Nostalgia

397 40 0
                                    

Hari ini adalah jadwalnya Raka untuk pulang ke rumah. Setelah selesai kelas siang, ia dijemput oleh Brian. Mampir sebentar ke kostan untuk memberi kabar pada teman - temannya bahwa beberapa hari ke depan ia tak akan tinggal disana. Semuanya mengerti, paham akan hal itu. Bukan kali pertama juga hal ini terjadi.

"Tiati ya bro!" ucap Vale sambil melambaikan tangan pada Raka yang sudah berada di dalam mobil, namun masih membuka kaca jendela mobilnya. Raka mengangguk, melambaikan tangannya juga.

Sampai di rumah, Raka mendapati sang papa sedang berada di halaman depan rumahnya. Membaca koran ditemani satu cangkir minuman di sampingnya. Mungkin teh hangat. Sejujurnya, ia masih enggan untuk berjumpa dengan sang papa perkara foto yang pernah Brian kirim sebelumnya. Namun, ia akan bersikap profesional saat ini. Berlagak tak tau apapun.

"Baru sampai nak?" Basa basi sang papa

"Iya, pa" Raka menyodorkan tangannya, menyalami tangan kanan papa.

"Segera makan, tadi papa request untuk buat nasi goreng buat kamu"

"Hm. Thank you, pa"

Setelah itu, Raka berjalan masuk ke dalam rumahnya. Memang benar, meja makan sudah tertata rapi dengan hidangan nasi goreng sebagai menu utama. Ada beberapa cup puding dan juga buah potong segar disana. Ia memberikan tas gendongnya pada Brian, kemudian duduk di meja makan. Raka menghabiskan makanannya dalam hening.

Ketika Raka sedang bersantai dengan menonton film, papa datang menghampirinya di kamar. Pakaiannya sudah rapi. Ia yakin, papanya akan meminta izin padanya untuk pergi ke luar kota. Perjalanan bisnis.

"Papa ada kunjungan kemana?" tanya Raka langsung

"Bali, ada yang menawarkan kerja sama. Sayang kalau dilewatkan." Papa berdiri di samping Raka yang sedang duduk di tempat tidur. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Agak lama, around a week. Kamu kalau mau ke studio boleh, satu minggu full pun tak masalah. Asal tetap kuliah dan kerjakan tugasnya. Seperti biasa nanti papa kirimkan summary pertemuannya, biar bisa kamu pelajari. Kamu harus paham seluk beluk bisnis yang akan kamu jalani" Papa mengelus surai Raka dengan lembut. Raka merasakan kasih sayang yang diberikan papa lewat sentuhan itu. Namun, rasanya ia tak bisa melupakan foto itu begitu saja. Dengan keberanian yang ia kumpulkan sejak papa menginjakkan kakinya di kamar, ia mulai membuka suara.

"Papa ada rekan bisnis wanita?"

"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Papa balik bertanya, dengan nada suara yang rendah. Nyali Raka ciut tentu saja, ini pembahasan sensitif.

"Nggak, Raka cuma tanya aja. Kalau ada, let me know ya pa. Raka cuma mau tau langsung dari papa. Bukan dari orang lain"

"Maksud kamu apa?" Papa tak kunjung mengerti maksud ucapan anaknya itu.

"Raka cuma mau bilang itu aja, have a safe trip papa" Raka tersenyum sambil memandang papanya. Papa yang meskipun kebingungan, tetap mengangguk kemudian berlalu. Raka meluruhkan badannya. Hampir saja ia tak bisa mengontrol emosinya. Ingin rasanya ia meledakkan ucapan itu di depan sang papa. Namun ia masih menyadari jika hanya papa dan Brian yang ia punya di rumah ini. Ia tak mau melakukan hal bodoh yang berujung ia ditinggalkan lagi. Melihat tangannya yang sedikit gemetar, ia berusaha meraih botol air minum kecil di nakas. Naas, botol itu malah jatuh dan pecah. Suaranya terdengar cukup nyaring, membuat Brian buru - buru masuk dan menanyakan apa yang terjadi.

"Maaf Bri, tangan gue tremor. Botolnya jadi pecah, minta tolong maid beresin ya. Gue kayaknya harus mandi"

Ia berusaha beranjak dari posisinya. Namun ketika menapakkan kaki di lantai, tubuhnya limbung. Ia jatuh bersimpuh. Brian dengan cepat menghampiri kemudian membantunya untuk duduk di tempat tidur.

"Lo lemes gitu mau mandi" Ujarnya kesal

"Biar emosinya ilang, Bri"

"Nggak gitu caranya, Ka. Istirahat aja, gak usah aneh - aneh. Gue buatin susu anget, mau?" Raka menggeleng. "Mau telpon Vano aja" ujarnya.

Setelah berusaha menelpon Vano beberapa kali, akhirnya panggilan itu diangkat. Vano meminta maaf karena ia telat mengangkat telponnya. Ia baru saja selesai melakukan bimbingan dengan seniornya.

"Ada apa, Ka? Is everything ok?"

"No. Gue gak bisa nahan perasaan gue"

"Maksudnya? Lo kenapa? Tell me the detail, gue nggak paham"

"Gue hampir marah ke papa. I'm such a bad son"

"No, hampir kan? Lo nggak marah kan sama beliau? That's good, berarti lo bisa kontrol emosi lo"

"Gue bilang sama papa, kalau ada rekan bisnis wanitanya yang deketin dia, gue harus tau langsung dari dia. Nggak boleh tau dari orang lain. But it seems like he didn't get it. Mukanya keliatan bingung"

"Heem, terus?"

"Mungkin nggak ya gue salah paham?"

"Maybe. Atau mungkin memang beliau belum bisa kenalin wanita itu sama lo. Belum yakin, kayaknya?"

"Gue boleh ke kostan?"

"Sure, lo juga bayar disini kalo lo lupa" Vano terkekeh kecil

"Nanti gue kesana, mau ke studio dulu sih. See you Van, makasih udah dengerin gue"

"Hm, see you"

.

Raka benar - benar menghabiskan setengah harinya di studio. Memainkan beberapa aransemen lagu yang belum pernah di dengar siapapun bahkan Brian dan papanya. Dulu, ketika keluarganya masih utuh, ia hendak mengajak mama untuk mendengarkan aransemen lagu pertamanya. Itu adalah lagu pertama yang berhasil ia buat, karena sebelumnya ia hanya menyusun melodi - melodi pendek.

Worst thing happen. Perpisahan itu membuat ia mengurungkan niatnya. Lagu yang telah ia siapkan itu tersimpan begitu saja di salah satu folder komputernya. Bahkan ia sama sekali tak mendengarkan lagu itu lagi setelahnya.

Ia melihat satu foto dalam bingkai yang tersimpan di samping pianonya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia melihat satu foto dalam bingkai yang tersimpan di samping pianonya. Itu adalah fotonya ketika ia pertama kali mengikuti resital musik. Taken by his lovely mom. Tak bisa disangkal, wajahnya yang gugup itu terasa lucu jika dilihat. Ia tersenyum kecil, membayangkan bagaimana rasanya jika saat ini mama masih bersamanya. Tentu ia akan bersyukur di setiap paginya. Perlahan, ia memainkan tuts piano itu. Melodinya tercipta begitu saja. Mengalir dengan mudahnya. Sejujurnya, ia mempunyai keinginan untuk meneruskan hobinya ini menjadi suatu hal yang serius. Menjadi pianis ternama misalnya. Namun, kembali lagi. Sang papa tak mengizinkan, maka ia bisa apa?

Kostan Abu - AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang