“Bunda, Sisil bawa temen ke sini,” sapa Sisil pada pusara bundanya itu. Ya, mereka akhirnya ziarah ke 'rumah' Sarah dulu sebelum memutuskan untuk makan, biar agak siangan aja. Deka cukup canggung, hanya senyum kikuk yang diperlihatkan sejak memasuki area kuburan.
Keduanya berjongkok, Sisil mulai menaburkan mawar merah yang tadi sempat dibeli. Ada beberapa penjual bunga khusus ziarah di depan area pemakaman. Kemudian matanya beralih menatap Deka yang masih diam tak bersuara. Mulutnya bergerak tanpa bicara, menyuruh Deka memperkenalkan diri.
“H-hai, Tante. Saya Deka, teman kerjanya Sisil,” ujar Hideka terbata sambil menatap balik Sisil, ia tersenyum sekarang, manis rupanya.
Beberapa menit Sisil juga Hideka memanjatkan doa untuk Sarah, sebisa mereka saja. Air mata itu jatuh, pasti. Saat mengingat tentang bundanya saja ia sudah menangis kencang, apalagi berkunjung ke makam seperti sekarang. Sisil masih berusaha menjaga imagenya karena Deka berjongkok di sampingnya. Selain itu, tak terlalu baik juga bila menangisi kepergian seseorang, Sarah sudah tenang.
Sedangkan Deka membiarkan Sisil mereda dulu, ia pengertian. Deka tak banyak bertanya-tanya, takut yang ada nanti malah salah omongan, kan jadi repot. Ia belum tahu latar belakang Sisil, tindakan paling tepat adalah diam. Lima menit, sepuluh menit, tangis Sisil belum reda. Suara sesenggukan masih bisa Deka dengar.
Lima menit setelahnya baru selesai, sepertinya. Hideka melirik sekilas, benar sudah tidak ada air mata lagi. Tapi matanya jadi merah, hidungnya juga. Penuh keraguan, tangan kanan Deka terangkat untuk mengusap punggung Sisil. Ia terjingkat sedikit, kaget ada yang menyentuh punggungnya. Lalu sebentar sadar, itu tangan Hideka.
Deka masih mengelus pelan seraya berkata, “Tante tenang di sana, ya. Saya bakal jagain Sisilnya kok.” Sisil pun langsung bersembunyi di antara dua lututnya, senyum malu jadinya. Tapi otaknya membuatnya berpikir bahwa Deka itu teman. Rekan kerjanya lagi, bukan siapa-siapa. Mungkin hanya ingin berniat baik, tidak ada salahnya kan.
“Ayo pulang, laper,” ucap Sisil, ia berdiri merapikan roknya yang kusut.
“Kita pulang ya, Bunda.” Hideka dan Sisil pergi meninggalkan area pemakaman. Deka berjalan di belakang gadis itu, waspada jika Sisil terhuyung lalu pingsan.
“Sisil, kita makan di luar. Kamu lihat sendiri, Ibu sama Bapak ikut pergi juga.”
“Iya, yang penting makan gratis.”
Karena Sisil BM mi ayam katanya, mereka jalan ke depan sedikit. Ada penjual mi ayam yang ternyata sudah buka. Sisil perlu mengisi tenaga kembali setelah mengeluarkan air mata, nangis juga keluar energinya, butuh asupan lagi.
Satu mi ayam, satu bakso, dan dua es teh manis sudah tertata di atas meja. Deka yang membayar semuanya, nanti kalau Sisil bayar sendri, disangka Deka ini tak modal. Langsung saja mereka memakan pesanan masing-masing. Bagi Hideka agak aneh rasanya makan bakso siang bolong begini, mana cuaca cukup menyengat. Bakso tuh enaknya dimakan pas malem, batinnya.
“Mau nanya boleh?”
“Apa?” jawab Sisil mempersilakan Hideka untuk bertanya. Ia tak tahu saja pertanyaan macam apa yang akan keluar dari mulut Hideka.
“Kenapa waktu itu kamu bilang Bundamu pembunuh?” Sisil tersedak, memang setan si Deka ini. Pertanyaan yang tidak pas untuk ditanyakan di tempat yang tidak pas juga. Dengan sigap ia membantu Sisil untuk minum, yang setelahnya langsung mendapat tatapan malas dari Sisil.
“Kalau nggak mau, nggak usah cerita. Maaf lancang,” sesal Deka yang baru menyadari betapa dangkal pemikiran otaknya itu. “Nggak apa-apa, udah terlanjur nanya juga. Nanti aja gue ceritain di jalan.” Sisil kembali memakan mi ayam yang semakin habis saja.
Hideka yang duduk berhadapan dengan Sisil bisa melihat jelas apa yang ada di depannya, cukup mengherankan. Sisil dengan telaten memisahkan ayam yang bercampur dengan minya. “Kok ayamnya nggak dimakan?” tanya Deka, lagi. Ini pertanyaan yang normal, jadi okelah.
“Tadi lupa bilang, gue nggak suka pakai pakai ayam.” Deka cengo, komuknya itu loh. Andai saja kalian ada di situ, dijamin geli juga.
“Mi ayam tanpa ayam?” Sisil mengangguk sambil mengunyah gulungan mie terakhir di garpunya. Kombinasi muka heran dan tawa garing Deka membuat Sisil geli, ia terkikik kecil. Tak tahunya Hideka ikut senyum sembunyi-sembunyi.
Makan siang selesai, traktiran semangkok mi ayam berhasil membuat perut Sisil kenyang. Apa perlu setiap Minggu Sisil jalan bareng Deka aja? Ceritanya biar bisa dapat gratisan, apalagi kalau akhir bulan.
Keduanya memilih untuk berjalan kaki—lagi—menuju apartemen Sisil, barulah nanti Deka naik angkutan umum untuk pulang ke rumahnya. Ia menyuruh Deka mampir ke apartemen dulu sebentar, sekalian minum. Jalan kaki siang-siang cukup membuat gerah juga.Sisil baru akan membuka suara untuk menjawab pertanyaan Deka tadi. Ia menceritakan peristiwa malam itu, dari sudut pandangnya. Deka menyimak dengan mimik serius, berusaha memahami jalan cerita yang Sisil tuturkan. Untuk kedua kalinya, Sisil menangis hari ini.
Ia memilih untuk terbuka—mau bercerita kepada Deka—karena beranggapan beban yang selama ini dipikulnya sendiri bisa berkurang. Sisil masih menyesal karena meninggalkan Sarah dengan wanita itu, coba saja kalau ia masih ada di sana. Semoga ia mendapat respon yang mengenakkan dari lawan bicaranya sekarang.
“Kalau Ibu tau Bunda gue pembunuh gimana, ya?” tanya Sisil, yang dimaksud Ibu adalah Linda, ibu Deka.
Hideka semakin mendekati Sisil yang ada di sampingnya, memegangi pundak Sisil dengan kedua tangannya. “Bunda kamu bukan pembunuh, kamu sendiri yang cerita gimana kejadiannya.” Sisil ternyata sudah menangis di dekapan Deka. Ada rumah tempat ia bersandar sekarang, Deka rumahnya. Ia harap bukan hanya sekadar rumah yang ia sewa. Sisil ingin tinggal di ‘rumah’ ini selamanya. Nyaman, itu perasaan Sisil. Deka seolah memberikan kehangatan yang tak akan Sisil dapatkan dari orang lain.
“Lo percaya sama gue?” tanya Sisil dnegan suara seraknya.
Deka mengangguk yakin. “Jangan nangis, jangan sedih. Kalau omongan kamu memang bener, semua akan terbukti kok. Tuhan itu adil, percaya, ya.”
Ngomong-ngomong berarti Deka dan Sisil cuma berduaan di apartemen kan, ya? Jangan ngadu ke ibunya Deka, kasihan anaknya nanti kena omel.
<3 <3 <3
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
terima kasih
Fanfic"Ayunan di sebelahku kosong, kamu kapan pulangnya?" Kehilangan yang tak menentu akan kembali atau benar-benar tak bisa dipeluk lagi Kehilangan bukan akhir dari segalanya. Hideka yakin gadis yang mulai mendominasi harinya itu akan kembali, ia yakin a...