Entah sudah berapa kali Aruna menguap, menunggu kapan ia bisa pulang. Perutnya sangat lapar, tenggorokannya juga kering karena haus, ia ingin makan tapi tidak ada yang jualan.
"Na, lo lapar nggak?" tanya Dion yang duduk di sebelahnya
"Banget.." jawab Aruna pelan
Aruna melihat Dion menemui beberapa aparat. Tidak lama kemudian, cowok itu datang membawa dua botol air mineral dan satu bungkus roti.
"Nih, buat lo." ucap Dion seraya menyerahkan satu botol air mineral dan roti pada Aruna
Mata Aruna berbinar, ia menerimanya dengan senang hati. "Kok lo bisa sih minta ke mereka?"
"Bisa lah. Apa sih yang nggak bisa dari gue."
Aruna memutar bola matanya. Ia membagi roti itu menjadi dua bagian dan menyerahkan satu bagian pada Dion. Di saat lagi makan, Aruna dan Dion dikagetkan dengan ponsel Dion yang tiba-tiba berdenting berkali-kali.
"Loh, udah ada sinyal?" seru Dion
Aruna mendekatkan tubuhnya pada Dion, melihat ada banyak pesan yang terus-menerus masuk tanpa henti.
"Anjir, banyak banget. Ini gue balasnya dari mana dulu ya." ucap Dion bingung
"Cewek lo aja sampai kirim 50 chat, terus itu grup organisasi sampai 500 chat." ucap Aruna
"Anjir, hp gue malah ngehang." seru Dion
Aruna tertawa. Ia menepuk bahu Dion. "Sabar ya."
"Ini balasnya gimana ya, Na? Gue bingung anjir!"
"VN aja ke grup organisasi dulu." ucap Aruna
Dion lantas mendekatkan ponselnya ke mulutnya. "Guys, sorry baru bisa kabarin, tadi nggak ada sinyal. Gue mau kasih info kalau gue lagi sama Aruna. Kita baik-baik aja, cuma kita masih di tempat demo, nggak bisa balik ke kampus. Kita nggak bareng Saka sama Tiara dari tadi, jadi kita nggak tahu mereka gimana kabarnya."
Ketika voice notenya terkirim, tidak lama kemudian ada telepon masuk dari Sania. Dion lalu mengangkatnya. Aruna diam, mendengarkan percakapan Dion dan Sania.
"Kenapa?" tanya Aruna begitu Dion mengakhiri teleponnya
"Kata kak Sania, Saka sama Tiara udah di kampus dari habis Magrib. Kak Sania barusan dikasih tahu sama senior kalau ada senior yang mau jemput kita, tapi gue bilang nggak usah, kita bisa pulang sendiri. Lagian ini udah mau tengah malam, kasihan kalau jemput kita. Takutnya kelamaan juga, dia datang ke sini butuh waktu, terus nanti balik ke kampus butuh waktu lagi. Ya udah deh, kita disuruh lewat belakang." jelas Dion
"Lewat belakang mana? Bukannya di mana-mana masih rusuh?" tanya Aruna
"Tadi kak Sania kasih tahu jalan pintas." ucap Dion. Ia lalu beranjak. "Ayo, Na, buruan balik. Bosan gue di sini."
Aruna mengikuti Dion. Ia juga memberi tahu anak-anak pers kampus lain bahwa ia ingin pulang. Mereka dengan senang hati mengikuti Aruna dan Dion pergi dari area demo melalui jalan yang berbeda dari sebelumnya.
Jalan yang Aruna lalui cukup jauh untuk sampai ke kampusnya. Jalanan sangat sepi dan suara tembakan masih terdengar walaupun tidak terlalu jelas. Beberapa kali aparat menghadang dan tidak memperbolehkan mereka lewat, namun baik Aruna maupun anak pers kampus lain memohon kepada para aparat untuk memperbolehkan mereka pulang. Tiba di perempatan jalan, mereka berpisah. Aruna hanya berdua bersama Dion menuju kampusnya.
"Masih lama, Yon?" tanya Aruna. Kakinya sudah sangat pegal
"Itu di depan udah sampai kampus." jawab Dion
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Nama
General FictionMenjadi anggota pers kampus bukanlah perkara mudah bagi Sadira. Ia harus rela keluar dari zona nyaman demi mendapatkan pengalaman baru menjadi reporter. Keringat, air mata, amarah, tawa, menjadi satu padu membentuk sebuah perasaan baru yang sulit di...