Bel istirahat yang menggema adalah pertanda baik bagi seluruh siswa untuk keluar kelas dari segala kebosanan. Beberapa jam duduk di kelas dengan tertib, sebagian besar karena terpaksa, sambil mendengarkan guru berceramah membuat konsetrasi menurun. Apalagi ditambah sambil memikirkan kapan bel sekolah berbunyi.
Di kelas 3-1, hampir seluruh siswa meninggalkan kelas. Mereka tidak tahan dengan jeritan lapar yang berasal dari lambung setelah mengerjakan ulangan harian fisika. Kecuali keempat orang siswa perempuan yang belum beranjak dari kelas.
"Haaahh, otakku rasanya mau meledak."
Tenten berteriak dan mengeluh di atas mejanya. Kepalanya ia benturkan pelan di atas meja. Dengan kasar, Tenten juga mengusap pipinya. Beberapa anak rambut Tenten yang dicepol juga keluar. Sepertinya hampir setengah dari nyawa Tenten bertaruh dengan ulangan fisika tadi.
"Aku juga Tenten. Rasanya aku mau maskeran pulang sekolah nanti."
"Apa kaitannya dengan maskeran, Ino-chan ?" tanya Hinata.
"Aku merasa mukaku mulai ada kerutannya karena aku terlalu berpikir keras."
Ino menjawab pertanyaan Hinata sambil mengeluarkan cermin dari saku tas sekolahnya. Diperhatikan pantulan wajahnya. Tangan Ino menyentuh daerah sekitar mata dan kening. Bagian itu sering berkerut akibat Ino berusaha menghitung untuk jawaban ulangan fisika.
Hinata tertawa melihat perilaku Ino dan Tenten. Mereka memiliki sifat yang unik.
"Kau tampak baik-baik saja, Hinata," ujar Ino masih bercermin.
"Uhm a-ano, aku semalam belajar bersama Neji-nii jadi aku tidak perlu khawatir."
Ino menatap datar Hinata kemudian mendesah. Hinata maupun Neji adalah anggota keluarga Hyuga yang disiplin belajar, gerutu Ino dalam hati. Sementara itu, iris lavender Hinata menatap ke arah lain. Sisi pojok kelas paling belakang. Dilihatnya wajah Sakura tidak mengalami stress ataupun kehilangan separuh nyawa seperti Tenten. Malah teman berambut pinknya itu mengeluarkan buku sketsa dan tempat pensil.
"Kau mau menggambar, Sakura-chan ?"
Karena merasa ditanya oleh sahabat perempuannya, Sakura menganggukkan kepalanya semangat.
"Yup ! Aku mau ke taman belakang sekarang."
Kesibukan Ino dan Tenten beralih kepada Sakura. Sahabat perempuan berambut merah muda itu tidak menampakkan kelelahan ataupun stress setelah ulangan. Padahal teman-teman yang lainnya menampakkan muka lesu seperti Tenten.
Lebih sedih lagi raut wajah Rock Lee. Sebelum bel masuk sekolah, Lee menyatakan perasaan sukanya kepada adik kelas satu. Sayangnya, dia ditolak. Nasibnya berlanjut ke ulangan fisika. Wajahnya melebihi kulit pucatnya Sai. Mungkin di jam istirahat ini, Lee segera menemui guru idolanya, yaitu Guy-sensei. Meminta nasehat untuk membangun gejolak semangat mudanya kembali move on.
Bayangkan saja soal ulangan fisika yang diberikan oleh Orochimaru-sensei sebanyak dua puluh soal dikerjakan selama jam pelajaran fisika yang berlangsung selama dua jam. Untuk soalnya jangan ditanya lagi. Sensei yang suka mengoleksi dan mengawetkan berbagai jenis ular di laboratorium atau di ruang kerjanya memberikan soal beserta anak pinaknya. Alias soalnya bercabang di tiap nomornya.
"Isi kepalamu masih sanggup untuk mengeluarkan ide-ide untuk menggambar, Sakura ?"
Posisi Tenten kini bertompang dagu di atas meja.
"Lagi kejar setoran, Tenten. Lagipula, aku lagi banyak ide menggambar setelah selesai ulangan," jawab Sakura disertai kekehannya.
Ino dan Tenten menggeleng-gelengkan kepala mendengar keunikan dalam diri Sakura. Sepertinya soal-soal dari Orochimaru-sensei menambah dunia imajinasi Sakura.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVING HIM WAS RED
Fiksi PenggemarKetika aku menyadari ada perasaan yang mulai masuk dan menjalar ke seluruh tubuh, aku merasakan semua hormon ini berkerja berlebihan. Pipiku bersemu merah, jantungku berdegup lebih cepat, perutku serasa dipenuhi kupu-kupu, dan di kepalaku berputar-p...