« Babak 23 »

29 0 0
                                    

"Ayo, ke atas!" Teriakan Radeya membuyarkan Sisil yang tengah bergelut dengan pemikirannya. Ia masih bingung dan samar-samar dengan hal yang baru saja dicermatinya.

"I-iya, Om. Saya duluan ke atas, ya." Jawaban Sisil menggantung penuh ragu. Lantas berjalan ke atas mengikuti Radeya untuk segera mengerjakan tugas kelompok.

Sampai di kamar pun Sisil masih diam menyangga dagu, ia tidak bisa tenang. Dugaan buruk muncul di otaknya. Ayah yang bunuh Tante Ruri? Sejujurnya, satu pertanyaan itu berhasil mengendalikan pikiran Sisil, ia tak bisa bohong dengan diri sendiri. Malam yang tak akan pernah mau ia kenang, harus ia ingat betul detail penting yang ada. Walau waktu hampir bisa menjauhkan kenangan buruk karena Sarah ditangkap, aroma parfum milik Bagas tadi seolah membuat Sisil kembali ke malam itu. Ditambah iabjuga pernah sekilas wajah lelaki berbaju serba hitam.

"Jangan bengong, buruan dikerjain." Sadar dari lamunannya, Sisil bergegas menuruti permintaan Radeya. Lebih baik memikirkan ini ketika sampai di rumah saja.

Tak terasa waktu berlalu, tugas dari Bu Rosma selesai mereka kerjakan. Karena tak ada yang harus dilakukan, Sisil pamit pulang. Ia tidak bertemu dengan Bagas, sepertinya sudah pergi.

Sampai di rumah, Sisil segera mencari foto pernikahan bundanya yang ia simpan. Sisil memandangi foto itu, begitu lama. Senyum kecil sempat terukir di bibirnya. "Jadi, gitu ya rasanya ketemu Ayah secara langsung. Walaupun belum pasti, tapi Sisil udah yakin kalau itu Ayah."

Ia senang bisa bertemu sosok Bagas sebagai ayahnya, meski Bagas sendiri tidak sadar sama sekali bahwa gadis SMA yang ia sapa tadi adalah anaknya sendiri, Sisil. Anak yang selama ini ia sia-siakan. Tumbuh besar tanpa belai kasih seorang ayah. Beruntung Sarah berhasil mendidik Sisil menjadi sosok gadis yang mandiri.

"Tapi, apa bener Ayah yang bunuh Tante Ruri?"

<3 <3 <3

Entah ada angin apa, Bagas terus mengingat pertemuannya dengan gadis yang tak lain adalah Sisil. Mata cantik milik Sisil terus terpaku di ingatannya. Ia merasa pernah melihat mata itu, mata yang selalu berbinar ketika berbicara padanya. Mata yang tak pernah lepas sedikit pun ketika diajak bicara. Bagas seolah berbicara lagi dengan orang yang sama.

"Anak itu tadi mirip siapa, ya? Apa saya pernah ketemu dia sebelumnya? Rasanya nggak, ah." Bagas berusaha menyangkal suara hati yang terus mengatakan bahwa ia pernah melihat sosok yang demikian.

"Woy, kalau nyetir lihat jalan! Jangan seenaknya aja!" Tegur pemuda dengan membunyikan klakson motornya. Bagas yang tersadar langsung membelokkan setir, ia tak sadar jika hampir memasuki jalur dari lawan arah. Beruntung pemuda tadi mengingatkan Bagas. Ia terlalu memikirkan Sisil, hingga lalai dalam berkendara.

<3 <3 <3

Akhir pekan mengembalikan aktivitas Sisil, Hideka, dan Linka seperti biasa. Mereka full bekerja di Hari Sabtu, bahkan ketiganya tiba di kafe lebih awal hari ini, ingin membantu dari awal sampai semua siap. Hitung-hitung tanda terima kasih pada Egi karena membiarkan mereka free kerja selama satu minggu.

Kafe tidak begitu ramai pagi-pagi begini, jadi semua pekerja bisa santai melakukan tugas. Dimulai  menata meja dan kursi, lap ini itu, sampai mengecek bahan dan perlengkapan di belakang seperti yang Deka dan Sisil lakukan saat ini. Mereka berdua sibuk mengecek apakah ada bahan yang kosong atau tidak.

"Gue kemarin ketemu Ayah waktu ke rumah Radeya," ujar Sisil hendak membuka pembicaraan bersama rekannya itu.

"Kamu nanya sesuatu nggak?" Sisil hanya menggeleng pelan. "Perlu waktu buat nanyain hal kaya gitu. Dan kalau kamu belum siap, nggak perlu maksain diri juga. Oke?" Deka menepuk pundak Sisil pelan.

"Oke." Hideka sendiri tak berani menanyakan banyak hal, ia takut Sisil sedang sensitif yang berujung malah menangis di sini. Ia siap mendengar apa yang Sisil ceritakan, begitu juga kalau dimintai bantuan. Deka akan selalu siap untuk Sisil.

<3 <3 <3

tbc.

terima kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang