« Babak 1 »

356 107 108
                                    

"Mas Yuda udah pulang? Kok nggak bilang. Ibu udah tau?"

"Masih di terminal kok. Jemput Mas, ya."

"Iya, Aku ke termi-" Ia menjatuhkan genggaman handphonenya segera setelah mendongak ke arah puncak bangunan terbengkalai itu.

"Deka?"

"Halo, jaringanmu jelek, ya? Deka!"

Hideka segera berlari menaiki tangga, rooftop adalah tujuannya saat ini. Ia ingat betul, matanya tadi menangkap sosok tubuh yang berdiri di sisi belakang rooftop. Rencana untuk menjemput kepulangan kakaknya yang baru datang malam ini dari Surabaya hilang seketika karena apa yang dilihatnya.

Sial, umpatnya dalam hati.

Nafasnya memburu, matanya dipicingkan untuk memastikan siapa orang yang berdiri di ujung sana. Hideka tak mengenalinya, tapi dari perawakan yang ia lihat itu adalah seorang gadis. Orang itu memutar tubuhnya karena sadar akan kehadiran orang lain.

Benar saja, seorang gadis dengan seragam sekolah dan rambut terurai tampak memandangi Hideka. Perlahan tapi pasti Hideka mendekat untuk mengetahui apa yang akan dilakukan gadis yang mungkin seumurannya itu. Ia tercengang, sebuah pisau berukuran sedang dengan kuat terpegang di tangan gadis itu.

"Kamu mau apa? Ayo, sini turun!" ucap Hideka sambil terus berjalan mendekat. Tak ada yang tahu apa yang gadis itu akan lakukan. Ia bahkan hampir menangis karena takut jika gadis itu melakukan sesuatu yang ada dipikirannya.

Perlahan Hideka menghampiri gadis itu, pipinya sudah basah dengan air mata. Gadis itu juga ikut memundurkan langkahnya.

"Nggak usah ikut campur."

Sedikit lagi Hideka bisa menggapai pisau yang ada di dalam genggaman gadis berseragam sekolah yang Hideka pun tak mengenalnya. Ia berniat menyingkirkan pisau itu terlebih dahulu. Saat Hideka mencoba berlari untuk menangkap pisau yang tergenggam, gadis itu spontan ikut berlari. Nahas, ia malah menginjak tali sepatunya sendiri dan berujung tersungkur denga pisau menancap di perutnya.

"Astaga!!" teriak Hideka berlari menghampiri gadis itu.

Atasan yang tadi berwarna putih bersih kini beralih menjadi merah bak terkena tumpahan saos tomat. Bau anyir masuk ke indra penciuman Deka. Tanpa pikir panjang lagi, Hideka ceroboh karena asal mencabut pisau yang tertancap di perut gadis itu.

Seketika gadis itu memekik kesakitan karena darah tambah mengalir deras. Deka yang panik langsung melepas kemeja kotak-kotak yang ia kenakan, meninggalkan kaos biru yang masih terpakai. Segera dililitkan ke perut gadis itu agar pendarahan bisa berhenti.

"Sakit ternyata, ya," lirih gadis itu. Pandangan yang mengabur dan rasa sakit membuat gadis itu tak bisa menangkap sosok yang menolongnya ini dengan jelas.

Rumah sakit. Ya, Hideka harus membawanya ke sana. Ia tak mungkin membiarkan gadis itu mati. Walaupun bahkan ia tak mengenal siapa gadis yang terbaring di depannya ini, Hideka masih punya rasa kemanusiaan.

Deka meraba sakunya untuk mengambil handphone, ia mesti menghubungi seseorang agar bisa membantunya. "Handphoneku?" Ia baru ingat kalau tadi menjatuhkan handphonenya di pinggir jalan.

Deka membopong gadis itu dengan kedua tangannya untuk turun ke bawah. Kejadian yang tak terduga telah terjadi malam ini. Hideka sadar ini bukan imajinasinya saja, gadis ini berniat bunuh diri bukan?

Hideka memandang gadis itu sekilas, wajahya mulai pucat, matanya tampak akan terkatup. Darahnya merembes keluar lagi. "Jangan tidur. Ayo, bangun! Tahan sebentar." ujar Deka sambil menggoyangkan tubuh gadis dalam eratannya itu.

Hideka membaringkan dengan pelan tubuh gadis itu di sisi jalan. Ia mengambil handphone yang untung masih ada, belum dipungut orang lewat. Lima missed call dari Yuda tampak pada jendela notifikasi. Hideka harus mengabaikan notifikasi itu dan menghubungi teman dekatnya.

Liam, nama kontak yang dihubungi Hideka untuk dimintai pertolongan.

"Hal-"

"Tolong gue cepet. Udah gue shareloc, buruan!" pinta Deka sambil terus mengecek keadaan gadis itu.

"Ada apa?"

"Udah ke sini dulu. Nanti juga tau." Ia mematikan sambungan telepon.

Pendarahannya sudah berhenti, tapi gadis itu tampak sekarat. Mungkin pisau itu cukup dalam melukai perutnya. Hideka harap-harap cemas saat menunggu kedatangan Liam. Ia memandangi cermat rupa gadis di depannya, apakah ia benar belum bertemu sebelumnya. Seperti tampak tak asing.

"Ngantuk."

"Jangan tidur. Tunggu sebentar lagi aja, oke?"

Deruman mobil sport sampai di telinga Hideka. Ia bersyukur temannya cepat datang.

<3 <3 <3

[Mas Yuda]

Kamu kemana?
Kok telepon mas nggak dijawab?

Temenku kecelakaan
Maaf mas, nggak bisa jemput
Ini dia nggak ada yang ngantar ke RS

Kursi tunggu ruang operasi di duduki oleh Liam dan Hideka, sudah dua jam keduanya menunggu. Belum ada dokter ataupun perawat yang keluar memberi kabar. Liam memandangi temannya itu dengan sedikit heran, juga bingung.

"Dia siapa?" Tanya Liam yang sedari tadi malah belum mendapat penjelasan dari Hideka.

"Orang."

"Iya, tau. Namanya?"

"Nggak tau."

"Terus ngapain lo tolong?"

"Kalau lo lihat ada orang bawa-bawa pisau, lo biarin aja?"

"Kalau tukang daging ayam mah nggak apa-apa."

"Liam!"

Dokter yang masih mengenakan pakaian operasi keluar dari ruangan, melihat itu Hideka segera menghampirinya. "Keluarga pasien?" Tanya dokter pada Hideka. Hideka terdiam lalu memandang Liam sejenak.

"Bukan, saya temannya."

"Operasi pasien berjalan cukup lancar walaupun sempat kehilangan banyak darah. Kita tinggal menunggu pasien siuman." Penjelasan dokter itu membuat Hideka benar-benar bernafas lega sekarang. Ia merasa bak menjadi Superman dadakan di malam hari.

"Terima kasih, Dok," ujar Deka diikuti langkah kepergian sang dokter.

Sekali lagi, Hideka menghembuskan nafas lega, ia menyandarkan tubuhnya di kursi, kedua tangannya bergerak menyugar rambut ke belakang. Liam masih tak percaya dengan kelakuan Deka. Tadi ia masih berleha santai sambil menonton series Netflix, semua kenyamanannya tiba-tiba direnggut ketika menjawab panggilan temannya itu.

"Gue ambil baju dulu, kaos lo darah semua." Liam beranjak untuk pergi ke mobilnya.

"Liam," panggil Hideka membuat Liam berbalik.

"Pinjem uang lo buat bayar ini, ya," pinta Hideka seraya tersenyum lebar.

"Nanti pahalanya dibagi dua," lanjut Hideka.

Liam membuka dompet, lalu melemparkan kartu berwarna biru pada temannya. Dengan sigap Hideka menangkap kartu tersebut, bergegas membayar administrasi. "Makasih, ntar gue traktir bakso depan rumah sakit."

Liam melanjutkan langkahnya menuju mobil. Ia menyeringai bangga. "Cih, untung gue kaya."

<3 <3 <3

tbc.

terima kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang