Sadira dan Adrian keluar dari halte transjakarta lalu berkeliling ke kawasan Kota Tua. Langit sore yang terlihat masih cerah mengiringi langkah kaki mereka menikmati momen ini dengan obrolan ringan, sesekali tertawa pada hal-hal yang menurut mereka lucu.
"Ih, lo foto gue ya?" tanya Sadira ketika sadar bahwa Adrian mengarahkan ponsel kepadanya
"Nggak, geer banget. Gue foto gedung di belakang lo." ucap Adrian
Sadira cemberut. "Kalau mau foto gue, kasih aba-aba dulu biar gue kelihatan cantik."
"Lo udah cantik, Dir."
Sadira mengulum senyumnya. "Lo mau makan kerak telur, nggak? Gue lagi pengen banget." ucap Sadira sambil menatap Adrian penuh mohon
"Boleh, yuk."
Mereka lalu berjalan menuju salah satu penjual kerak telur terdekat dan memesan dua porsi.
"Gue mau kasih tahu lo sesuatu." Adrian memajukan tubuhnya lebih dekat ke Sadira. Ia lalu membuka galeri foto dan menunjukkan foto terakhir yang ia jepret. "Bagus kan?"
"Ih, tuh kan benar lo foto gue! Mana gue lagi jelek banget. Hapus ih." seru Sadira ketika melihat foto dirinya yang sedang kegerahan
Adrian tertawa. "Nggak mau. Wlee!"
Sadira cemberut. "Hapus dong.."
Adrian justru memasukkan ponselnya ke saku celananya. "Kok kerak telurnya belum jadi sih?"
"Baru juga dibuat."
Adrian melirik Sadira yang masih cemberut, ia tertawa renyah. "Iya deh, nanti gue hapus."
"Beneran?"
"Nggak janji."
Sadira semakin mengerucutkan bibirnya. Adrian mengulurkan tangannya mengusap puncak kepala Sadira dengan gemas.
"Makasih ya udah ajak gue jalan-jalan." ucap Adrian
Sadira hanya membalasnya dengan senyum tipis. Detik ini ia hanya ingin menikmati waktu terakhir bersama Adrian sebelum ia memberi tahu sesuatu yang sebenarnya.
Sesuatu yang akan (mungkin) mengubah hubungan mereka.
***
Begitu tiba di tempat tujuan, Aruna tercengang melihat keindahan sunset di Pulau Padar. Selama ini hanya bisa melihatnya di media sosial atau google. Aruna memejamkan mata sambil merentangkan kedua tangannya. Ia menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, berulang kali. Menikmati setiap hembusan angin menerpa tubuhnya.
Akhirnya Aruna bisa pergi jauh dari keramaian kota. Tentu saja kenyamanan ini tidak akan ia dapatkan di ibu kota.
Aruna membuka mata lalu menoleh ke belakang saat merasakan seseorang memotret dirinya. "Lo kalau mau foto gue dari depan aja biar wajah cantik gue kelihatan."
Arion menurunkan kamera digital yang ada di tangannya. Ia lantas berjalan menghampiri Aruna. "Dari belakang aja udah cantik, gimana dari depan."
Aruna memutar bola matanya. "Omongan buaya selalu begitu."
Arion tertawa. "Tapi lo suka kan dibilang cantik? Ngaku aja deh lo!"
Lagi, Aruna hanya memutar bola matanya mendengar bualan Arion.
"Akhirnya gue bisa ajak lo ke sini, Na." ucap Arion. Matanya menyusuri ciptaan Tuhan yang sangat indah dan tidak bisa dibandingkan dengan apapun.
Aruna menghadapkan tubuhnya sepenuhnya ke Arion. "Bokap gue udah cerita semuanya. Jadi selama ini lo diam-diam siapin ini semua?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Nama
General FictionMenjadi anggota pers kampus bukanlah perkara mudah bagi Sadira. Ia harus rela keluar dari zona nyaman demi mendapatkan pengalaman baru menjadi reporter. Keringat, air mata, amarah, tawa, menjadi satu padu membentuk sebuah perasaan baru yang sulit di...