« Babak 13 »

61 6 11
                                    

[Sisil]

Sisil…

Iya?

Sekarang kan kita kalau hari minggu libur kerjanya

Ya terus?

Mau ikut nganter mas yuda ke terminal?

Gue naik apa?
Kan cuma ada motor satu di rumah lo
Iya nggak sih?

Iya, tapi motornya rusak
Besok mau naik gocar 

Ngapain juga gue ikut
Udah kalian berdua aja

Nggak apa
Nanti habis itu mampir ke rumah

Disuruh Ibu?

Nggak, aku yang nyuruh
Nolak makan gratis nih?

Yaudah deh, lumayan
Jam berapa?

Pagi, sekitar jam 7 udah otw

Oke, kabarin besok

Sudah kelihatan kan kalau begini, siapa yang suka siapa? Diharapkan nggak ada yang denial soal perasaan masing-masing ke depannya. Yahh, siapa tau berjodoh. Nggak ada yang tahu deh.

Hideka langsung berlari ke kamar ibunya untuk mengabari bahwa akan ada tamu datang, bukan nama yang asing lagi di telinga Linda. Sisil, hanya itu nama perempuan yang selalu Linda dengar dari mulut Deka.

Rupanya Linda sedang melipat daster-daster yang baru saja kering. Dengan telaten tangannya bergerak melipat daster hingga rapi, simetris. Deka langsung saja menuturkan apa yang ingin diucapkan, mengenai Sisil yang akan mampir besok lusa.

“Ibu sama Bapak mau sekalian pulang ke Surabaya. Kamu lupa?” Linda berdiri untuk memasukkan daster yang sudah dilipatnya ke dalam lemari kayu.

“Loh, jadi? Deka ditinggal sendirian?” tanya Deka tak percaya.

“Nanti kamu nggak sekolah, kelewat pelajarannya. Di sini aja, wong ya udah gede. Besok aja kamu ikut kalau lebaran,” ucap Linda dengan nada menasihati.

Deka murung, ia sudah rindu dengan saudara-saudaranya di Surabaya. Sudah sekitar dua tahun ia tak pulang ke sana, paling-paling hanya Ibu dan Bapak saja. Kalau Yuda kan memang kuliah di Surabaya, ambil prodi DKV.

“Terus Sisil sama Deka makan apa? Kan Deka udah bilang ajak ke sini buat makan.”

Linda memandang anaknya gemas, “Ya diajak makan di luar toh, mau PDKT kok nggak modal. Lagian kalian mau berduaan di rumah? Ngawur aja!”
 
“Iya, iya.” Deka langsung melejit keluar dengan muka masam, maksud si ibu bilang PDKT apa ya? Ia berpapasan dengan Yuda saat hendak masuk kamar. Kakak laki-lakinya yang penasaran itu jadilah bertanya.

“Kenapa?”

“Aku ditinggal sendirian di Jakarta, Ibu sama Bapak mau pulang ke Surabaya juga.”

“Lah, iya?!” heboh Yuda yang berjalan menuju kamar Linda, ingin memastikan apakah perkataan adiknya ini benar adanya. 

Hideka langsung menutup pintu setelah masuk kamar. Jadi harus terpaksa keluar duit begini, kan lebih hemat kalau mereka makan masakan Linda di rumah. Berasa juga suasana kekeluargaannya. Untung uang dari hasil bernyanyi di kafe selalu ia tabung tiap bulan, amanlah untuk jalan besok. Simulasi dating nih ceritanya.

<3 <3 <3

Sisil masuk ke mobil yang isinya keluarga Deka itu. Ya, mobil hasil pesanan dari aplikasi go car berhenti di depan apartemen untuk menjemput Sisil, memang searah menuju terminal. Ia duduk di tengah bersama Deka dan Linda, di sebelah pak supir ada Andra, dan Yuda sudah pasti di belakang dengan koper, tas jinjing, serta kardus-kardus untuk dibawa pulang kampung. Agak terhimpit, tapi tak apa.

Dua puluh menit sampai juga di terminal, tak terlampau ramai. Mereka memang sengaja memilih bus dengan jadwal pemberangkatan pagi, agar sampai di sana malam hari. Setelah menurunkan barang bawaan, mereka berjalan ke agen, menunggu kedatangan bus yang sudah dibeli tiketnya.

Sisil hanya mengekor sedari tadi, bingung juga mau ngapain. “Asli Jawa berarti ya, Bu?” tanya Sisil pada Linda yang dari tadi terus mengawasi terminal, kali saja bus sudah datang.  Aihh, sudah pakai 'Ibu' manggilnya.

“Iya, Nak. Kalau yang Surabaya itu Bapak, Ibu dari Solo. Sisil asli Jakarta?” tanya Linda balik setelah Sisil merespon dengan membulatkan mulut. 

“Bunda sih Sunda. Tapi Sisil besarnya di Jakarta.” Linda pun manggut-manggut saja.

“Itu udah datang busnya, ayo siap-siap! Yuda bantuin angkat kardus,” komando Andra setelah sebuah bus berhenti di depan mereka. Yuda dan Deka dibantu bapak-bapak dari dalam bus memasukkan barang ke bagasi. Setelah itu Linda dan Andra masuk ke dalam, disusul Yuda dengan ransel di punggungnya.

“Kita berangkat dulu, jangan aneh-aneh kalian!” teriak Yuda agar adiknya bisa mendengar dengan jelas apa yang ia katakan. Sisil tersenyum kaku dan Deka malah memberikan senyum mengejek pada Yuda. Berangkatlah mereka ke Surabaya, meninggalkan dua insan muda ini.

Untuk beberapa saat mereka saling diam, tak tahu langkah selanjutnya yang patut dilakukan. Apa langsung ajak makan? Tapi masih pagi, batin Deka sebelum Sisil memanggil dirinya.

“Hideka,” panggil Sisil yang tentu saja membuat sang empu melotot karena memanggilnya dengan nama tersebut.

“Loh, kok?!”

“Ibu pasti, ya?” Deka menduga bahwa Linda yang membeberkan tentang persoalan nama ini. Sisil mengangguk cengengesan.

“Jangan panggil begitu, nggak suka.”

“Dih, kenapa?” tanya Sisil pura-pura tak tahu.

Girly kesannya.”

Sisil tertawa puas, jadi marah ceritanya? Ada gitu cowok marah karena malah dipanggil pakai nama lengkap. Selain Deka, ada? Ia berhenti tertawa setelah melihat Deka menatap dengan tatapan sinis, langsung kicep.

“Mau makan sekarang?” tawar Deka, niatnya mau diajak makan bubur ayam daerah sini. Di rumah tidak ada makanan, apalagi kalau Linda tahu anaknya bawa anak orang ke rumah, cewek pula.

“Hmm, masih kenyang. Tadi minum energen.”

Mereka memikirkan kiranya ke mana sekarang, mau makan masih kenyang, ke rumah nggak dibolehin. Kerja? Khusus hari minggu pekerja part time, terlebih yang masih sekolah diliburkan. Peraturannya baru jalan minggu ini.

Sisil akhirnya menemukan sebuah tempat, yang (mungkin) akan cocok untuk mereka berdua kunjungi. Tak akan Deka menolak diajak ke sini, ia yakin seratus persen Deka akan mengiyakan ajakannya.

“Belum pernah ketemu Bunda, kan? Yuk ke sana.”

<3 <3 <3

tbc.

terima kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang