"GUE BENCI SAMA LO!"
"PLEASE, JANGAN TINGGALIN KITA!!"
Suara ekg yang terhenti kembali bersuara. Detak jantung Marsha telah kembali. Benar-benar sebuah keajaiban.
Petugas medis yang melihatnya membelalak kaget. Ia langsung mengecek denyut nadi Marsha.
"Detak jantungnya kembali."
Tian dan Chika merasa sangat bersyukur. Karena inilah yang mereka harapkan. Marsha harus tetap bertahan hidup. Masih ada kebahagiaan lain yang akan datang pada gadis itu.
"Cepat melaju lagi! Detak jantung pasien telah kembali!" perintah petugas medis pada supir ambulan.
Supir ambulan mengangguk dan menancapkan pedal gasnya sampai di rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit. Marsha langsung di bawa ke dalam ruang operasi. Chika dan Tian yang tidak di perbolehkan masuk, di minta oleh suster menunggu di luar.
Tian menggenggam tangan Chika yang bergetar.
"Kita sama-sama berdoa ya kak. Semoga aja operasi kak Marsha berjalan dengan lancar," ucap Tian.
Chika membalas genggaman Tian dan menyandarkan kepalanya di pundak Tian.
"Aku takut, Tian..." lirih Chika.
Tian tersenyum simpul.
"Kan, udah ada aku," ucap Tian.
"Dulu aku di tinggal sama papah mamah karena mereka henti jantung dalam perjalanan ke rumah sakit, dan sekarang aku melihat apa yang pernah terjadi saat itu."
"Kita pasrahkan aja semuanya sama tuhan apapun yang sedang terjadi hari ini kak."
"Kamu nggak akan tinggalin aku kayak mereka juga kan, Tian?"
"Selagi di sini masih ada kak Chika, aku bakal tetep di samping kakak kok."
"Aku harap begitu."
Chika dan Tian duduk di depan riang tunggu operasi selama berjam-jam sampai operasi Marsha selesai. Mereka sama-sama saling mendoakan yang terbaik untuk Marsha.
Pintu operasi terbuka dan tertutup kembali, karena para perawat yang terus keluar masuk untuk mengambil stok darah di ruang penyimpanan khusus.
Ponsel Tian berdering, Zee meneleponnya. Tanpa menunggu waktu lama, Tian mengangkat telepon dari Zee.
"Halo kak Zee?"
"MARSHA DI RUMAH SAKIT MANA?!"
Tian menjauhkan ponsel dari telinganya. Suara Zee yang sangat keras membuat pendengarannya jadi sakit.
"Rumah sakit delima."
"Gue kesana sekarang!"
Telepon di matikan oleh Zee. Tian menghela napas panjang lalu mengusap kupingnya.
"Zee mau kesini?" tanya Chika.
"Iya," jawab Tian.
"Tau dari mana?"
"Kayaknya mamah."
Tiga puluh menit kemudian. Zee datang sambil berlari dengan napas yang terengah-engah. Wajahnya masih terlihat pucat karena kondisinya yang belum membaik.
Zee berlutut di depan pintu ruang operasi. Tangannya meremas kuat di kemeja yang dia pakai. Rasa khawatir, penyesalan dan rasa bersalah bertumpu menjadi satu. Membuat hati dan pikirannya semakin kacau.
"Marsha..."
Tian beranjak dari tempat duduknya dan menepuk bahu Zee.
Zee menoleh, matanya menatap Tian dengan berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
FLYING HOPE [ENDING] ✓
Teen FictionBaca aja dulu siapa tau tertarik. __________________ Maret, 2023.