« Babak 8 »

100 16 19
                                    

[Deka]

Dasternya udah dicuci
Lo ke cafe kan? Nanti gue kasih di sana

Iya, makasih

Sisil segera memasukkan daster yang baru saja disetrikanya itu ke dalam paper bag, lalu ia melangkah keluar apartemen. Bagi Sisil weekend bukan sesuatu yang menyenangkan, justru inilah hari-hari dimana ia harus menghabiskan waktu bersantainya untuk sekadar bekerja di kafe.

Butuh sekitar lima belas menit berjalan kaki untuk sampai ke kafe, sekarang flat shoes berwarna cream itu sudah mendarat di halaman kafe. Ia buru-buru ke belakang untuk memakai apron, Sisil tak mau kena omel Pak Kunto pagi-pagi begini.

Yang ditunggu tiba, suara merdu Hideka akhirnya menyapa telinga Sisil yang sedang mengantarkan hidangan ke pengunjung. Ia curi-curi pandang untuk melihat keberadaan Deka, dan memang benar Deka sedang berdiri di sana memegangi mic untuk bernyanyi.

Suasana kafe weekend ini termasuk ramai, banyak pasangan muda-mudi yang berkunjung ke sini. Atau hanya hang out dengan teman sesama jenis mereka. Kafe ini memang menyuguhkan menu yang aman di kantong anak muda, selain itu letaknya yang strategis di tengah kota memudahkan orang yang berlalu lalang di jalan untuk mencoba hidangan di sini juga.

"Wawan, Sisil, Egi, Linka! Sini kalian!" panggil Pak Kunto tiba-tiba dengan nada cemas menyuruh para pegawainya untuk berkumpul di belakang. Ia sengaja tak memanggil Hideka karena sedang bernyanyi menghibur pengunjung, tampak tak sopan jika harus berhenti bernyanyi. Semua yang dipanggil pun berjalan cepat menghampiri atasan mereka.

"Iya, Pak?" tanya Egi mewakili selaku pegawai senior.

"Ini saya dapat kabar, istri saya mau lahiran. Tolong sign board nya dibalik, terus kalau sudah nggak ada pengunjung dirapihkan kafenya. Saya harus buru-buru ke RB," jelas Pak Kunto sambil tergesa merogoh kunci mobil di kantongnya. Kalian tahulah bagaimana rasa panik seorang calon ayah. Jangan salah, umur Pak Kunto masih dua puluh sembilan tahun. Kalian pikir Pak Kunto bapak-bapak tua? Jangan terpaku pada namanya saja yang kuno.

"Berarti pulang awal nih, Pak?" tanya Linka melirik teman-teman sepekerjanya.

"Aish, kamu pakai nanya lagi. Udah saya pergi dulu." Pak Kunto pergi lewat samping untuk mengambil mobilnya. Tak lama ia berlari kembali menghampiri keempat karyawannya itu yang masih berdiri di belakang. "Oh iya, ini kunci kafenya. Egi, kamu yang simpan." Lelaki itu menyerahkan kunci gembok pada Egi.

"Iya, Pak, hati-hati di jalan. Semoga lancar persalinan istrinya."

"Terima kasih." Egi dan pasukannya langsung jingkrak-jingkrak tak karuan. Jarang sekali pulang awal saat akhir pekan, bahkan biasanya bisa sampai jam sepuluh malam baru tutup.

"Padahal ini sebenarnya kita masih bisa buka loh, kan yang ada urusan atasan, bukan pegawainya," celoteh Wawan ringan.

"Bang Wawan mah, kerja terus. Paling habis ini juga nongkrong di warkop, kan?"

"Udah-udah. Ayo persiapan tutup, itu Sisil tolong dibalik sign boardnya. Yang lain beresin cucian dulu, kalau udah nggak ada pengunjung sama sekali baru beresin yang depan," perintah Egi memberi komando, cekatan sekali bukan? Calon suami idaman juga kalau modelannya begini.

terima kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang