Ruangan yang didominasi bau obat-obatan menjadi tempat Hideka dan Sisil sekarang berada. Menunggu pemuda yang tak lain adalah Yuda, ia hanya bisa terbaring di bed IGD setelah mengalami kecelakaan kecil dalam perjalanan pulang dari Surabaya menuju Jakarta. Beruntung, dokter yang menangani Yuda tadi mengatakan jika ia boleh pulang hari ini. Karena setelah diperiksa, tidak ada luka serius yang mengharuskan Yuda dirawat inap.
Padahal tadi Hideka dan Sisil sudah buru-buru dalam perjalanan ke rumah sakit, bahkan rambut Sisil sampai lepek karena diajak berlarian. Mereka juga sempat membayangkan yang tidak-tidak menyangkut nyawa Yuda. Hideka memutuskan untuk tidak menghubungi kedua orang tuanya dulu, karena takut keadaan tambah ruwet nantinya.
"Lagian kok ya bisa sih, Mas? Gaya banget pake mobil."
"Ngantuk, Surabaya-Jakarta nyetir sendiri lho," jelas Yuda pelan.
"Makane, kalau ngantukan tuh mbok ya nggak usah nyetir sendiri. Untung nggak mati." Deka uring-uringan sendiri setelah mendengar jawaban dari kakaknya. Sebenarnya, Deka itu jelas khawatir, dari ekspresi wajah saja sudah kelihatan. Tapi memang gengsi untuk mengungkapkan kekhawatirannya itu dalam kata yang lebih halus.
"Heh, lambemu!"
Sisil jadi pusing seketika mendengar perdebatan antara kakak-beradik itu. "Udah, jangan berantem. Kasihan pasien yang lain." Keduanya langsung menghentikan adu mulut saat Sisil menegur. Deka dalam mode galak ternyata cukup menakutkan, Sisil mengakuinya. Selama ini ia selalu disuguhi sikap manis nan lembut dari seorang Hideka, tak pernah sekali pun ia melihat Hideka marah. Ia tadi sempat was-was untuk menegur.
"Ayo, Sil!" Hideka menarik tangan Sisil pelan untuk mengajak Sisil keluar dari IGD.
"Kemana?" heran Sisil.
"Cari es teh, biar seger. Sekalian makan, ya? Aku yang bayar kok." Sisil tersenyum senang mendengar ajakan Deka.
Dengan modal berani dan uang lima puluh ribu rupiah, Deka menggandeng Sisil berkeliling di sekitar rumah sakit. Ia mencari pedagang makanan yang bisa mengenyangkan perut mereka. Sepuluh menit berlalu, akhirnya pilihan mereka jatuh pada bakso dan mi ayam gerobak yang mangkal di belakang rumah sakit. Hideka menyuruh Sisil mencari tempat duduk dulu, dan ia akan memesan makanannya. Mereka berdua itu tidak ada bosannya makan mi bakso.
"Mi ayamnya dua, tapi yang satu nggak usah pakai ayam ya, Pak." Lelaki itu teringat saat Sisil menyisihkan potongan ayam di mangkoknya beberapa waktu lalu.
"Loh? Jadi mi, sawi, sama kuah aja?" Hideka mengangguk pelan sambil tersenyum kikuk.
"Minumnya es teh dua, Pak.” Bapak penjual mi ayam segera menyalakan kompor untuk memasak pesanan, sementara Deka berjalan menghampiri Sisil yang sudah duduk manis sambil memainkan handphone.
"Deka, gue mi ayamnya ng-"
"Nggak pakai ayam, kan?" potong Deka cepat, Sisil dibuat terkejut. Sungguh, ia heran kenapa Deka bisa ingat dan tahu kalau dirinya tak suka ayam di mi ayam. Aneh ya? Tapi memang begitu adanya. Sisil menunduk sekejap, entah kenapa malah tersenyum kecil atas perlakuan Hideka.
Sambil menunggu pesanan datang, mereka berbincang mengenai kejadian-kejadian yang terjadi selama ujian berlangsung. Bercerita tentang keluh kesah soal yang sulit dikerjakan, teman yang ngeyel minta jawaban padahal tidak diperkenankan memberi jawaban pada teman, sampai sifat pengawas yang beragam. Tadi Deka beruntung, karena mendapat pengawas ujian yang malah tidur saat masuk ke kelas. Padahal hanya beralaskan meja dengan posisi duduk ia bisa tidur nyenyak.
Sedangkan Sisil, tak ada yang spesial dengan hari-hari ujiannya. Yang ada malah semakin canggung dengan Radeya. Sisil teramat ingin menanyakan latar belakang keluarga Radeya, tapi ia rasa ini jadi tak sopan kesannya. Apalagi melihat bagaimana Radeya memandang Sisil, ia masih percaya bahwa Sarah yang membunuh Ruri malam itu.
Bapak penjual mi ayam datang dengan dua mangkok mi ayam yang asapnya masih mengepul, pertanda mi ayam itu baru saja dimasak. Tanpa menunggu apa pun, Hideka dan Sisil langsung memakan saja mi ayam masing-masing.
Sisil sesekali tersenyum senang saat menikmati makanannya itu, mi ayam tanpa ayam adalah surga baginya, bahkan sudah tersisa setengah mi yang ada di mangkok Sisil. Dan mi milik Deka tampak belum berkurang, ia terlalu fokus untuk mengutarakan isi hatinya yang tadi sempat tertunda. Apakah tepat mengatakannya di saat seperti ini?
"Sisil, aku mau lanjutin ucapan yang tadi."
Seketika tubuh Sisil menegang mendengar perkataan lelaki di depannya. Ia berhenti memakan santapannya dan fokus pada Hideka. Kepalanya mengangguk, memberi isyarat bagi Deka untuk melanjutkan ucapannya.
"Aku suka kamu, Sil." Akhirnya, Hideka berhasil mengucapkan apa yang menjadi maksudnya selama ini. Rasa yang entah sejak kapan muncul, yang membuat jantungnya berdebar tiap kali bertemu dengan rekan kerjanya sendiri ini. Sisil pribadi masih kaget, walau pun sudah menduga ini yang akan dikatakan Deka pada akhirnya.
"Kamu gimana?" tanya Hideka memastikan karena Sisil tak kunjung merespon.
"Gue masih bingung sama perasaan sendiri. Tapi gue nyaman kalau ada lo. Mungkin masih butuh waktu buat diri sendiri gue tau, perasaan nyaman ini artinya cinta atau yang lain." Sisil menjelaskan dengan tenang, berbeda dengan keadaan jantungnya di dalam sana yang sudah berdebar. Ia berusaha berkata jujur dengan apa yang ia rasakan terhadap Hideka.
"Jadi?"
"Kita jalani aja dulu ya, Ka. Kita kan juga nggak tau ke depannya gimana. Gue juga berusaha untuk bisa kasih feedback buat rasa suka lo ke gue," final Sisil pada akhirnya.
Deka mengangguk senang diikuti senyum yang terbit di bibir Sisil. Mereka melanjutkan makan malam dan segera kembali menghampiri Yuda setelah selesai.
Malam ini begitu terasa damai, Deka yang mampu menghadapi pertengkaran batin soal perasaannya pada Sisil dan Sisil yang mencoba membuka hati untuk seorang rekan kerja yang ternyata tertarik pada dirinya.
Mereka berdua tak tahu bagaimana akhir dari kisah cinta ini, akan menuju ke jalan yang bahagia karena pada akhirnya mereka saling mencintai, bisa juga malah berhenti di tengah dan berakhir hingga menciptakan kesedihan. Keduanya benar-benar belum tahu, tapi mereka berusaha melakukan yang terbaik untuk mencapai apa yang mereka inginkan sebagai akhir.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
terima kasih
Fanfiction"Ayunan di sebelahku kosong, kamu kapan pulangnya?" Kehilangan yang tak menentu akan kembali atau benar-benar tak bisa dipeluk lagi Kehilangan bukan akhir dari segalanya. Hideka yakin gadis yang mulai mendominasi harinya itu akan kembali, ia yakin a...