Gaara terbangun karena rasa ingin buang air kecilnya sudah tak tertahankan. Ia bangkit dengan mata setengah mengantuk menuju toilet. Begitu selesai dengan urusannya, Gaara keluar dari sana dengan rasa kantuk yang berkurang, bisa dibilang hampir menghilang.
Iris kehijauannya melirik jam yang ada di dinding.
Pukul tiga pagi.
Sudah hampir pagi, pikirnya. Sakura datang ke rumahnya sekitar empat jam yang lalu, dan dengan baik hati membuatkan bubur untuknya.
Rasa sakit di kepalanya sudah tidak seintens tadi sore. Ia juga sudah tidak merasa mual lagi, justru sekarang Gaara merasa lapar karena belum makan dengan benar sejak pagi. Saat Sakura mampir ke rumahnya, ia benar-benar ingin menahan perempuan itu untuk menemaninya sepanjang malam.
Namun, Gaara tahu dirinya tak dapat melakukan hal tersebut. Menahan Sakura untuknya sendiri adalah tindakan egois. Sehingga daripada membuatnya semakin enggan melepas sahabatnya pulang, Gaara meminta Sakura untuk tidak berlama-lama menjenguknya. Terdengar jahat memang, tapi ia juga khawatir perempuan itu akan pulang semakin larut. Jalanan malam di Jepang tidak seaman itu.
Kakinya melangkah menuju dapur yang gelap gulita. Tangannya meraba-raba dinding guna mencari letak saklar lampu, lalu menyalakannya. Gaara mendekati kompor dan menghangatkan bubur yang telah dibuat Sakura.
Selama menunggu proses memasak itu, Gaara mengambil gelas, kemudian mengisinya dengan air. Tenggorokannya terasa sangat kering, dan nyeri tentu saja. Ia juga mengambil mangkuk bersih dari rak berisi perabotan.
Pikirannya kembali melayang jauh.
Gaara kebingungan memikirkan masa depannya. Ia ingin melanjutkan pendidikannya lagi. Setelah lulus dari sekolah tahun lalu, keinginannya untuk lanjut belajar ke jenjang yang lebih tinggi terus membayanginya. Apalagi mimpinya menjadi seorang detektif masih belum luntur. Sebenarnya, Gaara bisa saja melanjutkan kuliah. Hasil kerja kerasnya selama ini menghasilkan tabungan yang cukup. Ia juga bisa mengambil program beasiswa nantinya.
Namun, ada beberapa hal yang terasa memberatkan jika ia pergi berkuliah nanti.
Sakura.
Gaara merasa berat hati untuk pergi meninggalkan perempuan itu sendirian.
Lelaki itu menghela napas panjang, sadar dirinya sudah melamun lagi. Ia beranjak dan melihat buburnya sudah kembali panas. Mengambil bubur itu secukupnya, kemudian kembali duduk di kursi. Indra pengecapnya masih terasa pahit, jadi ia tidak menambahkan apa-apa lagi pada makanannya.
Gaara makan dengan tenang dan perlahan. Sepi yang menggigit tak menjadi masalah. Toh, ia sudah terbiasa.
***
Hari libur bekerja Sakura jatuh di hari Rabu.
Maka, selepas pulang sekolah, ia memilih untuk langsung pulang ke rumah. Merawat ayahnya dan membiarkan Bibi Kurenai beristirahat. Wanita itu pasti butuh waktu untuk dirinya sendiri setelah seminggu penuh menggantikan dirinya merawat sang ayah
"Aku pulang ...." Sakura melepas sepatu serta kaus kakinya, lalu menaruh alas kaki tersebut ke tempatnya.
"Oh, Sakura? Kau pulang cepat hari ini," Kurenai menghampirinya dari arah dapur. Wanita itu tengah mengenakan apron dan membawa spatula di tangannya, nampaknya tengah memasak makan malam.
"Bibi lupa kalau hari Rabu itu aku libur?" Sakura mengekori bibinya yang kembali ke dapur.
Kemudian, Kurenai mendesah kecil seolah baru mengingat hal biasa yang terus dilupakannya, "Aduh, lagi-lagi aku lupa," ia menjeda perkataannya sejenak untuk mengaduk masakannya, "Coba cicipi ini," Kurenai mengambil sendok bersih, mengambil sedikit kuah kare yang ada di panci, lalu menyodorkannya pada Sakura.
![](https://img.wattpad.com/cover/284998347-288-k204851.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Serenade
FanfictionDia terkutuk. Sesuai dengan apa yang diucapkan oleh wanita itu, bayi laki-lakinya terkutuk. Fugaku tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan pada bayi laki-laki tersebut. Haruskah ia membunuhnya? Tapi, ramalan berkata bahwa bayi ini akan membawa kes...