First Briefing

1.2K 67 3
                                    

Di sebuah kost - kostan, terdapat 7 anak remaja dari berbagai kota di Indonesia. Mereka adalah trio kembar Vano, Vale, dan Varo juga empat sahabat mereka yang lain yaitu Tristan, Rafli, Raka dan Hari. Ini merupakan hari pertama mereka berkumpul setelah penambahan anggota baru di kostan itu, yakni Raka.

"Oke, gue rasa kita udah saling kenal satu sama lain. Tapi buat lebih jelasnya kita kenalan lagi. Gue Tristan, asli sini. Anak Jakarta. Tapi ya berhubung rumah gue agak jauh, so here i am. Btw, kita semua satu angkatan. Cuma beda jurusan aja. Gue di Fakultas Kedokteran bareng sama Rafli sama Vano. Lanjut, Raf"

"Iya, gue sekelas sama ini anak pinter. Bibit unggul kelas gue haha. Gue dari Bandung, jadi jangan heran kalo tiba - tiba ada kata - kata yang lo nggak ngerti keluar dari mulut gue. Refleks bos. Tapi sejauh ini mah aman, mereka juga pada ngerti sama omongan gue"

"Udah stop, sekarang gue. Hari, anak komunikasi bareng sama Vale. Gue anak Tangsel, tapi nyokap sama bokap aslinya dari Jawa sih. Nggak ngerti juga gue kenapa bisa nyasar ke Tangsel terus kuliah di Jakarta. Nah ini, trio kwek kwek kebanggan gue. Yok kenalan, Val" ujar Hari. Raka yang sedikit merasa canggung hanya diam. Mendengarkan teman temannya berkenalan.

"Gue, sama abang gue Vano juga adek gue Varo asli Jakarta. Pengen aja sih sebenernya ngekost, pengen tau rasanya kayak gimana. Ide awalnya muncul dari dia nih" ujar Vale menunjuk adiknya dengan dagunya

"Ya kan elo juga pengen tau. Lo lebih kepo dari gue ya nyet"

"Hush. Udah dek, nggak usah dilanjut. Dia Varo, adek gue sama Vale. Kita beda beberapa menit aja selisihnya. Lo Fakultas mana?" tanya Vano ramah

"Ekonomi" ujar Raka

"Good. Lo bakal jadi temen gue, anak anak yang lain pada rese. Nggak sejalan sama gue"

"Ya elo aja rebel" timpah Vale

"Nyenyenye. Ngomong nih sama pantat gue"

"Kalem anjir, malu tah sama si Raka. Gak ada jaim jaimnya da" ujar Rafli

"Maklumin, emang agak rese anak - anak sini. Gapapa kan, Ka?" ujar Vano

"Nggak, gue seneng sama kalian. Akrab banget, solid. Gue harap kita bisa temenan baik ya" jawab Raka

"Sure. Karena lo juga anak Jakarta, pasti familiar banget ya sama kehidupannya?" tanya Tristan

"Sedikit. Papa gue nggak begitu bebasin gue, maksudnya circle pertemanan gue dibatasi. Nggak tau deh, katanya buat kebaikan gue. Tapi justru gue sendiri ogah punya circle yang nggak klop sama gue. Gue nggak mau diatur sampe segitunya"

"Oke, lo cocok sama gue bro. Eh tapi kayaknya gue nggak pernah liat lo selama ini. Anak baru?" tanya Varo.

"Nggak. Gue emang jarang masuk kelas aja. Papa udah konsultasi sama rektor sama dosen dosen juga kalo gue bisa ikut kelas online. That's why gue jarang ke kampus"

Setelah mengakhiri obrolan singkat itu, mereka berenam mengantar Raka menuju kamar kostnya. Kamarnya tepat di sebelah Varo. Ia tidak langsung membawa semua barangnya kesini. Hanya beberapa barang penting dan kecil yang ia bawa.

"Santai aja ya sama kita kita. Nggak usah sungkan, selama kita bisa bantu bakalan kita bantu kok. Enjoy your life here" Tristan berucap sambil menepuk kecil pundak Raka.

"Thanks banget, Tris. Lo kayak leadernya ya disini haha"

"Gue juga heran, mau maunya gue jadi yang jagain mereka. Sampe kadang nih kegiatan mereka gue yang atur. Digaji aja kagak"

"Leadership lo emang keren, Tris. Auranya memancar"

"Dikira gue senter. Yaudah, istirahat ya. Gue balik ke bawah dulu, ngerjain laporan"

Raka hanya mengangguk. Kesan pertamanya disini cukup menyenangkan. Tak ada teman yang selalu show off, sok baik, apalagi toxic. Ia sudah lelah dengan tipe teman - teman yang seperti itu. Membuatnya muak. Bahkan, jika ia tidak mengingat orang tuanya, yang sialnya menjadi rekan bisnis orang tua teman - temannya itu mungkin ia sudah melakukan hal diluar nalar. Memukul misalnya. Karena sungguh, ia terlalu lelah.

.

Tristan sampai di lantai bawah. Ketika ia melirik ke meja makan, nampak Vale sedang duduk disana. Menikmati satu mangkuk mie kuah dengan es teh manis di sampingnya. Sesekali lengannya memukul mukul kecil meja. Saking lezatnya makanan yang sedang ia santap itu.

"Mie terus lo, kagak ketauan abang lo?" tanya Tristan

"Ssst. Diem dulu. Dia belom tidur, jangan ngomong keras keras. Nanti dia denger" bisik Vale

"Vaaaan" Tristan justru berteriak. Membuat Vale terkejut. Kedua matanya membola lebar.

"Ngapain lo panggil nyeeet" desis Vale

Tak lama terdengar sahutan suara Vano, karena kamarnya tak jauh dari meja makan. Ia menjadi penghuni lantai bawah bersama Tristan, Rafli dan Hari.

"Nih adek lo, coba dah keluar"

Vano yang muncul dari balik pintu kamarnya langsung menghampiri Tristan yang sedang menyilangkan lengannya di dada. Vale hanya tersenyum kikuk

"Makan, bang" sambil mengangkat sedikit mangkok mie yang dia pegang dengan dua tangan

"Buang" tegas Vano

"Bang.. Sayang ini mubazir" Vale memelas

"Buang" nada suaranya semakin tegas. Tatapan ramah nan lembutnya pun sudah hilang. Maka dengan terpaksa Vale beranjak. Sempat menatap sinis pada Tristan, cepu ujarnya.

"Nggak usah lirik lirik Tristan, cepet"

"Iya abang bentar ini lagi mau berdiri ih sabar"

Vale kemudian berjalan ke dapur. Membuang mie lezatnya itu ke tong sampah dan langsung mencuci piringnya. Ketika ia kembali, hanya ada Vano disana.

"Duduk. Abang mau ngomong"

Maka tak ada pilihan lain selain menurut. Ia duduk berhadapan dengan Vano. Tangannya saling bertaut di bawah meja. Wajahnya tertunduk lesu.

"Gue udah bilang berapa kali. Nanti lo bisa sakit kalo makannya mie terus. Denger gak?"

"Denger abaang"

"Terus barusan apa?"

"Kan baru sekali.. hari ini hehe"

"Gue lagi serius ya. Baru 2 hari lalu lo makan mie di kantin belakang. Terus kemarin siang minum kopi. Mau lo apa? Gue seret ke RS ayah, iya?"

"Ya.. jangan.."

"Mau gue bilang bunda, iya?"

"Nggak abang, gue gak mau.."

"Terus?"

"Yaudah gue minta maaf deh abang" Vale semakin menundukkan wajahnya.

Di atas, Raka tak sengaja mendengar perdebatan dua kakak beradik itu. Ia tersenyum kecil, gimana ya rasanya diperhatiin kayak gitu? Pasti enak. Ngerasa disayang batinnya. Tak lama, Vale berjalan tertunduk menaiki tangga. Sadar bahwa ia sedang memperhatikan Vale, ia buru - buru melanjutkan langkahnya, hendak ke toilet. Sebelum masuk ke toilet, ia berpapasan dengan Vale yang baru saja sampai di lantai atas. Raka menepuk kecil pundak Vale.

"Abang lo sayang sama lo. Marahnya dia jangan diambil hati ya" Vale hanya mengangguk lesu. Ia menyeret langkah malasnya menuju kamarnya di sebelah ujung.

Kostan Abu - AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang