Setelah pertemuannya dengan mama, Raka semakin berusaha untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Orang pertama yang ia tanya tentulah Brian.
"Nggak tau, Ka. Gue gak banyak tau"
"Gue harus cari info kemana ya?"
"Coba tanya Pak Bayu. Beliau kan lebih lama kerja sama bapak dibanding gue"
"Gak berani nanya. Sungkan"
"Katanya mau tau"
"Nggak deh kalo ke Pak Bayu. Bisa - bisa papa tau. Repot nanti urusannya"
"Kalo gini pasti buntu, Ka. Apalagi informasi sepenting itu dapetnya juga nggak gampang"
Ya. Raka mencari tau asal mula bagaimana mamanya itu pergi dari rumah. Ia hanya ingin tau. Jika mama berkenan kembali, tentu ia akan lebih senang dan akan sangat menghargai itu. Namun jika tidak pun tak masalah. Toh ia juga sudah mulai berdamai dengan kenyataan bahwa ia hanya tinggal dengan papa.
"Ka, kenapa lo tiba - tiba kayak gini? Ada hal yang ganggu lo selama ini?"
"Gue udah kangen mama dari lama. Habis dari RS kemarin, gue bener - bener dibuat kangen mama lewat sosok bundanya Vale. Baik banget, lembut, penyayang. Bahkan sabar banget ngadepin Vale yang lagi rewel. Kalau bunda ada disini sekarang, dia juga pasti baik kayak gitu. Iya kan, Bri?" Ujar Raka seraya menoleh ke arah Brian yang duduk bersebelahan dengannya. Brian hanya mengangguk. Sebetulnya ia sedikit tak yakin. Karena ia tak mengenal banyak sosok mama dari Raka.
.
Sore hari, entah mengapa Raka merasa jenuh. Ia memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Mengambil sekaleng kopi dan pergi ke taman di belakang rumah. Ketika mengamati sekitar, ia sadar satu hal. Pintu rumah kerja papa sedikit terbuka. Papanya itu mempunyai beberapa spot untuk bekerja, salah satunya rumah kecil ini. Ia biasa menghabiskan waktunya disini jika sedang sangat membutuhkan ketenangan. Raka pun hanya dua kali masuk kesana. Pertama ketika ia berhasil menjadi finalis resital piano di tahun keduanya belajar musik dan saat ia diterima di kampusnya saat ini.
Ia berjalan mendekati pintu masuk, melirik ke sekitar mencari keberadaan papa. Sedikit mengintip ke dalam celah pintu, melirik kiri dan kanan. Papa tidak ada disana.
"Tumben banget? Mana nggak dikunci" monolognya. Bukannya apa, ia hanya takut terjadi hal yang tidak diinginkan pada papa. Ia memberanikan diri masuk ke dalam ruangan itu. Sambil memanggil sang papa. Namun hasilnya tetap nihil. Netranya melihat satu kotak kayu, dengan sedikit ukiran diatasnya.
"Itu apa ya? Kayak foto"
Raka mendekati kotak tersebut. Sepertinya, ayah sedang ada urusan mendadak sehingga ia menutup kotaknya dengan asal. Bahkan tidak sempat mengunci pintu. Satu menit, waktu yang ia habiskan untung memandangi foto usang itu. Pikirannya berkecamuk. Ia dibuat tak mengerti. Netranya terus saja mengerjap, memastikan apa yang ia lihat tak seperti apa yang ada dalam pikirannya.
"I-ini kan.."
"Ka.." Brian memanggil dari arah pintu. Dengan cepat Raka menutup dan mengembalikan kotak yang baru saja ia pegang. Kemudian berbalik menghadap Brian.
"Lagi apa? Tumben banget kesini?"
"Cari papa. Tapi kayaknya lagi keluar"
"Bapak ada keperluan urgent. Gue dapet telpon dari Tristan, nanyain lo udah jalan ke kost apa belom."
"Kok gak telpon gue ya?"
"Coba lo liat, ada gak lo pegang hape? Atau kantongin hape?" Raka meraba kedua saku celananya. Mukanya sedikit terkejut dan bingung.
"Loh iya, dimana ya Bri?"
"Ada di dapur. Gue juga tau gara - gara bunyi telpon. Nih" Brian memberikan ponsel itu pada Raka. Tak lama, muncul kembali satu panggilan telpon untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kostan Abu - Abu
FanfictionAnother story if trio kembar a.k.a Vano, Vale dan Varo tinggal di sebuah kost kostan bersama empat teman mereka- Tristan, Rafli, Raka dan Hari