14. Tidak Bisa Disembunyikan

11 3 0
                                    

Aruna membuka matanya yang sangat berat. Tulangnya terasa remuk karena bertempur habis-habisan, bahkan untuk meregangkan tubuhnya saja susah. Perlahan ia membenarkan posisinya menjadi duduk sambil merintih. Seluruh tubuhnya sangat sakit, terutama di bagian kaki.

Aruna melihat jam dinding di kamarnya, ternyata sebentar lagi menunjukkan pukul 11 siang. Rasanya ia masih mengantuk, apalagi ia baru bisa pulang dari kampus pukul tiga pagi, itupun nekat dan diantar Arion.

Aruna mencoba untuk berjalan, namun baru langkah pertama saja ia tidak sanggup. Kakinya serasa ingin copot.

"Sakit banget.." lirih Aruna

Bel rumahnya bunyi, seseorang menggedor pintu seraya berteriak memanggil namanya. Ia mengenal pemilik suara itu.

"BENTAR!!" teriak Aruna

Aruna melangkahkan kakinya dengan perlahan sambil memegang dinding maupun pembatas tangga. Tiba di ruang tengah, ia segera membuka pintu dan langsung melihat seseorang yang tadi berteriak tengah tersenyum lebar.

"Selamat pagi, cantik!" sapa orang itu, Arion

Aruna memutar bola matanya. Ia lalu berjalan menuju sofa.

"Kok jalan lo kayak robot sih, Na?" tanya Arion heran

"Sakit banget kaki gue, Ar. Emang kaki lo nggak pegal?" tanya Aruna seraya duduk di sofa

Arion duduk di sebelah Aruna. "Pegal sih, cuma nggak parah kayak lo sampai susah jalan."

"Ini lebih parah dari setelah event organisasi gue." keluh Aruna seraya memijit betisnya

"Mau gue pijitin?" tawar Arion

"Nggak usah."

"Lo baru bangun, Na?" tanya Arion

Aruna mengangguk. "Sampai rumah, gue langsung mandi terus tepar. Secapek itu gue, Ar. Kayaknya hari ini gue nggak masuk kelas dulu deh."

"Hari ini nggak ada kelas, Na, semuanya." ucap Arion

"Bagus deh. Terus lo kenapa ke sini?" tanya Aruna

"Main aja. Gue malas di rumah, disuruh-suruh mulu sama nyokap gue. Lo bosan kan sendirian?"

"Iya sih.."

Arion melihat jam dinding di ruang tengah. "Bentar lagi jam makan siang, lo mau makan apa? Biar gue yang masakin lo."

Aruna menaikkan sebelah alisnya, menatap Arion ragu. "Terakhir kali lo masak itu gosong ya, Ar."

"Sekarang skill masak gue udah nambah."

Aruna mengedikkan bahu. "Masak gih, apa aja. Terserah lo."

"Oke, tunggu ya, cantik!" seru Arion seraya mengacak rambut Aruna

Aruna lantas mengikuti Arion menuju dapur. Sambil Arion menyiapkan bahan-bahan masakan, Aruna duduk di kursi makan sambil meneguk air mineral. Ini bukan pertama kalinya ia dan Arion bertengkar lalu kembali mengobrol biasa seolah tidak terjadi apa-apa.

Aruna bahkan bingung dengan dirinya sendiri.

"Serius banget masnya. Emangnya mau masak apa sih?" tanya Aruna seraya menopang dagunya

"Tumis udang." jawab Arion

"Oooo..." seru Aruna

"Ada nasi instan nggak, Na? Gue malas masak nasi." tanya Arion

"Ada, nanti tinggal panasin di microwave aja."

"Oke!"

Aruna mengamati dengan saksama bagaimana cowok itu mulai memasak. Semuanya ia rekam dalam memori di kepalanya tanpa berpaling sedetikpun. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Arion menyelesaikan masakannya. Cowok itu menaruh hasil masakannya di depan Aruna, seketika wangi masakan masuk ke indera penciuman Aruna.

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang