Escape

396 49 4
                                    

Baca dengan pelan dan hati - hati ya teman - teman..

"Betah ya lo disana, sampe nggak ngehubungin gue sama sekali" ujar Brian lewat sambungan telpon. Saat ini, Raka sedang berada di salah satu minimarket yang dekat dengan penginapannya. Cari angin segar katanya, dengan menggunakan sepeda motor yang mereka sewa untuk bepergian dengan mudah dan cepat.

"Betah. Nggak ada yang recokin hidup gue disini. Nggak ada yang ngintilin gue kemana - mana juga. Bebas"

"Mulutnya tajem bener. Tapi seru kan? Nggak ada yang aneh?"

"Seru, banget malah. Gue ngerasa beneran hidup disini"

"Ya lo kira selama ini lo nggak hidup gitu? Aneh - aneh aja perumpamaan lo"

Brian terus saja melanjutkan bicaranya, sedangkan Raka terpaku di tempatnya. Inginnya, ia salah lihat. Namun sepertinya tidak. Ia tak sengaja melihat sang papa, keluar dari salah satu mobil mewah di depan sana. Terlihat juga seorang wanita yang turun dari mobil yang sama, melewati pintu yang lain. Wanita yang sama dengan yang pernah ia lihat di foto itu. Sambungan telpon masih terus berlanjut, Brian sudah memanggil Raka berulang kali. Namun, Raka tak menggubrisnya. Pandangannya berubah, berkilat marah. Tangannya mengepal, sampai buku - buku jarinya terlihat memutih. Baru kali ini, emosinya meluap seperti ini.

"Raka! Lo kenapa?" teriak Brian

"Gue liat papa" ujarnya dingin

"Oh, shit. Please. Calm down, okay. Jangan macem - macem Raka. Lo lagi sendirian. Ka, denger gue kan ya?" nada bicara Brian sedikit panik, namun terlihat sekali ia berusaha menetralkan kepanikannya itu.

"Nggak bisa, gue harus kesana."

Dan kalimat itu menjadi kalimat penutup dalam percakapan telpon mereka. Karena setelahnya, ia bergegas keluar. Melupakan beberapa belanjaan miliknya, bahkan ada beberapa belanjaan milik teman - temannya. Ia tak peduli lagi, yang ingin ia lakukan hanya menghampiri sang papa dan menghajarnya.

"Papa!" teriak Raka

"Raka? Sedang apa kamu disini?" raut wajah papa terlihat sedikit terkejut dengan kemunculan sang anak yang tidak terduga

"Seharusnya aku yang tanya papa. Papa ngapain disini? Dengan seorang wanita pula?"

"Papa hanya dinner dengan kolega. Jangan sembarangan bicara ya kamu. Tidak sopan, bikin papa malu!" ujar sang papa tegas

"Papa bohong kan? Nggak ada perjalanan dinas, iya kan? Perjalanan apa huh? Honeymoon?"

Tiba - tiba satu tamparan keras melayang padanya, mengenai pipinya dengan keras. Raka terhuyung, terduduk di tanah. Kepalanya sangat pening, pipinya sakit, dan hatinya terluka.

"Jaga bicaramu! Seharusnya papa yang marah! Kamu yang sudah bohongi papa. Sudah di bebaskan untuk di studio, malah keluyuran ke tempat lain. Pulang kamu sekarang juga ke Jakarta. Bayu, urus kepulangan anak ini sekarang juga!" ujarnya pada salah satu asistennya. Belum sempat sang asisten mengangguk, Raka sudah terlebih dahulu berdiri. Kemudian menatap sang papa dengan sorot tajam.

"Nggak perlu. Raka bisa pulang sendiri. Silahkan nikmati honeymoon-nya. Jangan harap papa bisa ketemu Raka lagi. Raka benci papa!"

Ia kemudian pergi dari hadapan sang papa. Berjalan cepat menuju motornya, dan melajukannya sekencang mungkin. Pikirannya sudah tak karuan. Tangannya terus saja menarik gas walaupun dengan kondisi yang gemetar. Penyakitnya kambuh di waktu yang tidak tepat. Namun, ia memilih abai. Ia hanya melajukan motornya sekencang mungkin, membelah jalanan kota Bali yang sejujurnya masih asing baginya. Ia sendiri tak tau akan kemana. Pun air matanya turun walau tak diminta.

Di penginapan, semua teman - temannya khawatir. Pasalnya, minimarket pun jaraknya cukup dekat. Berjalan kaki pun tak membutuhkan waktu yang lama. Namun Raka tak kunjung kembali. Mereka takut, kejadian yang pernah mereka alami terulang lagi.

"Dia kemana ya? Gue takut dia kenapa - napa" ujar Hari yang terus saja mondar - mandir di ruang tamu

"Coba bentar, gue hubungin dulu Brian" ujar Rafli. Beruntung, kali ini ia menyimpan nomor asisten pribadi Raka itu setelah sebelumnya ia memintanya langsung ketika hal ini terjadi untuk yang pertama kalinya. Baru menyalakan ponselnya, panggilan masuk ia dapatkan. Dan itu dari Brian.

"Ya, Bri?"

"Raf, Raka udah balik?"

"Belum, ini kita juga lagi bingung sih dia lama banget. Kenapa?"

"Aduh. Gue boleh minta tolong sama kalian? Tolong cari Raka, secepatnya"

"Loh loh emang kenapa?" tanyanya panik

"Nanti gue jelasin. Kayaknya dia abis ketemu papanya disana. I'll tell the detail later, sekarang cari dia dulu. Gue mau cari flight ke Bali, semoga nemu yang deket deket ini." Ketika panggilan terputus, raut wajah mereka berubah tegang.

"Raka kemana, Raf?" tanya Vano

"Nggak tau, si Brian panik banget ini. Katanya itu anak abis ketemu papanya disini. Gue nggak ngerti ini kita harus cari dia katanya"

"Sumpah? Anjing gak bisa dibiarin" timpal Vano

"Bang? Kenapa?" ucap Vale

"Ayo cepet kita cari Raka. Dia lagi nggak baik - baik aja. Var, lo sama gue pake motor. Sisanya pake mobil aja, ayo cepet" ia bergegas pergi mengambil kunci motor, dan jaket yang tergeletak begitu saja di kursi depan. Entah milik siapa. Varo mengikuti kakak sulungnya itu tanpa banyak bertanya. Pun yang lainnya melakukan hal yang sama. Masing - masing bergegas keluar dari penginapan untuk mencari temannya itu. Namun, Vale sempat terdiam sesaat. Ia merasakan detak jantungnya tak normal. Jantung gue cepet banget detaknya, batinnya. Namun tak ia hiraukan, ia masih bisa menahannya.

Hingga pukul sebelas malam, Raka belum juga ditemukan. Mereka tak tau lagi harus mencari kemana. Sampai Brian memberi kabar pada Rafli bahwa ia berhasil mengetahui posisi Raka melalui ponselnya. Anak itu berada di sebuah club malam ternama di Bali. Oh tidak, ini merupakan pertanda buruk. Karena menurut Brian, Raka tak pernah sekalipun menyentuh minuman beralkohol itu. Maka dengan cepat mereka pergi ke club tersebut.

"Val, lo oke kan? Muka lo agak pucet itu" ucap Tristan yang berada di sampingnya. Hari yang berada di jok depan sampai menoleh ke belakang. Pun dengan Rafli yang sedang menyetir, ia melirik sejenak spion mobil dan pandangannya mengarah pada Vale.

"Nggak, Tris. Gue oke kok"

"Lo jangan panik oke, Raka pasti ketemu. Dia pasti ada disana, baik - baik aja. Relax Val" Tristan sebisa mungkin menenangkan Vale. Menggenggam tangannya yang terkepal erat. Ia merasakan tangan temannya itu cukup dingin.

"Val, lo nggak oke. Ini tangan lo dingin gini"

"Please, Tris. Kita harus cari dulu Raka. Dia lagi butuh kita"

Tristan hanya terdiam. Ia mengelus punggung tangan Vale menggunakan ibu jarinya. Memberikan sedikit kekuatannya pada Vale.

Setibanya di tempat tujuan, mereka melihat motor sewaan mereka terparkir serampangan di dekat club malam itu. Vale, Tristan dan Hari pun turun terlebih dahulu. Disusul kemudian oleh Rafli di belakangnya. Pandangan mereka beredar, mencari presensi Raka disana.

"Di kanan, itu deket tangga" ujar Hari. Ia juga melihat Vano dan Varo sudah berada di sana. Terlihat seperti sedang membujuk Raka yang masih saja tertunduk di sebuah meja.

Ketika mereka sampai disana, Raka sudah setengah sadar. Dengan cepat Tristan dan Rafli membawanya menuju mobil. Semuanya menyusul, namun ada satu orang yang masih terdiam disana. Dia Vano.

Ka, apa yang terjadi?

Kostan Abu - AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang