"Sisil, Radeya!" Seruan seorang siswa yang berdiri di ruang kelas membuat keduanya menoleh seketika.
Penilaian Tengah Semester sudah usai, dan kebetulan kelas Sisil sedang berada di fase jam kosong yang mana sangat dinanti oleh para siswa. Mereka anggap ini sebagai refreshing selepas otak panas karena hari-hari melelahkan dikelilingi soal ulangan. Daripada ke kantin untuk memuaskan isi perut, sebagian besar lebih memilih untuk tiduran di kelas atau saling bercengkrama dengan teman sebangku membicarakan topik terhangat minggu ini.
"Dipanggil Bu Rosma. Buruan ke ruang guru, ya!" Siswa itu lantas pergi setelah memberi kabar pada Sisil dan Radeya. Spontan, keduanya saling berpandang, bertatapan satu sama lain. Radeya beranjak lebih awal untuk segera pergi ke ruang guru setelah memutuskan kontak mata dengan Sisil. Sisil pun ikut menyusul langkah Radeya, ia penasaran mengapa Bu Rosma memanggil mereka berdua. Dalam batin ia menerka-nerka kesalahan apa yang sudah diperbuat sampai dipanggil ke ruang guru.
Memasuki ruang guru, mereka menemui Bu Rosma yang sibuk dengan pulpen dan lembaran kertas di meja kerjanya. "Eh, kalian. Ayo, kemari!" panggil Bu Rosma karena melihat keduanya mendekat ke mejanya.
"Ada apa ya Bu Rosma memanggil kami?"
"Begini, tadi Ibu mengecek nilai tugas kalian, untuk tugas kedua kalian masih kosong. Kenapa, ya? Sengaja tidak mengerjakan?"
Sisil meneguk ludah, benar saja ada yang tak beres dengan tugas sekolahnya. "Maaf, kalau boleh tau yang mana ya, Bu?"
"Tugas yang disuruh melakukan pengukuran dengan jangka sorong. Tugas kelompok."
"Saya tidak masuk waktu itu, Bu," jawab Sisil setelah mengingat apa yang terjadi hari itu.
"Radeya?"
Ia diam untuk beberapa waktu, lantas menjawab, "Tidak mendapat kelompok."
"Kan bisa minta gabung dengan yang lain. Kamu ini!"
"Kalau kalian mau ada nilai, segera mengerjakan tugas. Berdua tidak apa-apa, jangka sorong ada di laboratorium kimia, ya. Tinggal bawa benda yang ingin kalian ukur dan buat laporan pengukuran. Minggu depan tenggat waktunya."
"Baik, Bu," ujar mereka hampir bersamaan lalu pergi keluar dari ruang guru.
Melakukan pekerjaan bersama setelah apa yang mereka alami selama ini membuat Sisil ataupun Radeya tak yakin. Tentu mereka akan lebih banyak berbicara untuk kerja kelompok ini. Tapi Sisil berharap bisa mengenal lebih jauh tentang Radeya dan yang terpenting papa Radeya. Pikirannya selalu terusik sejak pengakuan Radeya tentang masalah foto kala itu. Sisil ingin semua kebenaran terkuak, ia ingin mendapat kejelasan.
"Ukur sekarang aja, laporan kerjain di rumah gue pulang sekolah. Gue nggak mau lama-lama, lebih cepat selesai lebih bagus." Radeya memimpin jalan menuju laboratorium untuk segera melakukan tugas.
<3 <3 <3
Radeya berdecak kala melihat mobil sang papa ada di halaman rumah, ada perasaan jengkel setelah ia ditampar papanya sendiri. Apalagi sekarang ia membawa Sisil untuk mengerjakan tugas di rumahnya. Radeya dibuntuti Sisil masuk ke rumah yang bisa dikatakan cukup mewah itu. Sisil ditinggal begitu saja di ruang tamu, sementara ia pergi ke kamarnya.
Karena keadaan rumah yang sepi, membuat Sisil memanfaatkan keadaan. Ia beranjak dari duduk dan melihat sekeliling. Foto-foto terpajang di dinding rumah. Foto Radeya saat masih kecil mendominasi dinding. Dilanjut dengan foto seorang lelaki yang pasti itu papa Radeya. Perasaan Sisil campur aduk, lelaki itu serupa dengan lelaki di foto pernikahan bundanya. Hanya saja lelaki di pigura tampak lebih tua karena faktor usia.
Pandangannya bergeser ke pigura yang paling besar, berada di tengah seakan memang itu foto utama. Ada Bagas, Ruri, dan Radeya di tengah. Hatinya mencelos kala melihat Ruri. Kematiannya membuat Sisil kehilangan Sarah, membuat Radeya lebih benci kepadanya. Memorinya kembali, mengulang bagaimana kejadian malam itu, ketakutan dan ketakutan terus muncul, lalu ketakutan paling buruk menjadi nyata.
"Temannya Radeya, ya?" tanya seorang lelaki paruh baya yang baru saja keluar dari kamar. Pakaian yang ia kenakan rapi, kemeja hijau pucat, dasi senada, tak lupa juga sepatu hitam mengkilat. Dan juga, aroma parfum yang menguar sampai ke hidung Sisil.
Aroma parfumnya familiar, batin Sisil menggantung.
Aromanya sama.
Sama seperti aroma orang berpakaian serba hitam, yang lewat tepat sebelum aku dan Bunda ketemu Tante Ruri yang udah lemas bersimbah darah di gang.
"Mau ngerjain tugas? Saya Bagas, papanya Radeya."
<3 <3 <3
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
terima kasih
Fanfiction"Ayunan di sebelahku kosong, kamu kapan pulangnya?" Kehilangan yang tak menentu akan kembali atau benar-benar tak bisa dipeluk lagi Kehilangan bukan akhir dari segalanya. Hideka yakin gadis yang mulai mendominasi harinya itu akan kembali, ia yakin a...