Sudah lebih dari dua jam aku menunggu seperti orang kebingungan di rumah bersama putri sulungku, Sisilana. Hari ini, lebih tepatnya sejak tadi pagi, Mas Bagas pergi keluar bersama si bungsu Radeya. "Aku ingin ngajak Radeya main ke taman kota sebentar," ujarnya tadi setelah aku menyalimi tangan Mas Bagas saat berpamitan.
Aku sengaja tidak ikut, tetap memilih tinggal di rumah untuk menjaga Sisil, sejak kemarin sore demamnya tak kunjung reda. Mana mungkin ku izinkan dia untuk ikut bermain bersama adiknya. Yang ada malah tidak lekas turun suhu tubuhnya.
Aku bingung, sudah ku hubungi nomor telepon Mas Bagas, tetap dia tidak memberi kabar. SMS, menelepon tak berguna, tetap saja tak ada tanda-tanda ia akan memberiku kabar.
Bukannya bagaimana, posisi dan keadaannya adalah Radeya juga ada bersama Mas Bagas. Apa mereka ada apa-apa di jalan? Astaga Tuhan, pemikiran macam apa yang muncul di otakku saat ini.
Mas Bagas anak tunggal, mertuaku juga baru meninggal satu bulan lalu. Tidak ada keluarga dari Mas Bagas yang bisa kuhubungi untuk ditanya perihal keberadaannya.
Satu hari, satu minggu, satu bulan, bahkan keadaan Sisil sudah sepenuhnya pulih. Tapi ke mana perginya Mas Bagas dan Radeya?
Aku sempat menghubungi teman Mas Bagas yang ku kenal, mereka tetap tidak tahu keberadaan Mas Bagas. Yang lebih membuat bingung setelah ku hampiri kantor Mas Bagas, ia sudah resign satu bulan yang lalu, tanggalnya tepat dengan hari di mana ia keluar mengajak Radeya main ke taman kota.
Aku sudah tidak sabar, membuat laporan orang hilang ke kantor polisi adalah pilihan terbaikku saat ini. Tinggal menunggu pergerakan tim mencari keberadaan suami dan anakku.
Bagaimana bingung, marah, kesal, sedihku tak bisa diubah ke dalam bentuk tulisan ini, aku tak sanggup.
Karena kini ku sadari alasan mengapa Mas Bagas pergi dari rumah, alasan mengapa Mas Bagas tak bisa dihubungi, alasan mengapa polisi-polisi itu tak kunjung mendapatkan informasi mengenai dua orang tersayangku ini.
Mataku memanas, aku melihat seorang pria dan wanita dengan anak perempuan kecil di tengah, mereka berjalan beriringan di sebuah pusat perbelanjaan yang memang ku kunjungi di akhir bulan.
Itu Mas Bagas, juga Radeya. Fabricia Radeya Ayu, aku yang melahirkannya, aku jelas tau bahwa anak itu anakku. Tapi siapa wanita yang sedang bersama Mas Bagas? Ku hampiri saja mereka untuk memastikan lebih.
"Mas Bagas?" Ia tampak kaget akan sapaanku yang memang tiba-tiba.
Mas Bagas lekas menarikku agak menjauh, tatapannya sangat mengganggu, aku merasa terintimidasi.
"Mau minta penjelasan? Seminggu lagi, aku akan pulang ke rumah." Hanya itu ucapan yang keluar dari mulutnya, nadanya begitu dingin. Aku ingin bertemu Radeya, aku ingin melepas rindu dengannya.
Pikiranku semakin menjadi tidak jernih, apalagi setelah pertemuan itu. Oke, sekarang aku tahu semua dugaanku benar, tidak perlu memastikan lagi. Semua sudah tampak jelas, dan semakin dibuat jelas dengan kejadian hari itu.
Aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta bersama Sisil, berdua saja. Sakit rasanya, ketika Sisil terus bertanya, "Nda, Yah ana? Nda, Yaya ana?" (Bunda, Ayah mana? Bunda, Radeya mana?). Aku hanya bisa menjawab, "Sebentar lagi juga pulang, Ayah sama Yaya lagi beli es krim. Sisil mau es krim, kan?" Terus begitu saja jawabanku.
Aku sebagai seorang ibu juga rindu, rindu sampai lupa bagaimana rasanya memeluk anak bungsuku. Dia masih anakku.
Umur Sisil Sekarang sudah empat belas tahun, seharusnya Radeya satu tahun lebih muda dari Sisil. Setelah beranjak dewasa kuberi pengertian yang lebih masuk akal saat ia menanyakan sang ayah, aku bersyukur ia tak bertanya-tanya lagi setelah ku jelaskan kala itu.
Tampaknya Sisil juga lupa jika ia memiliki seorang adik. Aku tak mau memberinya luka dengan memperkenalkan Radeya, memberi tahu bahwa ia sebenarnya mempunyai seorang adik. Aku juga tak sudi memperlihatkan bagaimana rupa ayahnya. Aku tahu aku memang jahat, aku bukan ibu yang baik.
Akhirnya, Mas Bagas datang ke kantor tempatku bekerja sekarang, ia menunggu di luar setelah aku selesai dengan pekerjaanku.
"Aku sudah bahagia dengan Ruri, juga Radeya. Aku tak butuh kamu lagi, apalagi Sisil."
"Kenapa, Mas? Maksudmu apa? Setelah menghilang bertahun-tahun, baru sekarang kamu datang bawa penjelasan? Kenapa juga kamu kelihatan benci sama Sisil?"
"Asal kamu tau, Sisil itu jadi penyebab aku gagal nikah sama Ruri. Sisil anak haram kan?"
"Mas! Dia anak kamu, dia anak kita. Kamu harus inget itu, Mas! Toh kamu yang hamilin aku, kamu pernah ngerasa berdosa nggak? Mas, Sisil dan Radeya itu kakak-beradik. Tolong pikirin perasaan mereka, tega kamu pisahin mereka? Pisahin ibu dan anak juga?"
"Terserah kamu. Intinya tanda tangani suratnya, kita selesai. Radeya aku bawa, Sisil kamu urus. Seenggaknya aku bawa Radeya karena dia bukan anak yang lahir diluar nikah."
"Kamu sadar nggak ngomong hal sejahat itu? Manusia kamu? Nggak pantes disebut manusia!"
"Kirim surat cerai ke alamat ini. Aku pergi, jangan lagi ketemu keluarga bahagiaku. Jangan pernah."
Aku masih ingat percakapan apa yang terjadi waktu itu. Mas Bagas sudah keterlaluan. Aku tahu memang Sisil tumbuh di dalam rahimku sebelum aku dan Mas Bagas melangsungkan pernikahan, tapi apa harus dengan perkataan sejahat itu ia berucap?
Kenapa dia baru menceraikanku sekarang? Pasti agar ia bisa membawa Radeya. Jika dia menceraikanku dulu-dulu pastilah tak mungkin ia membawa Radeya. Karena aku yang akan mendapatkan hak asuh kedua anakku, karena umur mereka belum genap dua belas tahun.
Kutanda tangani surat cerai itu setelah dipikir matang-matang. Kukirim ke alamat sesuai yang diberikan Mas Bagas. Aku ikhlas, aku mencoba ikhlas dengan semua ini. Sebenarnya yang tersulit adalah merelakan Radeya, aku tak ingin berpisah dengannya.
Radeya, Bunda kurang yakin kamu bisa memeluk Bunda lagi, tapi Bunda yakin suatu saat kamu dan kakakmu akan bertemu. Pasti. Kalian adalah anak Bunda, yang Bunda kandung dalam rahim yang sama. Kalian harus bertemu, saling menyapa kembali.
Sisil, jaga adikmu nanti, jadilah kakak yang bisa menjadi contoh untuk adiknya. Dan semoga ayahmu sudah berubah, bisa memandangmu sebagai anak yang dikasihinya.
Bunda akan dan selalu sayang kalian, anak-anakku. Bunda pastikan kita bertiga akan bertemu lagi suatu saat, secara utuh, tak pernah terpisahkan.
Kisah tanpa jejak, Sarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
terima kasih
Fanfiction"Ayunan di sebelahku kosong, kamu kapan pulangnya?" Kehilangan yang tak menentu akan kembali atau benar-benar tak bisa dipeluk lagi Kehilangan bukan akhir dari segalanya. Hideka yakin gadis yang mulai mendominasi harinya itu akan kembali, ia yakin a...