Siang ini, hampir seluruh mahasiswa di kampus Sadira berkumpul di dekat gerbang. Rencananya, mereka dan mahasiswa dari berbagai kampus akan melakukan demo besar-besaran pada pukul dua siang terkait korupsi uang rakyat yang dilakukan oleh lima petinggi Negara. Hal itu tentu saja sangat merugikan masyarakat Indonesia. Saking ramainya, suara-suara mahasiswa terdengar jelas sampai ke ruang organisasi Sadira.
Sadira sedari tadi mengamati Aruna yang sedang bersiap diri memakai baju liputan. Ia lantas melangkah lebih dekat ke arahnya. "Lo seriusan mau liputan?"
Aruna mendongak. "Iya, gue serius. Lagipula gue suka liputan kayak gini, lebih menantang."
"Tapi gimana ya.." Sebenarnya Sadira takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Aruna
Aruna menepuk pundak Sadira. "Doain aja supaya gue dan yang lain balik dengan selamat."
Sadira mengangguk. Interupsi dari Sania membuat semua anggota berhenti melakukan aktivitas masing-masing. Semuanya berkumpul membentuk lingkaran.
"Kali ini liputannya beda dari liputan sebelumnya, kalau demo kemarin massanya cuma mahasiswa di kampus kita, kali ini massanya jauh lebih banyak. Kita nggak tahu apa yang bakal terjadi di lapangan, tapi gue harap, yang liputan hari ini diberikan keselamatan sampai akhir. Pokoknya kelar liputan langsung balik ke kampus, nggak usah ntar-ntaran, apalagi kalau situasi udah mulai nggak terkendali. Gue nggak mau kalian terluka, nyawa kalian lebih penting. Oh satu lagi, hp kalian harus selalu aktif dan sering kasih kabar di grup. Sebelum liputan, mari kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa, dimulai.."
Semuanya menunduk, memanjatkan doa untuk kelancaran dan keselamatan liputan hari ini.
"Yang liputan cuma empat orang doang, Aruna reporter buat YouTube sekalian live report di Instagram, Dion campers bareng Aruna, Saka ambil stock foto buat website dan Instagram, dan Tiara nulis buat website. Kalian saling kerja sama dan jangan pergi terlalu jauh dari rombongan. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi gue aja, gue standby di sini."
"Iya.."
"Oke.."
Aruna dan tiga temannya keluar ruangan, pergi menuju pendemo. Sadira merasakan suasana tidak nyaman di ruangan organisasinya, entah mengapa ada ketegangan dan ketakutan yang sangat terasa.
"Dir, lo mau di sini atau pulang?" tanya Raya
Sadira yang sedang duduk di sebelah Raya lantas menoleh, "Kayaknya gue pulang aja deh, Ray. Gue takut nanti malah nggak bisa pulang, macet atau nggak ada transportasi. Lagipula, di sini ada banyak yang standby."
"Ya udah kalau gitu. Pulang dari sekarang aja."
Sadira mengangguk. "Lo juga pulang?"
Raya menggeleng. "Ntar aja, agak sorean baru pulang."
"Tapi Ray, menurut lo mereka yang liputan bakal baik-baik aja kan ya?" tanya Sadira seraya memasukkan barang-barangnya ke dalam totebag
"Berdoa aja semoga liputannya lancar dan nggak ada kerusuhan yang parah sampai makan korban jiwa." jawab Raya
"Tapi sebenarnya gue masih khawatir."
Raya menghela napas panjang. "Mau gimana lagi, Dir, kita juga nggak bisa diam gitu aja. Toh, demo ini kan demi masyarakat Indonesia."
"Benar juga sih.."
"Udah, sana lo pulang."
Sadira mengangguk, ia lalu beranjak dan berpamitan pada seluruh anggota yang masih ada di ruangan. Sebenarnya ia ditunjuk untuk meliput demo hari ini, namun ia tidak mau. Membayangkannya saja membuatnya ingin menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Nama
General FictionMenjadi anggota pers kampus bukanlah perkara mudah bagi Sadira. Ia harus rela keluar dari zona nyaman demi mendapatkan pengalaman baru menjadi reporter. Keringat, air mata, amarah, tawa, menjadi satu padu membentuk sebuah perasaan baru yang sulit di...