« Babak 29 »

6 1 0
                                    

Dunia tak berhenti hanya karena kejadian pilu satu setengah tahun lalu. Rasanya tak adil, tapi mau bagaimana lagi. Hideka dan orang terdekat Sisil harus merelekannya hanya pulang dengan tersisa nama saja. Satu setengah tahun berlalu, jasad Sisil belum ditemukan. Setelah melakukan pencarian sebulan penuh, Hideka dan keluarga sudah ikhlas.

Keberadaan Radeya juga tak berhasil ditemukan hingga sekarang seolah kedunya benar-benar menghilang, sekolah Radeya tak mau buka suara banyak mengenai Radeya. Semuanya benar-benar usai. Mimpi buruk terbesar bagi Hideka memang, baru bersanding dengan Sisil beberapa hari, ia harus merelakan kepergian Sisil tanpa diduga.

Sekarang Hideka sudah tak bekerja di kafe lagi, ia banyak melamun di sana. Jadi, lebih memilih menjalani hari seperti siswa pada umumnya. Hampir setiap hari Hideka datang ke apartemen Sisil, sekadar berdiri di depan pintu melepas rindu. Ia memasukkan surat yang ia tulis tangan lewat sela-sela pintu. Seperti yang Hideka lakukan sekarang. Berharap surat itu bisa dibaca Sisil walau rasanya tak mungkin.

Seragam putih-abu miliknya masih melekat di tubuh, Hideka enggan pergi. Kunci apartemen Sisil masih berada di sana. Hideka tahu, tapi ia tak berniat masuk ke dalamnya sekali pun. Terkesan ceroboh tapi itulah Sisil. Saat ditanya kenapa tidak takut meninggalkan kunci di apartemen hanya di bawah pot, Sisil menjawab, "Isinya nggak seberapa, kalau ada maling masuk kayaknya bingung mau ambil apa."

"Besok aku ulang tahun, Sil. Aku minta hadiah boleh lah, ya. Kamu datang ke sini, tapi nggak mungkin. Seenggaknya kamu bisa dikubur dengan layak. Jadi tolong balik lagi." Hideka bermonolog sambil bersandar pada pintu.

"Cincinmu masih ada di aku. Bakal aku simpan sampai kita ketemu, Sil."

"Kalau gitu aku pamit dulu ya, besok datang lagi. Aku mau jenguk Bunda kamu dulu."

Hideka juga rutin ziarah ke pusara Sarah sebulan sekali. Ia merasa bersalah karena tak bisa menjaga Sisil dengan benar. Hidup Deka sudah berubah seratus delapan puluh derajat semenjak kepergian Sisil. Ia jadi lebih pendiam. Siapa juga yang mau ditinggal orang yang disayang, butuh waktu agar semua benar-benar kembali seperti sedia kala.

Hideka terhenti begitu sampai di depan pusara Sarah. Bunga mawar merah segar masih tersebar di atasnya, lalu ia melihat sekeliling. Siapa yang mengunjungi Sarah selain dirinya. Ia ingat betul hanya sebulan sekali berkunjung. Mana mungkin mawar yang ia tebar satu bulan lalu masih segar hingga sekarang. Tapi tak ada orang lain selain Hideka di sana. Apa mungkin saudara jauh Sarah? Hideka tak ambil pusing soal itu.

"Tante, maafin Deka, ya. Jangan bosen dengerin permintaan maaf Deka. Deka memang nggak bisa jagain Sisil ternyata. Deka nggak tau ayahnya sejahat itu. Harusnya malam itu Deka tetep nekat jemput Sisil."

Kalimat-kalimat penyesalan terus keluar dari mulut Hideka. Tiada akhir baginya untuk selesai meminta maaf. Semua mungkin berjalan begitu cepat, hanya satu malam. Satu malam di mana Sisil merasakan kecewa yang paling berat. Setelahnya masih harus disambut dengan kelicikan Bagas. Semuanya hanya satu malam, tapi berefek bagi orang-orang yang pernah hadir di sekitar Sisil. Dan itu tidak bisa hilang begitu saja sampai hampir satu setengah tahun terakhir.

Hideka setiap hari berkunjung ke apartemen Sisil, ia jadi yang paling terpukul. Mungkin Hideka tak pernah menunjukkan air mata ketika berkunjung, tapi jauh di dalam hatinya ada rasa yang tak akan pernah ia lupakan. Perasaan teriris, sakit yang tak bisa dituangkan dalam bentuk apapun. Itu lebih menyakitkan.

Linda yang sering memasak pecel kesukaan Sisil saat sosok yang sudah ia anggap anak sendiri itu berkunjung ke rumah dan makan pecel dengan lahap. Keluarga Hideka mengharapkan momen-momen seperti itu. Momen yang tak akan pernah bisa terulang lagi.

Suasana di kafe pun jadi berbeda. Linka yang tak seceria biasanya. Mungkin Egi, Wawan, dan Pak Kunto masih bisa mengontrol sikap. Tapi tidak dengan Linka dan Hideka. Bahkan Hideka sampai resign karena sudah tidak nyaman. Ia takut akan mengacaukan kerja tim, apalagi ia sebagai penyanyi kafe di sana. Linka beberapa kali tidak sengaja memanggil nama 'Sisil' karena yang ia ingat Sisil masih berada di sini sampai sekarang.

Pak Kunto juga tak berniat menambah jumlah pegawai. Hanya menyewa anak magang saat hari tertentu saja kalau-kalau kafe akan ramai pengunjung. Suara merdu Hideka yang biasanya menyapa telinga para pengunjung kini sudah berganti dengan playlist lagu biasa yang diputar dengan disambungkan dengan pengeras suara.

Karena satu malam, malam-malam selama satu setengah tahun pun terasa berbeda. Belum bisa kembali sepeti semula. Mungkin bagi sebagian orang satu setengah tahun adalah waktu yang lama, terlalu berlarut dalam kesedihan. Tapi bagi mereka yang ditinggalkan satu setengah tahun masih terlalu singkat untuk mengembalikan hal-hal yang ada seratus persen sempurna.

Sosok Sisila Nagauri, siswi SMA biasa yang kehidupan sekolahnya sebagai seorang pelajar tak terlalu berwarna, ia sekolah hanya untuk mencari ijazah saja. Sisil lebih dikenal di luar sekolah, ia menemukan warna pada arti kehidupan yang sebenarnya. Kerja hingga pulang larut malam, penghasilan yang harus ia hemat betul untuk menyambung hidup.

Uang yang tersisa harus ia kumpulkan agar bisa melanjutkan kuliah. Ia ingin kerja yang mapan, Sisil tak mau anaknya nanti merasakan kesusahan saat anaknya harus fokus pada pendidikan. Sisil harus mapan jauh sebelum memutuskan untuk berkeluarga. Sisil tak mau anaknya mempunyai ayah yang sama sepeti ayahnya. Sisil ingin tetap ada di sisi anaknya sampai anaknya tua nanti.

Itu beberapa cita-cita Sisil yang belum sempat terucap, kalau sudah seperti ini, memang masih bisa terealisasi?

Baik Hideka dan keluarganya serta Linka merasa masih perlu waktu sedikit lama lagi agar bisa mengembalikan semua yang sudah terjadi. Mereka sangat ingin melupakan bagaimana kenangan Sisil yang pergi secara tragis tanpa menghilangkan sosok Sisil yang melekat di hati mereka.

tbc.

terima kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang