Bertemu

303 30 0
                                    

Pagi hari Vano yang damai harus hilang begitu saja ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya dengan brutal. Siapa sih pagi - pagi begini? Udah tau gue abis begadang. Ketika pintu dibuka, muncul sosok Brian disana. Ah, ia tau apa maksud dari orang ini.

"Raka belum pulang, Bri. Nggak tau dia kemana" ujar Vano dengan yakin.

"Udah dicari?"

"Kemana? Hape nya mati. Kita juga nggak tau tempat mana aja yang biasa dia datengin"

"Kalian lagi ribut?"

"Nggak tau deh, dia sensian banget akhir - akhir ini. Heran"

"Gue cuma bisa bilang, jangan sampai hubungan pertemanan kalian rusak cuma gara - gara mentingin ego diri sendiri. Gue pamit cari Raka ya"

Tanpa banyak berkata lagi, Brian pergi begitu saja meninggalkan Vano dengan alis yang bertaut. Aneh, orang gue biasa aja. Si Raka malah yang emosian batinnya.

.

Raka mengemudikan mobilnya cukup kencang. Entah ada dorongan dari mana, tapi saat ini hanya satu kota tujuan yang terlintas dalam benaknya. Semarang. Setelah berpisah beberapa tahun dengan papa, kabarnya sang mama berada disana. Informasi ini tak sengaja ia dapatkan ketika ia berjalan melewati halaman depan rumahnya yang dijaga dua security. Ia mendengar salah satunya berucap Nyonya ke Semarang, jadi model kosmetik katanya. Wajar sih, wajahnya aja cantik begitu. Raka berasumsi nyonya yang ada dalam percakapan dua orang itu adalah mama.

Belum pernah ia pergi ke luar kota sendirian seperti ini. Ponselnya memang sengaja dimatikan, dengan tujuan agar Brian tak dapat menemukan dimana posisinya. Begitu pula dengan teman - temannya. Ah, ia jadi merasa bersalah pada Vano. Padahal seharusnya ia tak melakukan hal itu. Namun, ia terlanjur kecewa terhadap dirinya sendiri. Ia kembali gagal menjaga orang yang ia sayangi agar tetap aman.

Sampai di Semarang, ia berhenti di salah satu warung kaki lima. Memesan satu gelas kopi sachet dan sebungkus roti kemasan. Dalam diamnya, pikirannya berkelana memikirkan Vale. Dia udah pulang belum ya? Kondisinya gimana? Namun ia tak berani bertindak apapun. Ia takut semakin ia dekat dengan Vale, maka semakin besar pula ketakutan akan kehilangan yang ia hadapi.

Secangkir kopi telah dihidangkan di hadapannya, senyum ramah ibu penjual membuat hatinya sedikit membaik.

"Kamu ini bukan orang sini tah?"

"Bukan bu, saya dari Jakarta"

"Oalah, jauhnya. Sendiri saja kamu?"

"Iya bu" jawabnya dengan diiringi senyum kecil

"Hati - hati lho. Nyetir sendirian capek nak, nggak ada yang bisa ganti nanti"

Bahkan gue gak ngerasa capek sama sekali. Hidup gue jauh lebih capek dari ini..

Ibu penjual kopi pun kemudian berlalu. Meninggalkan Raka untuk melayani pembeli lain. Dalam diamnya, Raka melihat seorang ibu muda berjalan bergandengan dengan seorang anak lelaki kecil di tangan kirinya. Wajah sang ibu sangat lembut, membawa kembali ingatannya pada sosok mama.

"Mama, Raka mau selamanya sama mama"
"Iya sayang.."
"Mama jangan pergi ya, Raka nggak mau sendiri"
"Nggak, mama gak akan pergi. Mama pasti akan selalu ada di samping Raka. Sekarang, Raka tidur dulu ya.." Mama mengelus surai Raka lembut. Seolah menyalurkan seluruh kasih sayang yang ia miliki pada anak semata wayangnya itu. Membuat Raka terlelap dengan cepat.

"Kak!!" Teriakan anak kecil di depannya ini membawa kembali kesadarannya. Ia memberikan sebungkus roti yang sudah sedikit terbuka. Sepertinya..

"Rotinya jatuh, aku ambilin. Ini masih bisa dimakan, belum sobek banyak" Raka lantas dengan cepat mengambil roti kemasan itu. Ia merutuki dirinya sendiri, apa yang terjadi padanya?

"Eh, kakak itu rotinya kotor" Ibu dari anak tersebut datang dari arah kanan dengan tergopoh gopoh. "Jangan dikasih lagi. Aduh maaf ya mas.. Rotinya jangan di ambil. Ini saya belikan yang baru" Dengan ramahnya, wanita itu memberikan satu bungkus roti kemasan yang baru dengan varian rasa yang sama.

"Eh nggak apa - apa mbak, saya makan ini aja"

"Loh, jangan. Ini aja, saya sudah belikan. Ayo diterima"

Maka dengan sedikit ragu, ia menerima roti tersebut. Kemudian sedikit menganggukkan kepalanya , memberikan gestur terima kasih. Namun, anak kecil di antara mereka berdua sepertinya tak memahami hal tersebut.

"Kakak, terima kasihnya mana? Ibu sudah belikan kakak roti. Kakak harus bilang terima kasih sama ibuku" Raka tersenyum, kemudian ia berucap

"Makasih mbak, makasih juga adik kecil" ujarnya pada anak lelaki itu seraya mengelus kepalanya.

"Aku ini kakak, kenapa dipanggil adik?!" Ujarnya tak terima

"Loh? Kamu kan sendirian. Adiknya dimana?"

"Adikku sedang sakit, sedang istirahat disana" ia menunjuk satu gedung yang cukup menjulang tinggi diantara gedung gedung yang lain.

"Adiknya sakit, mas. Ini saya mau kesana, gantian sama suami saya"

"Boleh saya ikut mbak?"

Raut wajah wanita itu terlihat terkejut, namun tak lama ia mengangguk. Raka kemudian beranjak dari duduknya, kemudian berjongkok mensejajarkan diri dengan anak kecil di depannya.

"Kakak ikut jenguk adikmu ya? Yuk kita naik mobil kakak. Kalau jalan panas"

"Mobil kakak ada es nya ya?" Matanya berbinar, dan bulat. Mengingatkannya akan satu nama, Varo. Anak kecil ini cukup mirip dengan temannya itu. Raka hanya mengangguk, memberikan jawaban atas pertanyaan si kecil.

"Ayo ayo bunda kita naik" ia kemudian berlari mendahului ibunya dan juga si pemilik mobil

"Kakak hati - hati nak, aduh" wanita itu berusaha untuk mengejar sang anak yang berlari cukup cepat. Kemudian Raka menyusul di belakang sambil tersenyum. Ini kalo muka adeknya kayak Vale gue gak bisa ngomong apa apa lagi dah.

.

Mungkin setelah ini, ia bisa menyebut dirinya sebagai cenayang. Bagaimana bisa, pikiran asal - asalannya ternyata menjadi sebuah kenyataan. Sang anak yang tengah sakit ini cukup mirip wajahnya dengan sahabatnya yang juga tengah sakit itu.

"Orang asing ini siapa kak?" sang adik berbisik pada kakaknya

"Kakak ketemu dia di ibu warung. Dia baik, mobilnya bisa mengeluarkan es"

"Huh?!" Sang adik terlihat sangat terkejut. Mulutnya membentuk bulatan kecil dengan mata melebar. Tak lama, ibu dari kedua kakak beradik ini datang. Menyimpan satu air kemasan, beserta beberapa jenis buah yang disusun rapi di atas piring.

"Mas silahkan diminum dulu"

"Ah iya, saya jadi merepotkan"

"Jangan sungkan. Gapapa silahkan. Oh ya, saya Hani. Anak saya Jean dan adiknya Jeano" Ia mengulurkan tangannya pada Raka yang kemudian langsung disambut oleh Raka

"Saya Raka mbak.."

"Kuliah mas disini?"

"Kalau kuliah, iya memang saya mahasiswa. Tapi kuliah saya di Jakarta"

"Loh? Kenapa disini? Sedang praktek kah?" Raka hanya menggeleng.

"Saya mau ketemu mama saya"

"Oalah, asli sini mas?"

"Bukan juga, mbak duh gimana ya saya bingung jelasinnya" ujarnya seraya mengusap rambutnya canggung. "Mama saya kerja disini, saya sama papa tinggal di Jakarta"

"Oh begitu.. Sendirian aja mas? Jauh loh Jakarta Semarang"

"Iya mbak, udah biasa"

Ia merutuki dirinya sendiri, dalam hatinya ia meminta maaf pada mbak Hani karena ia sudah berbohong. Mengatakan ia sudah biasa kesini, padahal kenyataannya ini kali pertamanya. Obrolan singkat pun mengalir begitu saja sampai tak terasa sudah satu jam berlalu. Maka, Raka pun pamit. Bergegas keluar untuk kembali melanjutkan perjalanannya. Namun, di lobi rumah sakit ia berpapasan dengan seorang yang sedang ia cari keberadaannya,

"Mama?"



Selamat menjalankan ibadah puasa teman teman. So sorry for late update😔 See u at next chapter🫶🏻

Kostan Abu - AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang