« Babak 19 »

64 6 2
                                    

Radeya memasuki kelas tepat sebelum guru pengawas memasuki ruang kelas. Hari ini diadakan ujian, mungkin kalian sering menyebutnya Penilaian Tengah Semester. Waktu cepat berlalu memang, tak terasa sudah masuk ke semester dua di kelas sepuluh ini.

Dari bangku tempat ia duduk, Sisil masih setia memperhatikan Radeya sedari gadis itu berangkat sampai istirahat sekarang. Saat mengerjakan soal ujian pun kedua netra Sisil sesekali tetap mengawasi Radeya karena menangkap gelagat aneh darinya.

Radeya yang biasanya fokus kala mengerjakan sesuatu, tapi tidak dengan hari ini. Ia banyak gerak, sampai-sampai guru menegurnya sekali. Tak disangka Radeya malah meninggalkan kelas saat Sisil bergerak untuk menghampirinya pada jam istirahat.

Rasa penasaran membuat kaki Sisil mengikuti langkah Radeya yang menuju ke toilet. Mungkin lebih baik menanyakan segalanya di sini, mengingat banyak siswa lain di kelas tadi.

"Kenapa?" tanya Radeya tiba-tiba setelah membalikkan badannya menghadap Sisil, ia sadar Sisil mengikutinya sedari tadi.

"Pipi lo-"

Radeya buru-buru menutupi memar di pipinya dengan tangan dan menatap Sisil tajam. Tak ia sangka tamparan yang Bagas berikan akan meninggalkan jejak seni berwarna biru keunguan yang masih tercetak hingga hari ini. Tadi pagi sempat berpikir untuk bolos sekolah saja, tapi Radeya tak mungkin meninggalkan ujian.

"Nggak usah sok peduli, nggak usah sok perhatian. Gue masih nggak bisa nerima kelakuan Bunda lo, ya. Makin ke sini, gue makin muak ngelihat muka lo, tau nggak?!" Radeya langsung meninggalkan Sisil sendirian di toilet. Perkataan pedas dari Radeya berhasil membuat hatinya mencelos. Sekarang ia tak berani untuk sekedar menegur ucapan Radeya, karena Sisil berpikir bahwa Radeya masih adiknya.

<3 <3 <3

Di SMA tempat Hideka bersekolah keadaannya pun sama, semua siswa difokuskan dengan lembaran kertas soal dan selembar kertas untuk menulis jawabannya. Suasana mulai ricuh, cuitan dari mulut ke mulut untuk meminta jawaban. Terlebih anak ambis, diserang dari seluruh penjuru, menanyakan jawaban salah satu soal essay yang susahnya bukan main.

Bukan anak ambis namanya kalau tidak pelit, beberapa dari mereka malah menghiraukan permintaan dari teman-teman yang berpegang teguh dengan semboyan kerja sama dan kesetiakawanan di saat ujian itu. Mereka sesegera mungkin mengumpulkan lembar jawab ke depan dan keluar kelas.

"Felicianjing!!!" umpat Liam yang masih bisa didengar Deka karena duduk bersebelahan dengannya.

"Ka, please lah, ayo tunjukkan kesetiakawan lo," pinta Liam memelas karena semua soal essaynya belum dikerjakan, ditambah beberapa pilihan ganda masih kosong jawabannya.

"Bentaran, ini gue juga mendadak blank. Padahal udah belajar." Hideka juga tampak kebingungan dengan jawabannya yang belum lengkap.

"Waktu habis! Ayo, semua jawaban beserta soal dikumpulkan ke depan sini!" Guru pengawas berseru membuat seisi kelas kompak mengerang frustasi. Mau tak mau siswa yang tersisa di dalam kelas itu harus segera mengumpulkan lembar jawab mereka, masa bodoh masih kosong karena mereka sendiri pun tak tahu jawaban mana yang benar.

Hideka berdiri bersiap untuk mengumpulkan jawabannya, sekarang hanya bisa berpasrah pada kekuatan doa. "Katanya blank, nggak tau jawabannya," heran Liam sambil mencekal tangan Deka.

"Alhamdulillah mendadak inget jawabannya lagi."

"Bagi sini."

"Hideka, Liam, cepat kumpulkan jawaban kalian!" Amukan dari pengawas membuat keduanya bergidik, Deka langsung buru-buru maju ke depan untuk mengumpulkan lembar jawaban. Sedangkan Liam masih berkutat dengan soal yang tersisa banyak. Ia asal saja menyilang dan menuliskan jawaban essay. Kupingnya sudah panas mendengarkan suara guru pengawas yang terus-terusan menyerukan namanya sedari tadi.

Ujian hari pertama tampak jelas sudah, berjalan tidak mulus. Deka tidak berharap banyak dengan nilainya, apalagi si Liam yang terancam mendapat nilai di bawah KKM.

"Gila, Felicia pelit banget!" keluh Liam seraya menandaskan pantatnya di kursi kantin. Tangan kanannya sudah memegang sekaleng Sprite yang katanya bisa menyegarkan pikirkan.

Deka menghela napas berat, hancur sudah, siap-siap kena omel Linda. "Gitu-gitu dia kan mantan lo," tanggap Hideka.

"Cinta monyet bocil SD itu mah, lo kan tau sendiri. Masa lalu biarlah masa lalu, Bro. sekarang fokus kepada masa depan," ujar Liam seraya menunjuk ke arah layar handphonenya, tampak ada panggilan masuk dari kontak bernama 'AYANG♡' di layar sana. Liam bergegas mengangkat panggilan tersebut dan melesat entah ke mana meninggalkan Hideka.

"Pacaran mulu, belajar kaga!"

<3 <3 <3

tbc.

terima kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang