« Babak 15 »

69 7 6
                                    

Hari yang sama, Minggu sore. Beberapa jam setelah kepulangan Deka ia berpikiran untuk beres-beres rumah. Faktanya, Sisil belum pernah memasuki kamar Sarah setelah kematiannya. Ia mengunci rapat pintu kamar sang bunda, tak pernah dibuka sama sekali. Apa hari ini Sisil sudah siap untuk memasuki kamar Sarah kembali. Harus siap, tak mungkin juga jika di sisa umurnya ia tak akan memasuki kamar itu.

Kunci dengan gantungan Winnie The Pooh sudah terpegang erat di tangan Sisil, ia menarik napas dalam, sebelum benda panjang itu menancap sempurna di lubang kunci. 

KLIKK!

Suara dari kunci yang diputar Sisil, kuncinya terbuka. Dilanjut dengan membuka pintu, perlahan. Bau debu dan aroma khas ruangan yang lama tak dimasuki langsung masuk ke penciuman Sisil. Jelas saja, enam bulan sudah kamar Sarah tak dibuka, tak disapu, bahkan untuk sekadar membuka jendela agar cahaya matahari bisa masuk tidak dilakukan anak remaja itu.

Sisil pergi keluar kamar dulu untuk mengambil peralatan kebersihan—seperti sapu, pel, dan kain lap. Pertama-tama ia membersihkan debu yang ada, sebelum mengemasi barang lain ke dalam kardus. Sisil berencana akan benar-benar mengosongi kamar yang dulunya milik Sarah ini dan kardus yang ada nanti akan dimasukkan ke ruang sebelah. Ruang kecil berukuran 2 x 4 meter yang dialih fungsikan sebagai gudang penyimpanan.

Debu sudah berkurang, bahkan hampir tak ada lagi di permukaan lantai dan barang. Tangan Sisil bergerak membuka lemari Sarah. Wangi Sarah yang ada di baju itu seketika membuat Sisil teringat bundanya, memori-memori tentang ia dan Sarah lewat begitu saja. Perasaan sakit masih ada, tak akan terhapus. Kehilangan sosok ibu adalah hal berat, bagi Sisil, bagi semua orang.

Sisil berjalan menuju ranjang yang kiranya cukup untuk dua orang itu, sprei dan sarung bantal-guling ia pisahkan dari bed. Lebih baik jika dilaundry, jadi praktis, atau mending tidak usah dicuci, agar wanginya tetap menempel pada tiap inci kain. 

Ia jadi teringat, karena kala itu ia bertekad kuat menonton film horor berjudul 'Mama', Sisil malah tak berani tidur sendiri. Jadilah ia menyusul tidur bersama Sarah, tengah malam pintu kamar Sarah terbuka karena ketukan Sisil. Sarah sempat menertawakan putrinya karena dengan badan sebesar itu tidur bersamanya hanya karena ketakutan setelah nonton film horor.

Dilepas satu-persatu baju yang kebanyakan kemeja kantor dan kaos rumahan dari hanger. Ia memeluk baju itu, erat. Sisil tak bisa memeluk tubuh ramping Sarah lagi, pakaian milik Sarah seakan mengobati rasa rindu yang tak berujung. Apakah terlalu jahat bila ia meminta pada Tuhan untuk menghapus ingatannya saja, agar rasa sakit akan kehilangan itu tak muncul lagi.

Lemari sudah kosong, bergeser ke meja rias sang bunda. Bedak tabur, lipstik, dan kawan-kawannya Sisil keluarkan dari laci. Semua alat make up ia pindahkan ke kotak yang berukuran lebih kecil. Ia tak berniat untuk membuang semua barang milik Sarah, walaupun ada yang sudah kedaluarsa atau robek pada pakaian, tetap tak ingin ia membuangnya. Selain bisa menjadi memorial, Sisil beranggapan ia tak punya hak untuk membuang semua barang di dalam kamar Sarah. Ini punya Bunda, begitu yang dipikirnya.

Sisil hendak menyapu kamar sekali lagi, agar benar-benar bersih. Sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu untuk menyapu ruangan atau lantai sebanyak dua kali, pertama saat awal pembersihan dan kedua saat akan keluar ruangan tersebut.

Sebuah kertas terselip di antara lemari dan meja rias. “Perasaan tadi udah dibuang sampahnya. Kok masih aja ada,” gerutunya sendiri. Ia mengambil secarik kertas tersebut, baru saja ingin meremas kertas dan membuangnya ke tempat sampah, Sisil malah urung melakukannya.

ia tersadar, itu bukan kertas, nyatanya adalah lembar foto cetakan, jumlahnya tepat dua lembar. Samar-samar ia berusaha mengamati rupa siapa yang ada di dalam foto cetak, sepertinya Sisil kenal.

Ia terduduk lemas, Sarah yang memakai kebaya putih bersanding dengan seorang lelaki dengan pakaian adat senada, rupawan parasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia terduduk lemas, Sarah yang memakai kebaya putih bersanding dengan seorang lelaki dengan pakaian adat senada, rupawan parasnya. “Ini Ayah?” tanya Sisil gemetar. 

Sosok ayah yang selama ini ia cari-cari apakah lelaki di dalam foto itu? Sungguh, Sisil masih tak percaya. Ia menyandarkan tubuhnya ke lemari, otaknya belum bisa berpikir dengan benar. Sisil mengecek sekali lagi secara teliti setiap detail wajah dalam foto yang dipegangnya. 

Benar adanya, tak salah, itu adalah Sarah. Jika ia memakai kebaya dan bersanding dengan laki-laki, bukankah berarti laki-laki itu adalah suaminya dan otomatis ayah Sisil juga. Harus apa ia sekarang, mencari ayahnya yang entah bernama siapa, tinggal di mana, bahkan apakah lelaki yang disangka sebagai ayahnya itu masih hidup atau tidak, Sisil tak tahu.

Ia bertukar mengamati satu lembar foto yang tersisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia bertukar mengamati satu lembar foto yang tersisa. Sisil sontak terkejut bukan main, apa maksudnya? Matanya sudah mengonfirmasi bahwa salah satu dari anak tersebut memang dirinya, toh di belakang foto memang tertera nama Sisilana.

“Ini Radeya temenku? Kita saudaraan?" monolog Sisil gemetaran, bertanya pada dirinya sendiri.

Sisil bangun dari duduk, menyelesaikan sapuan yang tadi belum rampung. Lalu membuka lemari, laci, sampai melihat ke kolong ranjang, siapa tahu ada barang yang bisa menjadi petunjuk lain. Tapi hasilnya zero, tak ada apa pun. Sisil masih berkeinginan menemukan barang seperti buku nikah atau sekadar foto kebersamaan orang tuanya.

Selepas menyimpan kardus-kardus tadi, ia kembali pergi ke kamar Sarah. Sisil memutuskan untuk tidur di sini sekali lagi, melepas rindu itu perlu walaupun bukan sosok bundanya lagi yang bisa ia temui. Jam digital di handphonenya sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi ia masih setia memandangi foto cetak itu. Jari-jemari Sisil bergerak mengusap foto yang akan menemani tidurnya malam ini.

“Bunda, kalau Sisil masih bisa berdiri sendiri, Sisil tetep boleh ketemu Ayah, kan?”

<3 <3 <3

tbc.

terima kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang