"Kenapa kalian gak ada yang bilang sama gue?"
"Dek, lo kan lagi sakit. Gue gak mungkin bilang hal kayak gini pas lo lagi drop. Gue gak sejahat itu"
"Terus sekarang gimana?"
"Brian mau cari dia. Nanti kita tunggu kabar baiknya aja. Percayain semua sama Brian"
"Hhh.. Gila ya. Gue dibohongin kayak gini. Berasa bodoh banget gak tau apa - apa"
"Dek.. Nggak gitu maksudnya. Gue juga bakal bilang sama lo, tapi nunggu keadaannya baik dulu. Kita juga nggak tau Raka dimana. Brian juga kalang kabut cari kemana mana. Kita baru tau dia ada di Semarang pas video call sama lo kemarin" Vano berucap setenang mungkin. Ia tidak boleh terpancing emosi. Salah berucap sedikit saja, semuanya bisa runyam.
"Hah? Raka nggak bilang sama kalian?" Dan Vano hanya menggeleng kecil.
"Makanya, abangnya ngomong tuh didengerin dulu sampe selesai. Jangan main potong, main marah aja lo. Kasian juga abang, dia lagi banyak praktek. Dia juga capek Val"
"Dek.. Udah ya. Gue nggak apa - apa, semuanya baik. Jangan ngomong kayak gitu lagi"
Vale hanya termenung setelah mendengar apa yang Varo ucapkan. Betul, bukan hanya dirinya yang lelah. Semua temannya mempunyai titik lelah, semuanya juga mempunyai hari yang buruk. Sikapnya tadi terkesan egois.
"Gue butuh waktu istirahat. Kalian kalau mau nginep boleh, tapi maaf gue mau tidur duluan ya" Vale berucap datar. Membenarkan posisi tidurnya membelakangi adik dan abangnya, kemudian menarik selimut sampai sebatas pundak.
"Dek, lo terlalu keras sama Vale" ucap Vano sedikit berbisik
"Bang, gue cuma mau dia tau aja. Kita juga nggak yang diem - diem aja pas tau Raka ilang. Kita juga nyari. Tapi di benak dia tuh seolah - olah kita nutupin semuanya, padahal kita juga gak tau kan Raka pergi kemana. Kita nggak salah bang"
"Iya udah.. Nanti gue jelasin lagi sama Vale. Temenin dulu gue makan, laper banget. Yuk buruan"
Vano menarik lembut tangan sang adik bungsu. Membawanya keluar dari ruang rawat Vale. Tanpa mereka ketahui, diam - diam Vale menangis. Apa yang diucapkan adiknya benar. Ia merasa bersalah pada semuanya, terutama Vano..
"Bunda dapet laporan dari nurse-nya Vale. Katanya dia kemarin banyak diemnya. Kenapa ya? Kalian tau sesuatu?" Tanya Ratna pada kedua anaknya. Pagi ini mereka sedang sarapan, bersiap untuk memulai aktivitas seperti biasa. Setelah perdebatan kecil kemarin, Vano dan Varo memutuskan untuk pulang ke rumah. Biasanya ketika malam hari, Vale ditemani bunda atau ayah. Namun semalam, orang tuanya itu sedang menghadiri pertemuan dengan beberapa kolega penting.
"Adek nggak tau bun" Ujar Varo. Vano terus saja menatap sang adik bungsu. Seolah memohon untuk tidak berucap lebih banyak.
"Abang sama adek juga tumben nggak nginep? Biasanya kalau bunda gak kesana kalian suka gantian nginep"
"Nggak apa - apa bunda. Semalem abang belajar, hari ini ada presentasi sama Prof Bayu. Jadi nggak bisa nginep disana. Adek juga hari ini ada sparing, jadi butuh istirahat yang cukup. Maaf ya bunda" Vano berucap lembut.
"Iya, bunda ngerti. Ya sudah, semangat yaa untuk anak - anak bunda" Ratna mengulas senyum manisnya. Senyum yang membuat perasaan Vano menjadi lebih tak karuan. Memang hari ini ia ada presentasi, juga Varo memang ada jadwal sparing dengan tim basketnya. Namun, seharusnya itu tak menjadi halangan. Adik sulungnya mungkin saja kesepian.
Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju kampus, diantar oleh Pak Rudi. Varo memperhatikan gelagat tak biasa dari kakak pertamanya. Tidak banyak bicara dan banyak melamun. Memang diantara mereka itu Vano yang paling irit bicara. Namun, tak seperti ini.
"Abang" Varo menepuk pelan pundak kiri sang kakak. Benar saja, Vano terlonjak kaget. Raut wajahnya sedikit cemas.
"Lo kenapa sih? Dari abis sarapan banyak ngelamun. Katanya mau presentasi, nanti jadi buyar semua materi yang udah lo baca semalem"
"Gue kepikiran Vale.."
"Gak apa - apa bang. Dia juga butuh waktu sendiri. Kan kemarin dia yang minta"
"Tapi tetep aja, gue nggak tega.."
"Hhh.. Yaudah nanti kita balik nginep disana lagi aja. Kata ayah besok dia bisa pulang kan? Sekalian beres - beres. Nanti biar langsung bisa pulang" Dan Vano hanya mengangguk.
.
Disisi lain, Raka sedang duduk berhadapan dengan mama. Pertemuan yang tidak disengaja itu berakhir disini, di kantin rumah sakit.
"Mama apa kabar?" Kalimat yang pertama Raka ucapkan untuk wanita yang telah melahirkannya itu. Wajahnya masih sama, cantik dan lembut. Tidak ada yang berubah dari sosok mama di mata Raka.
"Mama baik, kamu gimana nak? Papa sehat?"
"Baik. Papa juga baik. Bisnisnya semakin lancar" Benar. Kedua orang tuanya ini mungkin saja memutuskan untuk tidak lagi saling berkomunikasi. Hanya untuk sekedar menyapa pun mungkin mereka enggan.
"Syukurlah. Raka ada perlu apa disini? Ada temannya yang sakit?"
"Ma, i miss you.. Everyday." Raka tak menjawab pertanyaan dari mamanya. Ia hanya ingin mengatakan bahwa ia sangat merindukan mama. Bertahun - tahun tak ada kabar apapun. Tak ada yang lebih penting untuk diucapkan selain kata - kata itu.
Di seberang meja, mama menampilkan raut wajah terkejut. Namun segera di netralkan kembali. Beliau menjawab ucapan Raka. Berkata bahwa ia juga sama merindunya.
"Mama kenapa nggak ada kabarin Raka? Raka cuma sama Brian. Nggak ada mama rasanya beda. Mama, Raka mau bisa ketemu terus sama mama. Meskipun mama sama papa nggak bisa bareng lagi, tapi Raka mau ketemu mama sebebasnya. Raka mau telpon mama setiap hari. Ma, Raka pengen mama terus ada di hidup Raka." Ia mengatur nafasnya sejenak. Menguatkan hatinya agar tak menangis.
"Semuanya berat tanpa mama.."
Sang mama terlihat berusaha untuk membendung tangisnya. Berkali kali ia menengadahkan kepalanya. Mencoba kuat di depan putra semata wayangnya ini. Tak kunjung mendapat respon dari mama, Raka mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Meyakini bahwa itu memang ponsel mamanya. Mengetikkan nomor ponselnya disana, kemudian mengarahkannya di depan mama.
"Telpon Raka kapanpun. Raka pasti jawab semua panggilan mama. Sekarang Raka harus pamit pulang, temen Raka nunggu. Mama sehat selalu. Raka sayang sama mama"
Kemudian, Raka bangkit dari duduknya. Berjalan menjauh dari mama tanpa melihat lagi ke belakang. Meskipun berat, ia mencoba untuk tetap tegar. Brian mengirimkan pesan bahwa ia sudah berada di Semarang. Raka tak ingin banyak memikirkan mengapa Brian bisa tau keberadaannya. Hanya berasumsi jika teman - temannya yang memberitahukan hal itu pada Brian.
Turun ke lobi, dan ia menemukan Brian disana. Duduk sambil terus melihat kanan dan kiri, mencari seseorang. Ketika matanya melihat keberadaan Raka, ia langsung menghampiri dan memeluknya erat.
"Lo kemana aja, Ka?" Ujarnya saat memeluk Raka
"Bri, ayo ketemu Vale. Dia masih sakit?"
Brian melepaskan pelukannya. Ia paham, Raka tak ingin ditanya lebih jauh. Maka, ia hanya mengangguk. Berucap bahwa esok hari Vale direncanakan pulang. Maka selanjutnya, mereka mengambil penerbangan paling dekat dan bertolak menuju Jakarta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kostan Abu - Abu
FanfictionAnother story if trio kembar a.k.a Vano, Vale dan Varo tinggal di sebuah kost kostan bersama empat teman mereka- Tristan, Rafli, Raka dan Hari