kancingnya, kemudian membebaskan benda yang telah mengeras dengan bagian kepala yang besar itu keluar, menggantung lantas jatuh di atas perutnya. Terasa hangat, dan begitu kuat.

"So big," bisik Narra.

"And you love it?" Tangan Sanzio melepaskan gaun Narra seluruhnya. Mereka berbisik-bisik seolah takut akan ada yang mendengar.

Narra menggigit bibir bawahnya kecil. Jemarinya merabai rahang tegas Sanzio. Dia mengangguk samar-samar, malu mengakui bahwa dirinya suka dengan batang besar milik suaminya.

Gesit pun cekatan Sanzio segera menanggalkan seluruh pakaiannya. Menarik juga celana dalam serta bra Narra dan kini mereka telah bugil bersama. Terakhir mereka bercinta adalah di rumah pohon, jedanya sudah cukup lama, dan mereka telah benar-benar ingin.

Penuh sayang, lembut-lembut Narra menyisiri rambut suaminya yang tengah mengulum, menyusu seperti bayi yang kehausan.

Sanzio mengisap sembari memainkan juga puting yang satunya. Tangannya sekarang menjadi sangat nakal, suka sekali memelintiri puting Narra.

"Jangan di leher. Aku masih trauma dengan bekas cupanganmu dari rumah pohon, kau membuat semua mata di rumah ini memandangku." Narra mencegah, tidak mengizinkan Sanzio menyesap kulit lehernya.

Dia trauma, masih malu jika mengingat bekas cupangan Sanzio kala itu yang membuat semua mata memandang, dan bahkan selalu menahan senyum tiap kali melihatnya. Sanzio terlalu brutal, cupangannya selalu dibuat dengan besar-besar juga begitu merah hingga kehitaman.

Manik indah Sanzio berkeliaran di wajah Narra. "Kau malu?"

Narra tersenyum tipis. "Aku malu, mereka pasti membayangkan—"

"Sayangnya aku tidak peduli."

Tidak ada alasan. Sanzio mencucup, mengisap kencang-kencang kulit leher Narra di samping. Dia emut, berpindah dan mengulang proses yang sama. Narra menutup mata, melenguh kecil dan tak bisa menolak kegiatan suaminya.

Lenguhan Narra kian kacau begitu tangan Sanzio bergerak memainkan miliknya di bawah. Sanzio menyangga kedua kaki Narra dengan lututnya, menyesap kembali bibir Narra mengajak istrinya berpagutan, lalu tangannya mengorek-ngorek tepat pada kacang mini milik Narra.

Narra malu, mukanya memanas dan mencegah tangan Sanzio, menahan tangan kekar suaminya untuk berhenti namun Sanzio tetap bergerak, memberi tekanan-tekanan pada klitoris Narra lalu mengucaknya teratur.

"Stoph!" ucap Narra sulit. Bibir mereka masih menyatu.

Sanzio memejam, mulai mabuk terlena. "Umh? Stop why?" balasnya juga nan berbisik, memaguti bibir Narra nikmat. Tangannya tidak mau berhenti.

Sialan memang. Narra merasa gairahnya meninggi, dia sontak sangat bernafsu sebab titik sensitifnya terus Sanzio kacaukan, mengucak dan menekan-nekannya hingga kini menjadi basah.

"Pegang," titah Sanzio serak. Dia bawa tangan Narra ke miliknya, menyuruh Narra memainkannya juga.

Pejaman Narra semakin kuat. Memang bukan lagi yang pertama kali, tetapi sensasi malu-malunya masih tetap sama. Dia masih malu untuk memegang dan memainkan benda yang telah mengobrak-abrikkan miliknya ketika di rumah pohon kala itu.

SENSATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang