« Babak 7 »

128 20 48
                                    

Bagas terbangun karena mimpi yang cukup membebani pikirannya sekarang. Keringat bercucuran membasahi kemeja yang ia pakai seakan-akan ia selesai berolahraga. Lelaki paruh baya itu menyugar rambutnya kasar. Suara helaan napas keluar dari mulutnya berbarengan dengan langkah kakinya yang berjalan menuju kaca di kamar.

Hanya sebentar, Bagas memandangi cerminan dari dirinya itu. “Maafin saya,” lirihnya pelan sambil berjalan keluar kamar. Ia pergi menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Semenjak kematian istrinya Bagas sering memasak di rumah. Awalnya memang susah, mengingat ia adalah seorang lelaki yang sebelumnya semua urusan rumah dan dapur pasti Ruri yang mengerjakan.

Tapi sekarang ada perkembangan dalam skill memasaknya. Bahkan Radeya sudah memilih tumis kangkung ebi sebagai menu favorit hasil pergulatan papanya dengan alat dapur. Apalagi kalau ditambah tempe tepung yang masih hangat-hangat. Radeya bisa menghabiskan seisi nasi di magic com untuk santapannya.

Tapi untuk sarapan hari ini Bagas hanya akan membuat makanan simple saja, roti isi. Ia mengeluarkan kornet sapi kalengan dari kulkas, mencampurkannya dengan kocokan telur, lalu ditumis sampai matang di pan, tak lupa ditaburi garam dan lada. Sambil menunggu matang, ia kembali membuka kulkas untuk mengambil selada dan tomat untuk pelengkapnya. 

Roti tawar gandum sudah tertata di piring masing-masing. Awalnya di beri selada, lalu campuran kornet telur dan tomat. Di salah satu roti ia menambahi mayonnaise, dan satu lagi membiarkannya begitu saja. Terakhir, satu lembar roti lagi menjadi menutup.

Jam menunjukkan pukul setengah enam, sarapan sudah siap dan tertata rapi di meja makan, ada juga segelas susu cokelat di sana. Tinggal membangunkan putri tercinta untuk sarapan. Saat hendak menuju ke kamar Radeya, ia malah bertemu putrinya itu sedang menuruni tangga. Radeya tersenyum riang dan langsung menghampiri papanya.

“Wahh, Papa masak apa ini?” Radeya bertanya sambil bersiap duduk.

“Cuma buat roti isi. Yaya kan kemarin chat Papa, katanya hari ini ada ulangan. Takutnya telat kalau harus masak yang aneh-aneh.”

“Itu nggak ada mayonnaisenya kok,” ucap Bagas kembali saat melihat Radeya membuka lapisannya satu-persatu. Radeya hanya nyengir lalu langsung melahap roti isi itu.

“Enak?” tanya Bagas penasaran.

“Enaklah, mana ada masakan Chef Bagas yang nggak enak. Semuanya enak.” Radeya kembali melahap roti di tangannya sampai habis. 

Gelas kosong, tegukan terakhir susu cokelat di depannya baru saja ia minum. Radeya mengambil tas di kursi ruang tamu lalu menghampiri Bagas untuk berpamitan. Ia ada ulangan hari ini, jadi harus berangkat lebih awal.

“Papa bisa masakin ayam goreng yang biasanya Mama masak nggak? Yaya mau itu,” pinta Rdeya dengan tatapan memohon pada Bagas, ia mengangguk sebagai jawaban. Bagas pun tak bisa menolak, ia tahu Radeya akan sedih jika ia menolak permintaannya. 

“Makasih, Pa. Yaya berangkat sekolah dulu, ya.” Selepas memeluk Bagas erat, Radeya pergi keluar rumah untuk berangkat ke sekolah.

“Maafin Papa, Nak.”

<3 <3 <3         

“Transfer kemarin udah masuk, kan?” tanya Deka memastikan.

“Udah. Lagian ngapain dibalikin, sih. Kalau gini pahala gue dicancel nggak?” 

Hideka hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Liam ditambah komuknya yang selalu menjadi aib. “Kalau nggak mau, ya udah sini transfer balik lagi.”

“Jangan, nggak jadi. Baru inget Lala belum dibayar pajaknya.” Untuk kalian yang belum tau, Lala adalah nama Tesla Sport miliknya. Sebagai Warga Negara Indonesia yang tertib ia harus membayar pajaknya, tahun kemarin saja sudah nunggak.

Mereka sedang berada  di kantin SMA sekarang, suasana tak terlalu ramai, maka dari itu Liam dan Deka mau pergi ke kantin. Kalau suasananya ramai mereka akan lebih memilih berdiam di kelas sambil mabar, atau meminum coca-cola di lapangan basket in door. “Dia anak sini?” tanya Liam yang mulai ingin tahu tentang Sisil.

“Bukan, lo juga lihat sendiri kan waktu itu. Bukan seragam SMA kita.” Liam hanya mengangguk-angguk saja. “Namanya?” tanya Liam lagi.

“Adalah. Kenapa?” Sekarang Hideka balik bertanya pada Liam yang sedari tadi bertanya terus.

“Nggak apa-apa, cantik aja, manis. Ajak main ke rumah lo gitu.”

“Ibu udah nyuruh dia ke rumah.” Liam langsung bersemangat, ia bangkit dari duduknya lalu menatap Deka tegas. “Gue juga harus ke rumah lo waktu dia datang!”

Maklumlah, Liam ini anaknya memang rada berjiwa buaya, bawaan dari lahir. Katanya, kalau punya wajah cakep tuh jangan disia-siain, minimal buat godain cewek. Untung tambah ke sini sifatnya tidak semakin menjadi. Awal masuk kemarin, saat Liam MOS, jangan ditanya lagi bagaimana ributnya suasana. Padahal kalau dipikir masih banyak juga kok siswa laki-laki yang lebih bagus kualitas wajahnya daripada Liam.

“Dih, apaan? Nggak bisa, Ibu nggak ngundang lo.” Hideka pun dengan segera menolak permintaan temannya. Ia tahu ujungnya akan jadi apa kalau Liam datang ke rumah.

“Sekali aja, ya?” mohon Liam.

“Nggak. Kalau gue bilang nggak, ya berarti nggak.” Hideka beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan ke ibu kantin untuk membayar soto yang barusan ia santap, dan langsung pergi ke kelas. Meninggalkan Liam yang masih uring-uringan di sana.

Liam berlari untuk segera menyusul Deka yang semakin menjauh. “Bilang aja takut gue ambil. Iya, kan?!”

<3 <3 <3

tbc.

terima kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang