17. Ketika Hati Memutuskan

14 3 0
                                    

Hari ini Sadira sebenarnya tidak punya semangat untuk berangkat kuliah. Seluruh energinya sudah terkuras habis menghadapi kejadian kemarin. Tidak hanya fisiknya yang lelah, namun juga otaknya. Apa yang Aruna katakan masih terekam jelas kata demi kata, tidak mengizinkan Sadira untuk menghapusnya.

"Lo kenapa, Dir?" tanya Raya yang duduk di sebelah Sadira

Sadira mengerjap. "Nggak kok, cuma kecapekan aja, semalam gue kurang tidur."

"Udah tahu ada kelas pagi." ucap Raya. Pandangannya lalu beralih ke seseorang. "Eh tuh dosennya udah datang. Ayo masuk."

Sadira mengikuti arah pandang Raya. Dari jauh, ia melihat dosennya baru datang setelah setengah jam terlambat dari jadwal seharusnya. Seluruh mahasiswa-termasuk Sadira dan Raya-yang tadinya ngemper di sepanjang koridor, lantas berdiri dan masuk ke dalam kelas.

"Sorry ya telat." Hanya itu yang dikatakan dosennya sambil membuka pintu yang dikunci

Sadira memutar bola matanya. Meski raganya ada di kelas, namun pikirannya berkelana entah ke mana. Materi yang dijelaskan dosennya juga tidak sepenuhnya ia tangkap.

"Nanti gue lihat catatan lo ya, Ray." bisik Sadira yang hanya dihadiahi lirikan tajam dari Raya

Kelas pertama berlangsung sebentar. Sadira bergegas memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Ketika hendak pergi, ketua kelas tiba-tiba memberi interupsi.

"Yang hari ini masuk kelasnya pak Warso, beliau bilang nggak bisa datang soalnya ada urusan penting. Nanti ada kelas pengganti hari Sabtu."

Bahu Sadira langsung turun begitu mendengarnya. Mengapa harus mengganggu hari liburnya dengan adanya kelas pengganti? Apakah tidak bisa dilakukan hari kerja saja?

"Lo ya kelasnya pak Warso?" tanya Raya

Sadira mengangguk lemah.

"Sabar ya." ucap Raya sambil menepuk pundak Sadira

"Ini lo mau langsung masuk kelas berikutnya?" tanya Sadira

"Iya, lagipula mau ke mana lagi. Kalau lo sekarang mau ke mana? pulang?" tanya Raya

"Nggak tahu. Gue turun ke bawah dulu deh."

Setelah berpamitan, Sadira berjalan lesu menuju lift. Pandangannya lurus ke depan, lebih tepatnya melihat bangku yang ada di dekat lift. Bangku itu memutar kembali ingatan Sadira pada cowok si pemilik flannel. Lucu rasanya mengingat bagaimana ia sulit mengendalikan sikap dan jantungnya yang berpacu cepat kala cowok itu menyadari kehadirannya.

***

Kurindu disayangi
Sepenuh hati
Sedalam cintaku
Setulus hatiku

Kuingin memiliki
Kekasih hati
Tanpa air mata
Tanpa kesalahan

Bukan cinta yang melukai diriku
Dan meninggalkan hidupku lagi

Tolonglah aku dari kehampaan ini
Selamatkan cintaku dari hancurnya hatiku
Hempaskan kesendirian yang tak pernah berakhir

Bebaskan aku dari keadaan ini
Sempurnakan hidupku dari rapuhnya jiwaku
Adakah seseorang yang melepaskanku
Dari kesepian ini

Sadira menghela napas berkali-kali mendengarkan lagu Kesepian dari Dygta. Kenapa lagu-lagu di playlist-nya kebanyakan lagu galau?

Sadira melihat jam yang ada di ponselnya, tercengang menyadari bahwa sudah waktunya makan siang. Kalau begitu, berapa jam ia duduk di taman?

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang