Setelah kejadian kemarin, ayah langsung meminta Vale untuk pulang sementara. Tak diizinkan kembali ke kostan selama beberapa hari. Tentu Vale menolak, berdebat panjang dengan sang ayah. Setelah bunda beberapa kali memohon, ia akhirnya luluh. Dengan syarat ia tetap diperbolehkan mengunjungi kostannya. Ayah setuju, asal tetap dalam pengawasan Vano.
"Ah gue pengen ngekost lagi" keluhnya
"Ya salah siapa lo cheating. Kan udah dibilangin kalo ayah tuh strict banget sama kita - kita. Kalo dibilang nggak ya gak boleh dek"
"Lagian kapan beli nya sih? Kok gue nggak tau ya?" ujar Varo. "Oh anjir, yang pas di ruang tamu, ya kan? Pantesan tingkah lo sus"
"Kok gue gak tau?"
"Lo ngorok bang, mana tau" jawab Varo
"Pantesan. Lagian gue capek banget anjir, tugasnya gak kelar kelar. Itu Prof Bagus emang gak ada lawan kalo kasih tugas. Studi kasus mulu, empet gue"
"Si Tristan aja yang otaknya encer sampe kelimpungan, ngerjain proker sama tugas kampus. Gue kalo jadi dia udah pingsan duluan" tambah Vano
"Paling bener emang kayak gue nih, masih bisa santuy. Bisa futsal, basket, nongkrong juga jalan" ujar Varo. Ia memang anak yang santai, bisa menyeimbangkan kegiatan kampus dan kehidupan remajanya. Namun bukan berarti ia bisa abai begitu saja terhadap tugasnya, karena bagaimana pun ayah dan bunda akan selalu mengawasi hasil dari perkuliahan mereka.
"Si paling famous emang. Base kampus penuh sama nama lo semua tuh. Adek tingkat apalagi, pada ngefans sama lo. Tebar pesona mulu lo" ketus Vale
"Iri bilang aja nyet, lagian gue juga nggak sengaja caper. Ya gimana, orang guenya ganteng?"
"Tapi emang bener loh dek, gue nggak sengaja denger mereka ngomongin lo. Pas gue lagi beli bakmie di kantin, ada cewek - cewek heboh banget ngomongin lo perkara waktu itu. Yang lo sama Yugi ada latihan gabungan sama anak kampus sebelah. Udah gila emang" Vano berucap
"Ya gimana bang, emang gue nya paling bersinar"
"Bersinar lo kata lampu taman. Sono ah jangan di kamar gue, sumpek" Vale mendorong tubuh adiknya yang sedang duduk di depannya
"Ehehe iri kan lo? Gabung ayo sama gue makanya kak, lo kan suka basket juga dulu"
"Adek, udah ah jangan dilanjutin" ujar Vano
"Bukan nggak mau, tapi emang nggak bisa kan?" ujarnya sendu. Setelah Vale berucap seperti itu, seketika semuanya terdiam. Hening. Tak ada yang mengeluarkan suara. Sampai suara pintu terbuka terdengar di telinga mereka. Bunda dengan dress putih bercorak bunga datang menghampiri ketiga anaknya.
"Serius banget, lagi ngobrolin apa ini anak - anak bunda?"
"Biasa bun, kampus. Nih abang lagi gibahin Prof Bagus" timpal Vale
"Hayo, bunda bilangin ayah nih kalian ngomongin beliau" bunda terkekeh setelahnya. Obrolan singkat berlanjut, membahas semua hal. Random.
"Yuk pada tidur, udah malem. Kalian besok ada kelas kan? Kakak nih apalagi kelas pagi. Mau di anter Pak Rudi atau bareng sama Hari?"
"Dianter aja bun, Hari harus muter jauh kalo jemput kakak kesini"
"Yaudah, yuk abang sama adek balik ke kamar"
Setelah suasana kamarnya sepi, Vale merenung. Menghela nafas kencang beberapa kali untuk menetralkan pikirannya. Jujur saja setiap kali Varo membahas tentang kegiatan olahraganya, ia selalu tergiur. Ingin rasanya kembali ke dunia olahraga itu. Memang awalnya, Vale yang bersemangat untuk bermain basket. Varo hanya menemaninya bermain dan Vano mengawasi kedua adiknya. Namun satu peristiwa tak terduga terjadi begitu saja. Vale tiba - tiba pingsan di tengah lapangan. Membuat Vano dan Varo kebingungan. Tak ada riwayat penyakit apapun dalam diri saudara kembar mereka itu. Angina pectoris. Nyeri dada yang diakibatkan oleh tersumbatnya aliran darah ke jaringan otot jantung.
Vale itu penyuka junk food. Sudah ribuan kali diingatkan oleh sang ayah yang merupakan seorang cardiologist, seorang dokter spesialis jantung. Namun, Vale hanya mendengarkan itu. Tak terlalu menerapkannya seperti adik dan abangnya. Hingga kejadian itu membuatnya sadar. Belum sepenuhnya terlambat, masih bisa diatasi. Namun sang ayah tetap protektif padanya. Seperti kemarin, ia diminta untuk diet junk food karena seminggu sebelumnya mereka sudah makan junk food ketika pergi berbelanja kebutuhan dapur.
Beruntung, kali ini sakitnya tak terlalu parah. Ia hanya meminum beberapa butir obat yang diresepkan rekan sang ayah. Sebetulnya, ketika ketiga anaknya meminta untuk tinggal jauh dari rumah sang ayah tentu khawatir. Apalagi anak tengahnya ini butuh perhatian lebih. Namun, mengingat kegiatan kampus yang bisa jadi lebih padat dibandingkan sekolah dan jarak antara kampus dengan rumah pun cukup jauh membuat ayah berusaha melepas ketiga anaknya itu.
Di kampus, mereka semua berkumpul pada sore hari. Ketika semua kelas mereka telah selesai. Ke empat temannya yang lain menanyakan kondisi Vale. Kabar sakitnya Vale dan kepulangan sementara ke rumahnya itu cukup jelas menggambarkan bahwa sakitnya Vale merupakan perkara serius.
"Gue kaget banget pas balik kostan sepi. Padahal gue balik pagi, harusnya kalian udah pada siap ke kampus kan?" ujar Tristan
"Sumpah lo balik pagi Tris?" tanya Vano heran
"Iya, rapatnya nggak kelar - kelar. Kayaknya jam dua apa tiga pagi baru beres, nanggung. Takut juga gue balik jam segitu."
"Lah? Terus lo nginep dimana?" tanya Rafli
"Sekre lah, mana lagi"
"Edan siah. Diluar nalar banget anying. Proker apa sih?"
"Masih rahasia, belom bisa gue kasih tau. Nanti deh, ini masih kerangka banget" jawabnya
"Ini tapi Varo sama Vano masih tetep ngekost kan? Apa gimana?" tanya Tristan kembali ke topik utama
"Masih, gue juga masih ngekost Tris. Cuma emang lagi disuruh balik aja sama ayah" ujar Vale menjelaskan
"Dijaga Val makannya, jangan sembarangan begitu" imbuh Rafli
"Iya tauuu. Udah ah, bosen dengernya"
"Adek.." Vano menasihati. Vale malas mendengar semua nasihat yang sama secara berulang - ulang. Ia meluruhkan badannya, kepalanya bertumpu pada kedua tangannya yang dilipat di atas meja kantin. Melihat itu, Raka mendekatkan duduknya pada Vale. Mengelus rambutnya lembut. Kasian, batinnya.
.
Sampai di rumah, Vale hanya sendirian. Vano dan Varo sudah kembali ke kostan. Ia hanya terdiam di kamarnya, membaca beberapa artikel untuk persiapan weekly test-nya lusa. Pintu kamarnya diketuk, kemudian terbuka. Ayah muncul dari sana. Berjalan mendekati anak tengahnya, duduk bersama di sampingnya. Di atas tempat tidur Vale.
"Besok skip kelas dulu, ya. Kita check up. Ayah udah bikin appointment sama dokter" ayah berucap pelan, halus dan hati - hati. Jika menyangkut hal ini, ia dituntut harus sabar. Bukan hal mudah menjadi Vale. Harus beberapa kali menderita karena kondisinya.
"Aku kan ada weekly test lusa, besok biasanya suka pada bahas rangkuman. Nanti aku nggak dapet rangkumannya gimana?"
"Minta tolong Hari aja ya nak. Biar lusa kamu bisa ikut test nya. Mau ya?"
"Yaudah, Vale nggak bisa nolak juga kan. Ayah pasti bakalan paksa Vale buat check up"
"Nak.. Bukan gitu" ayah berusaha menjelaskan. Namun Vale dengan cepat berucap
"Vale ngerti ayah, maksud ayah baik. Ya kan? Memang Vale aja kemarin yang nakal. Nggak denger apa kata ayah. Maafin Vale"
Perkataan anaknya itu sukses mengobrak - abrik hati ayah. Bagaimana tidak, perkataan anaknya itu seolah menunjukkan rasa putus asa yang tiada akhir. Ia tak bisa berbuat banyak. Hanya memeluk lembut sang anak. Berharap cepat atau lambat, kondisinya akan membaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kostan Abu - Abu
FanfictionAnother story if trio kembar a.k.a Vano, Vale dan Varo tinggal di sebuah kost kostan bersama empat teman mereka- Tristan, Rafli, Raka dan Hari