Suara alas sepatu yang bertemu dengan lantai menggema di koridor rumah sakit. Dengan membawa sekresek obat racikan yang baru saja ia tebus di apotek rumah sakit, langkah kaki itu berhenti di depan sebuah kamar rawat inap. Dibuka pintunya hingga terlihat sesosok gadis yang sedang duduk di tepi bed.
"Rumah kamu dimana?" tanya Hideka langsung pada gadis yang sampai sekarang belum ia ketahui namanya. Semenjak siuman, gadis itu belum mau berbicara banyak dengan Hideka, atau bahkan Liam yang kemarin menjenguknya. Hanya ucapan terima kasih yang bias keluar dari mulutnya untuk Liam.
"Jalan Teratai Nomor dua puluh delapan," jawabnya singkat. Hideka mengangguk, ia mulai membantu membereskan kamar inap dan barang milik gadis itu. Sebelum pergi ke sini, Deka sempat mampir ke rumah untuk mengambil pakaian agar bisa dikenakan orang yang ditolongnya ini. Tak mungkin juga jika harus memakai seragam bekas kejadian kemarin.
Kamar sudah kosong, dengan totebag yang menggantung di tangan, Hideka mendorong kursi roda menuju keluar rumah sakit. Mobil yang tadi ia pesan lewat aplikasi online sudah menunggu. Perlahan Hideka menuntun gadis itu untuk berpindah ke jok mobil. Bahkan diperjalanan menuju rumahnya gadis itu enggan membuka suara.
<3 <3 <3
"Rumahmu di apartemen?" tanya Deka ketika mereka turun di alamat yang sudah disebutkan tadi pada supir. Gadis itu langsung memasuki area apartemen dengan langkah tertatih-tatih. Hideka berjalan menyusul untuk menuntun. Bekas luka jahitan yang belum kering membuat gadis itu kesusahan saat berjalan.
"Ini harus lewat tangga? Nggak ada lift?" tanya Deka sambil memegangi tangan gadis itu ketika melangkah ke atas.
"Iya. Aduhh." Gadis itu meringis saat merasakan nyeri di bagian perutnya. Memang tidak mudah bukan untuk menaiki anak tangga dengan kondisinya yang seperti ini.
"Lantai berapa apartemenmu?"
"Enam. Nomor lima satu." Hideka langsung mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya menaiki tangga. Ia tak sampai hati jika harus membiarkannya berjalan sambil meringis kesakitan hingga lantai enam.
Sepersekian detik gadis itu memandangi wajah Hideka dari arah bawah. Rahang tegasnya terpampang jelas, hidung mancung, dada bidang yang menyentuh tubuh gadis itu. Ia tersenyum kecil secara tak sadar.
Merasa diperhatikan, Hideka menurunkan pandangannya ke bawah, menatap gadis itu sambil tersenyum balik. Spontan, gadis dalam gendongannya itu menutup mata.
Yaa, walaupun Hideka tahu itu adalah tindakan konyol. Dimana kalian menutup mata pura-pura tidur untuk menutupi rasa malu kalian sendri. Tapi suara tawa malah keluar dari mulut Hideka.
Ia menurunkan gendongan secara hati-hati. Cuaca panas ditambah naik tangga dari lantai satu ke lantai enam berhasil membuat Hideka mandi keringat. Ia mengusapnya dengan kaos yang dipakai.
Sebuah kardus kecil tergeletak begitu saja di depan pintu masuk. Deka mengambil kardus itu karena merasa gadis disampingnya tampak tak tertarik pada kardus yang sekarang berada di pelukan Hideka. Deka membuka kardus itu, dan betapa terkejutnya dia saat mengetahui apa isi didalamnya.
Belasan kertas HVS dengan coretan spidol hitam dan merah yang mayoritas bertuliskan 'SISIL ANAK PEMBUNUH' ada didalamnya. Hideka memandangi gadis disebelahnya, gadis itu menatap balik dengan tatapan heran. Inisiatif untuk menengok apa isi dari kardus itu membuatnya mendengus kesal.
Tanpa menunggu, ia membuka pintu dan langsung masuk ke dalam apartemen. "Loh, nggak dikunci?" tanya Deka sambil masuk karena pintu masih terbuka.Apartemennya sangat kotor. Sampah berserakan dimana-mana, lantai yang dipenuhi barang. Bahkan tampak pecahan kaca di sudut apartemen itu. Ukurannya tidak sebesar apartemen pada umumnya.
Gadis itu duduk merenung di salah satu kursi. Ia menatap Hideka tajam, matanya mulai memanas. Rasa sakit yang selama ini dipendamnya akan segera hilang di malam ia berniat mengakhiri hidupnya. Ia tak akan merasakan rasa sakit lagi akibat ejekan dan hinaan.
Semuanya kembali, rasa itu hadir lagi. Hideka penyebabnya, kenapa seorang yang bahkan tak dikenalnya harus datang malam itu.
"Kenapa?"
"Kenapa lo bawa gue ke rumah sakit?!"
"Lo siapa? Kenal gue? Nggak, kan. Jadi kenapa?" Tangisnya pecah memenuhi ruangan apartemen.
Hideka hanya ingin menyelamatkan nyawa seseorang. Seseorang yang bahkan sudah tak mau keberadaannya ada.
"Aku cuma mau nyelamatin kamu. Dengan kamu mau coba bunuh diri kemarin emang Tuhan seneng?" pertanyaan Hideka membuat gadis itu diam.
Ia bangkit dari duduknya, berdiri tepat di depan Hideka. "Tapi gue capek. Selalu dihina di sekolah. Bahkan guru pun nggak ada yang ngebela gue."
Deka masih memperhatikan gadis di depannya yang menggebu-gebu. Ia baru tahu sedikit tentang ke hidupannya, apakah semenyedihkan ini?
"Lo pikir punya ibu yang banyak orang bilang dia pembunuh itu gampang?!" Ia terduduk di lantai, menahan tangis yang semakin terasa sesak di dada. Apa bisa ia melewati sisa hidup yang diberikan Tuhan?
"Gue nggak mau kayak gini terus." Hideka menjajarkan posisinya, awalnya bingung harus bagaimana, namum ia lantas memeluk gadis itu. Berharap bisa memberikan ketenangan. Ia mengelus surai hitamnya pelan, menepuk-nepuk puncak kepalanya juga.
"Nangis aja, jangan ditahan. Mulai sekarang aku mau jadi temen ceritamu."
<3 <3 <3
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
terima kasih
Fanfiction"Ayunan di sebelahku kosong, kamu kapan pulangnya?" Kehilangan yang tak menentu akan kembali atau benar-benar tak bisa dipeluk lagi Kehilangan bukan akhir dari segalanya. Hideka yakin gadis yang mulai mendominasi harinya itu akan kembali, ia yakin a...