« Babak 17 »

60 8 6
                                    

Dengan sisa amarah yang masih menggebu dalam diri gadis yang akrab disapa Yaya itu, kakinya memasuki rumah dan segera menemui Bagas. Tanpa berpikir panjang ia masuk kamar Bagas untuk menanyakan apa maksud dari foto yang ada di tangannya sekarang.

“Yaya udah pu-”

“Maksud foto ini apa, Pa?” tanya Radeya yang langsung membuat Bagas termanggu.

Bagas merebut kasar foto dari genggaman Radeya, memasukkan foto itu ke dalam saku. “Kamu dapet dari mana?” 

“Udah, Papa tinggal jawab itu maksudnya apa, Yaya udah menduga ada sesuatu di antara Papa sama Mama semenjak Yaya SMP. Papa tau, Mama tiap malem nangis, diem-diem. Yaya juga pernah dengar kalian berantem. Semua ini karena selingkuhan Papa itu, kan?”

PLAK!

Tamparan keras membuat pipi sebelah kiri Radeya memanas, ia refleks memegangi bekas tamparan Bagas tersebut, matanya memandang Bagas tak habis pikir. Setelah menemukan foto tersebut dan hendak bertanya maksud pada papanya, bukan penjelasan tapi tamparan keras yang ia dapat.

“Papa?!”

“Kamu nggak tau apa-apa, jangan kurang ajar. Asal kamu tau, kamu pikir Papa ikhlas dan senang merawat kamu semenjak Mamamu itu mati? Nggak, Papa capek, bahkan kalau bisa Papa buang kamu ke panti asuhan," makiannya terjeda. Perlakuan Bagas sangat berbanding terbalik dengan sifat apa yang ia selalu suguhkan pada Radeya. Gadis itu sampai tak menyangka apakah ini papanya? Seumur hidup Radeya, baru kali ini Bagas menampar dan membentaknya. Bagas sudah memendam lama, bersikap baik layaknya seorang ayah yang baik untuk putrinya, padahal jauh di dalam dirinya ada kebencian untuk sang putri.

"Papa nggak akan munafik lagi. Kalau masih mau jadi anak Papa, ikutin semua perintah Papa dan jangan protes sedikit pun!”

Radeya melongo dengan umpan balik sang papa, terlebih terkait perkataan—cara berbicaranya. Ia sama sekali tak paham, kenapa hanya perkara foto Bagas bisa semarah sekarang. Apa hebatnya sih foto sialan itu, pikir Radeya. Ada sesuatu yang Radeya tak tahu, lihat saja, Bagas sampai mengeluarkan sifat aslinya disertai tamparan keras di pipi Radeya.

Apakah Radeya harus tahu cerita dibalik tercetaknya wajah Bagas dan Sarah di foto tersebut?

<3 <3 <3

TOK TOK TOK

Suara ketukan pintu dari tangan Linka masih belum mendapat respon dari pemilik apartemen. Padahal sudah lebih dari lima menit mereka berdiri menunggu Sisil membukakan pintu. Walaupun hari sudah malam, Deka menepati ucapannya kemarin untuk berkunjung ke apartemennya selepas kerja, sekarang ia juga membawa Linka.

“Apa udah tidur, ya?” tanya Deka yang kemudian dijawab oleh Linka. “Nggak mungkin, Sisil kalau tidur akhir-akhir ini malem banget.”

“Tapi kan dia lagi sakit sekarang, siapa tau tidur lebih awal.”

Mereka mencoba mengetuk lagi dan masih setia menunggu pintu terbuka. Sepuluh menit berlalu, masih tak ada tanda bahwa Sisil akan membukakan pintu untuk keduanya. Tak kehilangan akal, Deka mencoba menelepon Sisil, karena chat yang Linka kirimkan tak kunjung dibalas.

“Balik aja, yuk. Besok kan Sisil juga udah kerja, kita tanya dia besok.” Deka mengikuti saran Linka dan berjalan pergi meninggalkan apartemen Sisil. Mereka juga tak mau pulang sampai rumah larut malam, ya walaupun ini juga sudah malam sih.

Penghuni bangunan apartemen ini tidak banyak sebetulnya, mungkin banyak apartemen yang kosong, tapi tidak full diisi. Terkadang hanya ada lima di setiap lantainya, apalagi lantai paling atas, malah kosong, siapa juga yang mau sendirian tinggal di lantai atas. Mereka lebih memilih lantai lima ke bawah, walaupun harganya agak mahal tapi mudah untuk berpergian, mengingat akses ke bawah hanya tersedia tangga saja. Sisil sendiri—lebih tepat bundanya—memilih lantai enam karena harganya lebih murah, hidup hemat itu penting.

“Sisil!” teriak Deka ketika berpapasan dengan Sisil saat menuruni anak tangga. Linka terperanjat kaget melihat keadaan temannya. Seragam basah, rambut lepek, kondisinya tak karuan, itu yang bisa mereka tangkap dari kenampakan seorang Sisila Nagauri sekarang.

Keduanya bergegas memapah Sisil menuju apartemennya, Sisil sendiri masih diam, tak bicara, bahkan sampai di dalam ia masih diam tanpa suara.

“Sisil tolong dibantu ganti baju sana, gue mau buat teh dulu.”

Mau tahu bagaimana Sisil bisa keluar dari toilet yang dikunci Radeya? Tadi satpam yang sedang melakukan patroli di lingkungan sekolah mendengar tangisan kecil Sisil, awalnya takut-takut karena mengira itu setan atau sejenisnya, eh ternyata Sisil yang ada di dalam. Satpam itu segera membantu Sisil keluar dengan mengambil kunci cadangan dari kantor dulu.

Kalau Sisil tidak menangis pasti ia baru bisa keluar dari toilet di pagi hari. Ia tak berniat menghubungi siapa pun untuk keluar, hanya merenung tentang apa yang terjadi antara dirinya dengan Radeya. Beginilah Sisil.

Selang lima belas menit Sisil yang sudah berpakaian rumahan dengan rambut dilapisi handuk keluar dari kamar ditemani Sisil. Mereka bertiga duduk lesehan di ruang tamu yang sekaligus jadi ruang keluarga itu, dua di antaranya sudah siap menginterogasi, terlebih Linka.

“Kelakuan siapa? Nggak mungkin di luar hujan,” tanya Linka menuntut jujur.

Tak ada jawaban dari SIsil, ia malah meletakkan kepalanya dikedua lutut yang ditekuk. “Radeya. Iya, kan? Tuh anak maunya diapain, sih?!” tebak Linka yang berakhir emosi sendiri.

“Maksudnya?” Giliran Deka yang kebingungan. 

“Lo nggak tau? Sisil suka dikerjain kalau di sekolah. Udah gue bilang pindah ke sekolah gue aja, nolak terus.”

“Dikerjain? Dibully gitu?”

“Kiranya begitu,” jawab Linka ragu.

Deka berganti memusatkan padangannya pada Sisil. Mengeluarkan niatnya untuk bertanya pada gadis yang kelihatan setengah sadar itu.

“Bener gitu?” Hening, masih tak ada tanggapan atas pertanyaan yang Deka lontarkan. Hideka semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Sisil, memandanginya intens. Masa bodoh dengan keberadaan Linka di sebelah.

“Kenapa diem, ada yang sakit, hm?” Sampai di sini malah hati kecil Linka yang meronta-ronta mendengar ucapan lembut Hideka. Nggak waras Deka, batin Linka gemas.

Sisil putus asa, ia memilih untuk menangis dari pada menjelaskan apa yang terjadi dengan dirinya di sekolah tadi. Sisil membiarkan kedua temannya ini makin penasaran.

“Kayaknya memang perlu gue samperin tuh anak. Rumahnya mana, Sil? Biar gue labrak sekalian.” Linka yang hendak berdiri dicegah oleh Sisil. Tatapan tidak setujunya membuat Linka mengurungkan niat. Linka yang notebene teman saja sangat kesal melihat Sisil mendapat perlakuan seperti ini, kenapa Sisil sendiri malah diam seribu bahasa.

“Jangan ....”

“Kalau memang temenmu yang salah, seenggaknya kita harus ingetin dia. Kamu mau diperlakukan gitu terus? Toh kamu nggak salah apa-apa, kan. Kamu takut sama temenmu itu?” ceramah Hideka dengan nada agak tinggi karena khawatir, cara bicara yang membuat Sisil harus lebih berani dalam mengambil keputusan.

Mata sembab Sisil memandangi Hideka dan Linka bergantian. “Iya, gue takut sama Radeya. Kalau dia ternyata memang adek gue gimana? Gue harus apa?”

<3 <3 <3

tbc.

terima kasihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang