Matahari terasa lebih terik dari hari-hari sebelumnya. Orang-orang berlalu lalang di area kampus, ditambah suara bising kendaraan motor dan mobil yang semakin menambah chaos.
Sadira menguncir rambut sebahunya dan menghapus bulir-bulir keringat yang membasahi keningnya. Dengan langkah cepat, ia berjalan menuju ruang organisasinya, menerobos orang-orang yang menurutnya berjalan sangat lelet.
Baru saja tiba, Sadira sudah diminta temannya, Aruna, untuk membuka booth. Ia mengerucutkan bibirnya, mau tidak mau membantu Aruna dengan membawa berbagai barang ke booth yang tidak jauh dari gerbang kampus. Di tempat itu, sudah banyak lembaga lain yang juga membuka booth mereka untuk acara masing-masing.
"Gue mau beli makan dulu. Lo mau nitip nggak?" tanya Aruna
"Lo mau beli di mana?"
"Depan kampus aja deh yang deketan." jawab Aruna
"Oh, kalau gitu gue mau mie ayam. Sekalian nitip air mineral juga, tapi yang dingin." jawab Sadira seraya menyerahkan uang dua puluh ribu rupiah
Begitu Aruna pergi, Sadira duduk di bangku panjang. Ia mengambil secarik flyer untuk dijadikan kipas. Ia melihat ke sekeliling, anak lembaga lain sibuk berteriak untuk menarik perhatian mahasiswa yang lewat, berbanding terbalik dengan Sadira yang sangat malas membuang energi dan suaranya untuk berteriak.
Sadira menggulir layar ponsel dengan bosan, membuka instagram, whatsApp, dan aplikasi lain yang ada di ponsel. Tidak lama, ia mendengar seruan Aruna memanggilnya. Sadira mendongak, mendapati Aruna yang tengah berjalan ke arahnya.
Tapi fokus Sadira bukan kepada Aruna, melainkan cowok di belakang Aruna. Cowok itu berjalan ke arah lain di mana ruang lembaga berada. Dikarenakan terlalu banyak orang yang berlalu lalang, sehingga Sadira tidak bisa melihat cowok itu dengan jelas.
"Lihat apa lo, Dir?" tanya Aruna begitu duduk di samping Sadira.
Sadira mengerjap. "Bukan apa-apa."
***
***
Sama seperti kemarin, Sadira ditugaskan menjaga booth meskipun hari ini bukan jadwalnya. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore lebih, namun nyatanya masih terik seperti pukul 12 siang. Sadira mengedarkan pandangannya ke gerbang kampus, melihat orang-orang berlalu lalang keluar masuk.
Di saat itu juga, matanya tiba-tiba membelalak lebar ketika tidak sengaja melihat seorang cowok yang sangat ia kenali.
Si pemilik flannel itu ada di sini.
Di kampusnya.
Sadira mengerjap beberapa kali, mungkin ini hanya halusinasinya saja. Namun, melihat cowok itu yang sedang duduk di atas motornya sedang mengantre membayar parkir, membuat Sadira sadar bahwa ia tidak sedang bermimpi. Apa yang ia lihat sungguh nyata. Ia bertemu dengannya lagi tanpa diduga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Nama
General FictionMenjadi anggota pers kampus bukanlah perkara mudah bagi Sadira. Ia harus rela keluar dari zona nyaman demi mendapatkan pengalaman baru menjadi reporter. Keringat, air mata, amarah, tawa, menjadi satu padu membentuk sebuah perasaan baru yang sulit di...