« Babak 26 »

26 3 3
                                    

"Ayo aku antar pulang!" Hideka langsung menempatkan dirinya untuk berjalan di sebelah Sisil. Hari ini semua pegawai kafe pulang cukup larut, termasuk Pak Kunto. Kedatangan penyanyi ibu kota membuat pengunjung terus datang silih berganti. Ditambah penyanyi itu dengan suka rela mau berduet dengan Hideka. Tak ada yang menyangka kafe sederhana milik tempat mereka bekerja akan kedatantan orang yang notabene cukup terkenal di sini.

Dua yang kini sudah jadi satu, Hideka dan Sisil. Semakin hari semakin lengket saja semenjak pulang healing dari pantai kemarin. Bahkan Sisil yang pribadinya cukup cuek sudah tak enggan lagi menggunakan sebutan 'aku-kamu' dalam percakapan bersama Hideka.

"Pulang malem gini malah ngantarin aku dulu. Kamu nggak capek apa?" tanya Sisil sambil memandang sayu Hideka.

"Loh, justru itu. Kamu pulang malem, harus aku antarin."

Sampai sekarang baik Hideka maupun Sisil tetap berjalan kaki dalam kesehariannya. Toh rumah mereka tidak terlalu jauh dengan kafe.

"Aku besok mau ke rumah Ayah." Seketika Hideka memberhentikan langkahnya. Pandangan Hideka menuntut tanya, apa yang membuat Sisil tiba-tiba ingin mengunjungi ayahnya?

Sisil yang menyadari segera menjawab tatapan itu. "Kamu sendiri yang bilang kalau aku butuh orang dewasa buat jagain aku."

Deka tersenyum mengerti. "Mau aku temenin?"

"Nggak, aku berani kok," ucapnya sambil menggeleng pelan. Mereka melanjutkan langkah dengan pelan. Sengaja mengulur waktu karena apartemen Sisil sudah dapat dilihat, pertanda mereka akan berpisah.

"Aku mau tau, Ayah inget aku nggak, ya? Nggak salah kan kalau aku nanya begitu?"

"Udah jadi hak kamu sebagai anaknya, Sil. Tanya baik-baik, ya. Gini deh, besok kalau udah selesai, pulangnya aku jemput." Hideka tahu bahwa Sisil tak sepenuhnya berani untuk melakukan ini. Dari nada bicaranya yang terdengar ragu, caranya bersikap, tatapan matanya, Hideka bisa tahu.

Tak terasa mereka sudah sampai tujuan, keduanya berpisah. Sisil segera masuk ke apartemen dan Hideka putar balik untuk pulang ke rumahnya.

Sebenarnya, daripada bertemu dengan sosok ayahnya, Sisil lebih ingin mengetahui siapa sebenarnya sosok papa Radeya. Sisil ingin meyakinkan dirinya bahwa aroma parfum milik papa Radeya hanya kebetulan sama dengan aroma parfum sosok lelaki yang berpapasan dengannya sebelum menemukan Ruri yang tergeletak lemas.

Bahkan setelah menutup pintu apartemen, Sisil langsung mencari dua foto yang menjadi pertanyaan yang selama ini bersemayam di pikirannya. Ini akan menjadi pembuka dalam percakapannya besok. Walau terkesan tak masuk akal karena ia akan berkunjung ke rumah Bagas, setidaknya Sisil harus mencoba dulu. Entah Bagas akan menerima kedatangannya atau tidak itu masa bodoh.

Ia memasukkan foto itu ke dalam tas sekolahnya, besok setelah selesai bekerja, ia akan langsung pergi ke rumah Radeya. Sisil banyak menaruh harap untuk semua ini. Ia juga tak bisa berbohong atas kesenangannya untuk bertemu sang ayah.

Selesai membersihkan diri, Sisil berjalan menuju kamar Sarah untuk tidur, ia membaringkan dirinya di kasur sambil menatap langit-langit kamar yang tak terlalu sering dimasukinya itu. Ini kali kedua Sisil tidur di kamar Sarah. Ia mulai terbiasa dengan hal-hal yang bahkan tak berani ia lakukan sebelumnya.

"Besok Sisil mau ketemu Ayah. Ayah inget siapa Sisil nggak, ya?"

Air matanya mulai menetes, membiarkan semuanya turun membasahi pelipis mata. Sisil akan menjadi paling payah kalau menyangkut urusan Sarah. Ia terus bermonolog, seakan berbicara dengan Sarah.

"Kalau Bunda ada di sini, kita pasti ketemu bareng sama Ayah. Sisil kangen Bunda, kangen Ayah."

"Kalau ditanya, Sisil sebenernya capek. Bangun pagi, sekolah, kerja, bangun lagi, kerja lagi, sekolah lagi. Tapi kalau Sisil nggak kerja gimana mau makan? Sisil juga harus kumpulin uang biar Sisil bisa lanjut kuliah. Kalau nggak dimulai dari sekarang, pasti susah kekumpulnya. Sisil nggak mau pakai gitu aja tabungan Bunda."

"Sisil juga mau dipeluk lagi kayak dulu, dibuatin bekal, dibangunin setiap pagi. Waktu nggak bisa mundur, ya?"

"Harusnya kita nggak lewat jalan itu. Seharusnya Bunda masih bisa tidur disamping Sisil sekarang. Sisil sayang sama Bunda, sayang banget. Dari kecil urus Sisil sendirian, Bunda kerja sana-sini biar Sisil bisa sukses. Tapi sekarang kalau nggak ada Bunda, Sisil gimana?"

Sisil berhenti bicara sejenak, mengambil napas dalam-dalam. Mengingat semua kejadian malam itu membuat dadanya semakin sesak saja.

"Bunda, kalau Radeya memang bener adik Sisil, Sisil janji buat jagain Radeya. Sisil bawa Radeya ketemu Bunda, ya. Walaupun udah telat, Radeya harus tau. Tapi Sisil bingung, cerita yang sebenarnya itu gimana, kalau Radeya juga anak Bunda, kenapa ada Tante Ruri? Besok Sisil mau lurusin semuanya, Sisil mau ketemu Ayah."

"Terus kasih semangat buat Sisil dari sana ya, Bunda."

<3 <3 <3

tbc.

terima kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang