Raka

817 47 0
                                    

Raka itu cenderung pendiam. Emosinya terlalu stabil untuk seukuran anak remaja pada umumnya. Tak banyak emosi yang ia keluarkan. Ia hanya berusaha menghindari masalah dan menjauhi kesedihan yang kadang datang menghampiri. Sempat beberapa kali ia mencoba untuk mengungkapkan emosinya. Namun, semua itu berujung tak baik. Sang papa tak menyukai hal itu, tipe orang tua yang tak mau dibantah. Maka, apa gunanya ia luapkan semua emosi yang ia rasakan jika hanya berujung sakit?

Kehidupannya mewah, sangat mewah. Dengan sang papa yang mengelola banyak hotel dan restoran mewah, ia bisa dengan mudahnya menginap dari hotel mewah satu ke hotel mewah yang lain. Sarapan di Bali, kemudian makan siang di Palembang bukan hal yang aneh. Sejujurnya, ia seorang introvert. Namun, profesi papanya lah yang mengharuskannya beberapa kali 'mendampingi' kemanapun beliau pergi. Tak jarang pula ia diutus untuk menjenguk anak dari rekan bisnisnya, menambah relasi katanya. Persetan. Ia tak butuh semua itu. Hanya ingin hidup tenang, tak ada manusia jahat di sekitarnya. Bangun di pagi hari, sarapan sereal dengan teh hangat kemudian bermain piano sampai sore adalah hari yang sangat ia impikan. Tanpa campur tangan papa ataupun asisten pribadinya. Ya, Raka memang memiliki asisten pribadi yang mengurus segala keperluannya. Pun menemaninya kemana pun ia pergi.

.

"Jadi Ka, lo tinggal disini berapa lama rencananya?"

"Nggak tau, belum bisa mastiin juga" jawab Raka atas pertanyaan Hari

"Tapi lo nggak di cariin papa lo kan? Asisten lo??" tanya Vale

"Gue balik. Nggak akan stay terus - terusan. Mungkin sehari dua hari aja gue disini. Gue bisa alesan nginep di studio, latihan piano. Papa tau kok tentang studio musik gue, dan untungnya gue masih dibolehin kesana bahkan boleh nginep. Selebihnya gue harus tetep setor muka sama papa"

"Kata gue lo harus bersyukur dek" ucap Vale pada Varo

"Kok gue?"

"Lo pas bilang mau kost dikasih izin kan sama ayah. Gampang lagi. Bunda juga nggak banyak aturan ini itu, asal kita masih bisa jaga diri"

"Hngg bener juga sih.."

"Tapi papa lo tau lo disini Ka?" tanya Tristan

"Nope. Kalo dia tau abis gue"

"Serem banget cuy? Beneran itu teh?"

"Hmm. That's my dad. Dia emang kayak gitu. Egois sih gue bilang haha. Misal lo mau beropini gimana pun, kalo menurut dia nggak berdasar ya tetep aja kalah"

"Gimana bisa dia jadi ayah kalo kayak gitu?" Vale terbawa emosi

"Sabar Val.. Sabaar" ucap Vano

"Sorry, gue malah curhat disini" ujar Raka tersenyum canggung

"No need to say sorry. Lo aman disini, kita semua temen. Gak akan ada yang tinggalin lo, we're in this together" Tristan menanggapi.

"Tapi Ka, gue penasaran. Lo ngapain aja selama temenan sama temen - temen lo yang dulu? Maksudnya tuh kegiatannya apa?"

"Lah lo kepo banget Ri, pengen jadi anak konglomerat tapi kagak kesampaian nih kayaknya" ejek Varo. Ia kemudian memukul pundak Varo

"Ngomong lo jelek. Ya kagak, gue juga sadar diri"

"Ya nggak gimana gimana. Paling ngopi, nongkrong. Kayak anak - anak muda biasa. Cuma yang dibahas ya gitu deh. Saham, inves, properti, beasiswa. Flexing sana sini. Yang cewek nggak jauh jalan - jalan sama shopping. Yang paling sering dibawa ke obrolan sih trip mereka ke Korea Selatan. Ketemu banyak idol cakep"

"Anjing??? Semudah itu??" Ujar Hari kaget

"Iya. Bahkan nggak jarang juga mereka bisa nonton konsernya, di barisan paling depan. Apa ya namanya, barikade?" ujar Raka tak yakin

"Iya barikade!! Wah sumpah sih, gue kalo jadi lo bakalan keseret tuh sama cewek - cewek. Ya gue juga mau lah ketemu idol cewek, pada cantik - cantik banget" heboh Hari

"Halaah. Dah paling bener lo halu aja sono balik lagi ke kamar. Liatin poster mbak Solar" ujar Rafli. Sejak berteman dengan Hari, ia juga jadi banyak tau tentang idol Korea Selatan itu.

"Nanti gue ajak deh kalo mau kesana. Gampang. Gue bisa minta tolong sama mereka buat kenalin ke orang - orang yang biasa bantu mereka"

"HAH??? SERIUS LO?" Raka hanya mengangguk

"Ka, kata gue ya lo jangan terlalu baik sama ni bocah sayur. Suka ngelunjak" ujar Rafli

"Gapapa, kan dia suka. Yang penting have fun aja"

"Ya Tuhan Ka. Bae - bae dah lo disini, bakalan dimanfaatin" ungkap Vale

"Iya dimanfaatin sama lo, buat beli kue stroberi di toko yang mahal - mahal itu" timpal Hari. Vale tersenyum lebar. Temannya ini bisa baca pikiran dengan sangat akurat.

"Santai aja lah sama gue, as long as you guys happy ya gapapa. Sebagai ucapan terima kasih juga dari gue, kalian welcome banget"

Tiba - tiba ponsel Raka berdering, menampilkan nama PA Brian disana. Ia mengangkat telpon itu di depan teman - temannya. Tak banyak yang ia ucapkan, hanya gumaman kecil dan ucapan terima kasih di akhir panggilan. Setelahnya, ia beranjak dari kursinya.

"Kemana Ka?" tanya Vano

"Ke depan. Mobil gue udah di anter" ia langsung saja pergi. Sedangkan teman - temannya yang lain saling bertukar tatap dengan heran.

"Naon? Mobil?" ujar Rafli

"Beneran gak sih?" tanya Hari

"Liat yuk mobil apa. Dijamin kita pasti langsung merasa miskin" ujar Varo. Maka ke enam orang itu langsung bergegas lari menuju depan kosan. Ketika semua sampai di parkiran, mereka melihat mobil mini cooper berwarna putih. Masih sangat baru. Rahang mereka serentak terbuka lebar. Kaget. Mobil yang parkir di parkiran kost mereka ya hanya mobil Vano, Honda Jazz keluaran terbaru. Namun, kini hadir lagi mobil yang lebih 'mahal'.

"Bri, kayaknya mobil ini nggak bisa dipake sama kita bertujuh. Seat nya terbatas banget. Boleh tuker XPander?"

"Boleh, Ka. Besok gue anter"

"Nggak usah buru - buru. Se santainya lo aja. Gue tau lo lagi banyak tugas kan dari papa? Bantuin beliau kesana sini?" Brian hanya mengangguk. Terkadang, Brian membantu PA sang ayah untuk mempersiapkan segala kebutuhan bisnis. Pemuda tinggi tegap itu pun pamit. Raka yang melihat ke enam temannya hanya terdiam di dekat parkiran pun merasa heran.

"Kenapa? Jelek kah mobilnya?"

"Jelek cenah Ri. Apa kabar matic jadul aing?" Ucap Rafli

"Kagak tau dah. Ni dia dateng kesini makin bikin kita sadar, kita bukan siapa - siapa"

Kostan Abu - AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang