Collaps

643 54 7
                                    

"Raka!!" Vale berteriak sambil berlari menghampiri Raka. Ia meraih lengan temannya itu, memastikan wajahnya baik - baik saja setelah menerima tamparan yang cukup keras.

"Mbak ini kenapa? Kok temen saya main ditampar aja?!" Emosi Vale tak bisa dibendung. Masa bodoh dengan sopan santun. Ia sudah tidak peduli.

"Temen kamu nih nggak sopan! Main ngatain orang sembarangan! Nggak di ajarin orang tuanya, huh?! Oh, saya lupa. Orang tuanya sudah bercerai. Maaf" Ucapnya dengan nada sedikit mengejek.

Apaan sih ni orang? Kok bisa tau tentang keluarganya Raka?

"Mbak yang sopan ya! Seenaknya aja sama orang lain!"

"Well, harusnya temen kamu yang lebih sopan. Saya ini calon ibunya. Jadi dia yang harusnya lebih dulu sopan sama saya. Anak kecil kok begitu kelakuannya. Ingat ya, saya akan membalaskan semuanya!"

Wanita itu kemudian masuk ke dalam mobil sedan yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini dan pergi begitu saja. Vale masih tampak shock dengan apa yang baru saja terjadi. Detak jantungnya masih tak karuan, seolah dipaksa untuk berdetak cepat secara terus menerus. Dan kini mulai terasa sengatan - sengatan kecil di dadanya. Ringisan kecil pun keluar dari mulutnya, ia sedikit menunduk. Menopang badannya dengan tangan dan pahanya.

"Val.. Val.. Lo oke?" Raka coba bertanya pada Vale. Namun anak itu hanya menggeleng kecil.

"Sini sini kita duduk dulu, pelan pelan aja" Raka membantu memapah Vale menuju kursi taman. Dengan perlahan dan hati - hati, ia membantu temannya itu untuk duduk tenang.

"Val.. Tarik nafas pelan, okay? Follow me, inhale.. Exhale.. Ayo Val"

Vale berusaha mengikuti apa yang diucapkan oleh Raka. Namun, dalam setiap tarikan nafas yang ia coba lakukan selalu diiringi dengan rasa sakit yang menusuk. Berakhir ia hanya meremat kaosnya, tepat di pusat rasa nyeri itu.

"Val Val please, coba lagi ya.. Ayo tenang"

Tangan Raka sudah mulai terasa dingin. Ia takut tentu saja. Belum pernah dihadapkan dengan situasi seperti ini seorang diri. Terakhir kali ada Varo disampingnya. Namun kini, hanya ia seorang diri. Sambil mencoba menenangkan Vale, ia coba menghubungi Brian.

"Ya Ka? Kenapa?"

"Bri, lo di deket lokasi gue sekarang kan? Dateng kesini, please. Vale butuh bantuan"

"Oke, sebentar"

Panggilan itu kemudian terputus. Ia sandarkan Vale pada pundaknya. Anak itu sudah terlihat lemas.

"Val, keep your eyes open okay? Brian bentar lagi kesini"

Benar saja, tak lama Brian datang menghampiri. Tanpa banyak bertanya, ia segera membawa Vale menuju mobil yang ia kendarai. Sambil berjalan, Raka berusaha menghubungi Vano. Duh gak di angkat lagi.

Ia membuka pintu belakang mobil, dan masuk lebih dulu. Kemudian ia membantu Brian untuk memindahkan Vale. Ia atur kursi agar Vale mendapat posisi yang nyaman.

"Cepet Bri. Dia udah lemes banget"

Brian kemudian berlari menuju kursi pengemudi. Dengan cepat, ia berusaha mengendarai mobil itu sambil sesekali melirik ke belakang. Memantau kondisi Vale dan Raka.

Vano tak kunjung menjawab panggilan, begitupun dengan Varo. Pada akhirnya, ia menghubungi Tristan, dan beruntung temannya itu menjawab panggilannya.

"Tris lo lagi sama Vano?"

"Dia lagi di kelas, kita lagi giliran kuis. Kenapa? Lo panik banget kedengerannya"

"Okay, listen. Gue lagi di jalan mau ke rumah sakit. Vale collaps, lo kalo udah selesai susul gue. Rumah sakit papanya Vale."

"Shit! Oke, gue nanti sama anak - anak kesana. Hati - hati Ka"

Panggilan dengan cepat ia akhiri. Tak henti - hentinya ia memandangi Vale sambil menggenggam tangannya erat.

"Ka.." Panggil Vale pelan

"Iya.. Masih sakit? Bentar lagi sampe. Tahan ya"

Matanya berkedip lambat. Seolah tenaganya sudah habis terkuras. Genggaman tangannya pun sedikit melemah.

"Ini mau kemana?"

"Ke RS. Tetep sadar oke? Gue disini, gue sama lo terus. Tenang aja, ya?" Vale hanya mengangguk kecil.

Di kampus, Vano keluar kelas dengan wajah yang sedikit risau. Entah apa yang salah, ia merasakan sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.

"Van, udah kelar kan? Yuk cabut" Ucap Tristan. Rafli juga sudah bersiap, dengan tas gendong yang sudah ia bawa.

"Kemana? Buru - buru amat. Beli kopi dulu di kantin deh, puyeng banget gue"

"Ke RS.. Adek lo.."

"Kenapa? Varo? Atau Vale? Adek gue kenapa?!" Tanya Vano tak sabar.

"Vale.. Dia collaps. Raka tadi bilang ke gue, but everything's fine. Vale udah dapet perawatan sekarang"

"Kambuh lagi?" Tanya Vano, dan Tristan pun mengangguk.

"Kenapa bisa kambuh? Raka ngapain aja? Gue kan udah titip ke dia Tris!"

"Van.. Tenang heula coba" Rafli turut menenangkan sahabatnya itu, mengusap pundaknya lembut.

"Bukan salah Raka, ini gak disengaja. Nanti biar Raka yang jelasin. Ayo sekarang lo ikut gue. Varo udah selesai? Dia ada kabarin lo nggak? Gue telpon nggak di angkat terus"

"Dia bilang sampe malem. Gapapa, biar dia fokus. Ayo ke RS." Dan mereka pun bergegas pergi.

Sampai di rumah sakit, Vale sedang tertidur lelap. Hatinya bagai teriris, melihat sang adik yang tadi pagi baik - baik saja kini kembali harus mendapatkan perawatan medis. Raka yang melihat kedatangan Vano pun langsung menghampiri. Menarik tangannya lembut sambil berucap

"We need to talk, Van"

.

"Sialan! Siapa sih wanita itu?"

"Melan, suspected as my father's girlfriend. Tapi gue juga nggak tau, dia beneran pacar papa atau cuma ngaku - ngaku aja. Papa nggak pernah bilang apa - apa sama gue"

"Terus dia ngapain sampe Vale kambuh?"

"Dia shock liat gue ditampar. Dia juga sempet marah - marah sama itu cewek. Mungkin itu penyebabnya." Vano tak bisa berkata - kata lagi. Ia sandarkan bahunya pada kursi tunggu.

"Sorry, gue nggak bisa lakuin yang lo mau Van.." Vano menegakkan kembali duduknya. Kemudian berucap,

"Gapapa, ini bukan mau lo juga kan. Sudut bibir lo masih berdarah, udah diobatin belum?" Raka hanya menggeleng.

"Beruntung banget lo punya temen calon dokter kayak gue. Sini, gue obatin"

Vano mengeluarkan kotak first aid kecil. Mengobati luka di bibir Raka sedikit demi sedikit. Hal itu tak luput dari perhatian Brian

Thank God, Raka has such a loving and caring friends..

.

"Lo pasti bandel lagi kan?" Todong Varo pada Vale. Meskipun kakaknya itu masih memakai selang oksigen, ia tak mudah luluh begitu saja. Ia tau, Vale tipe anak yang cukup nakal. Sering melanggar apa yang ayah sarankan hanya untuk merasakan feel yang berbeda.

"Nggak dek, gue gak nakal sumpah"

"Ya terus kenapa disini? Pake selang segala?"

"Mana gue tau nyet, bacot bener"

"Ada orang sakit ngomongnya jelek begitu"

"Yaudah lo diem makanya. Sini, pijitin kaki gue. Pegel banget tau" Ucapnya manja.

"Hadehh"

Meskipun terkesan enggan, namun pada akhirnya Varo menuruti apa yang Vale minta. Raka dan Vano yang baru saja masuk ke ruangan rawat Vale pun sempat melihatnya.

"Love language mereka itu adu bacot ya Van"

"Haha kayaknya iya. Tapi anehnya gue bisa sayang sama mereka meskipun mereka bikin gue kesel terus. Kenapa ya?"

Raka hanya mengedikan bahunya. Kemudian berjalan menghampiri bed Vale diikuti Vano di belakangnya.

Kostan Abu - AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang