“Deka, cepet ke belakang. Sisil pingsan, tuh!” teriak Egi yang berlari menghampiri Deka. Semua tengah membereskan kafe karena memang sudah waktunya tutup. Tadi Sisil berada di belakang untuk mencunci piring dan gelas kotor, tiba-tiba ia mengeluh pusing pada Egi yang kebetulan ada di belakang juga, tak lama Sisil malah jatuh pingsan.
Deka segera berlari mengikuti Egi, ia melihat gadis itu sudah terbaring lemas dengan wajah pucatnya. Hideka mengangkat Sisil dengan kedua tangannya untuk dipindahkan ke kursi. Sontak Linka dan Wawan ikut panik melihat rekan kerja mereka pingsan begitu, jangan lupakan Pak Kunto yang heboh seperti melihat anaknya pingsan saja.
“Ini kenapa, ya? Kok bisa gini gimana?” tanya Pak Kunto gemas. Semua menggeleng serempak tanda tak tahu apa penyebab Sisil pingsan.
“Sisil udah makan belum?” tanya Egi.
Kali ini Linka yang menjawab. “Kayaknya belum. Tadi Sisil juga sempet bilang ke gue kalau pusing gitu.” Pak Kunto dan anak buahnya itu jadi makin khawatir. Pasalnya belum ada yang namanya acara pingsan-pingsan begini di tempat kerja, maklum.
Dari pagi bangun tidur, Sisil sudah merasa tak enak badan. Beberapa hari terakhir waktu tidurnya tambah tersita. Mungkin karena ia terlalu memikirkan foto itu, sampai baru bisa terlelap pukul dua pagi. Dan harus bangun jam empat untuk mengerjakan tugas, jadi kurang tidur, kan.
Siklus tidur Sisil memang dinilai relatif kurang untuk anak seusianya. Karena bekerja dari pulang sekolah sampai malam, ia hanya tidur beberapa jam dan bangun pagi-pagi untuk menyelesaikan tugas sekolah. Sisil tetap butuh uang untuk menyambung hidupnya, tapi sekolah juga penting.
Sayup-sayup mata Sisil terbuka perlahan, ia mencoba bangun dibantu Linka yang ada di sampingnya. Tangan Sisil bergerak memijat pelipis, matanya juga tampak berat untuk dibuka. Wawan datang dari dapur dengan segelas teh, gercep mengerti keadaan. Deka membantu Sisil untuk meneguk minuman hangat itu.
“Apanya yang sakit?” tanya Hideka ikut bersimpuh di depan Sisil. “Kepala, pusing.” Suara lemah Sisil membuat yang lain meringis semakin khawatir.
Mereka meluangkan beberapa menit untuk Sisil agar kesadarannya meningkat, ia hanya bisa bersandar di kursi. Dibuat bergerak saja masih sakit yang dirasakan. Tapi sudah mendingan daripada tadi.
“Sisil saya antar pulang dulu gimana, kan saya bawa mobil.”
“Kalau Bapak tidak keberatan kami setuju-setuju saja, Pak. Kasian juga Sisilnya, sudah malam. Nanti kami yang beresin kafe.” Semua mengangguk, mengiyakan ucapan Egi. Jadilah Sisil diantar pulang oleh Pak Kunto, didampingi Hideka yang sekarang duduk di sebelah bangku kemudi. Tadinya Linka mau ikut, tapi Deka bersikeras agar dirinya saja yang menemani Sisil pulang.
Dengan Hideka yang berperan sebagai GPS manual, mobil sampai di depan apartemen. Deka membuka pintu penumpang dan menuntun Sisil turun. Tersisa Pak Kunto sendirian di dalam mobil, ia berniat menunggu Hideka untuk segera naik ke mobil kembali, tapi Hideka sendiri malah tetap di luar dengan Sisil.
“Saya nanti naik bus saja, Pak.”
“Mana ada bus jam segini.”
“Kasian Sisil kalau harus jalan sendiri sampai ke apartnya.”
“Saya tunggu kamu. Lagian kalau saya pulang, yang ada kalian berduaan di dalam sampai pagi. Kalian itu juga tanggung jawab saya, ya. Sudah sana cepat, saya tunggu di sini. Bilang ke Sisil, besok nggak usah kerja dulu.” Kali ini Pak Kunto bisa bertindak bijak, apa mungkin karena sekarang ia sudah memiliki anak.
Mendengar itu Deka segera berjalan masuk dengan Sisil. Sampai di tangga Deka mengangkat tubuh Sisil seperti waktu itu. Ia masih terlihat lemas dan pucat, bahkan dalam dekapan Deka pun Sisil tak sanggup membuka matanya. Masa bodoh malu atau apa, ia tak boleh munafik, kakinya saja tak kuat melangkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
terima kasih
Fanfiction"Ayunan di sebelahku kosong, kamu kapan pulangnya?" Kehilangan yang tak menentu akan kembali atau benar-benar tak bisa dipeluk lagi Kehilangan bukan akhir dari segalanya. Hideka yakin gadis yang mulai mendominasi harinya itu akan kembali, ia yakin a...