« Babak 28 »

8 2 0
                                    

Bagas berjalan dengan menyeret Sisil yang masih tak sadarkan diri, ia pergi menuju garasi dan segera membuka pintunya. Dengan begitu licik, ia memasukkan Sisil terlebih dahulu ke dalam karung sebelum menaruhnya di bagasi mobil. Bagas tak merasa bersalah sedikit pun pada Sisil, padahal ia anaknya sendiri. Ia tersenyum puas lalu kembali masuk ke dalam rumah. « Babak 28 »

Bagas juga berkemas, ia membawa beberapa bajunya dan barang yang diperlukan. Lelaki itu berencana pergi dari rumah untuk sementara waktu. Tak lupa membereskan pecahan vas yang ada di lantai. Ia tak mau Radeya ikut mencurigainya, yang ada malah tambah bikin repot.

Lima belas menit berlalu, Bagas keluar dari rumah dengan menyeret koper yang berisikan keperluannya. Bagas berencana menginap di hotel terlebih dahulu setelah 'mengurus' Sisil. Begitu semua sudah siap, ia melajukan mobil keluar dari rumah ditemani rintik hujan yang mulai turun membasahi kaca mobil.

"Saya harus beresin anak ini dulu. Semuanya bikin kacau saja."

Hujan yang semakin deras membuat arah pandang Bagas terganggu, namun hal itu tak menjadikan alasan Bagas untuk mengurangi laju kecepatan. Siapa sangka ini adalah malam terakhir baginya, ia tak akan lagi pulang ke rumah. Sebuah truk dari arah berlawanan keluar dari jalurnya dan memasuki jalur Bagas. Truk yang baru terlihat beberapa meter di depan Bagas karena terhalang derasnya hujan membuat Bagas sontak terkejut.

Spontan Bagas membanting stir ke arah kiri dengan laju kecepatan yang masih tinggi. Mobil milik Bagas pun menjebol pembatas jalan dan membuat mobil beserta semua yang ada di dalamnya ikut terjun bebas ke dalam sungai dengan arus yang kuat karena hujan sedang turun begitu deras.

<3 <3 <3

[Sisil]

Yaudah, aku ketemu Ayah dulu

Udah selesai belum? 
Gimana Sil
Kamu udah pulang?
Semua oke kan?

Panggilan tak terjawab pada 11.32
Panggilan tak terjawab pada 11.34
Panggilan tak terjawab pada 11.35

"Loh, Hideka belum pulang?" Pak Kunto yang bersiap memasuki mobil mengurungkan niat karena melihat pegawainya yang berdiri sambil terus menatap handphone di depan kafe yang sudah terkunci. Tangan kirinya erat memegang payung karena hujan rintik mulai berubah menjadi deras.

"Nunggu Sisil, Pak. Saya harus jemput dia, tapi belum ngabarin sampai sekarang."

"Loh, memang Sisil ke mana?"

"Pergi ke rumah temannya," jawab Hideka sekenanya, tak mungkin juga ia berkata seperti apa yang ada.

Pak kunto berpikir sejenak. "Mau kita hampiri Sisil ke rumah temannya? Saya antar pulang sekalian nanti," tawarnya sambil menunjuk mobil.

"Jangan, Pak. Nanti malah merepotkan." Hideka tak enak hati karena Pak Kunto sudah banyak berbuat baik padanya.

"Ini hujan mulai deras, Deka. Ayo saya antar."

"Makasih, Pak. Saya nunggu saja di sini."

"Yang benar?" Deka mengangguk diiringi senyum.

"Ya sudah, jangan malam-malam kamu pulangnya. Saya duluan." Pak Kunto lantas menepuk bahu Hideka dan masuk kembali ke dalam mobil.

"Iya, Pak. Hati-hati di jalan."

Tiga puluh menit waktu berjalan, tak ada balasan pesan dari nomor Sisil. Hideka juga sudah memanggil nomornya berkali-kali. Tetap saja tak dijawab. Ia mulai khawatir, perasaan tak tenangnya semakin menjadi saja.

terima kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang