"Dir, nanti jadi kan liputan seminar anak kedokteran?" tanya Raya saat ia dan Sadira sedang menunggu lift
Sadira menoleh, "Loh, gue liputannya sama lo?"
"Lah emang nggak dikasih tahu sama pemred?" tanya Raya bingung. "Tadi sih gue dikasih tahu kalau senior yang mau liputan sama lo nggak bisa soalnya ada presentasi mendadak jam dua nanti."
"Oh gitu, gue nggak dikasih tahu, atau mungkin belum sempat kasih tahu." jawab Sadira
Raya mengedikkan bahunya. "Emang jam berapa sih?"
"Jam satu." jawab Sadira
"Pantas aja."
"Tapi jam setengah lima gue harus pergi Ray, udah ada janji." ucap Sadira
"Ya udah, nggak usah lama-lama liputannya. Gue juga malas sebenarnya."
Sadira dan Raya langsung pergi menuju kantin fakultas untuk mengisi perut mereka. Begitu sampai, mereka dikejutkan dengan suasana kantin yang sangat ramai oleh para mahasiswa, obrolan sana-sini saling bertubrukan tak terkendali.
"Ah, malas banget gue kalau ramai gini. Mejanya juga penuh." keluh Raya
"Makan di ruangan aja kalau gitu." ucap Sadira
"Ya udah deh, gue mau beli mie yamin aja. Lo apa?" tanya Raya
Sadira mengedarkan pandangannya. "Gue mau beli nasi warteg."
Sadira dan Raya berpisah untuk membeli makanan masing-masing. Warteg yang Sadira tuju ada di paling pojok kantin. Sebenarnya ia lumayan malas ke sana karena jaraknya yang lumayan jauh, tapi ia sudah diperingati oleh ibunya untuk makan nasi, tidak boleh makan mie dulu.
Langkah Sadira semakin lama semakin pelan hingga akhirnya berhenti ketika matanya tidak sengaja menangkap cowok si pemilik flannel sedang mengobrol bersama teman-teman bandnya di dekat warteg. Sadira menghela napas panjang, mengapa di saat seperti ini ia harus bertemu dengannya?
Cowok itu seperti menyadari sedang di tatap. Mata Sadira dan mata cowok itu bertemu untuk beberapa saat sebelum Sadira mengalihkan pandangannya. Dengan ragu, ia melangkah pergi melewati cowok itu.
"Bu, beli nasi pakai kentang balado sama telur dadar ya. Nasinya setengah aja, siram dikit pakai kuah." ucap Sadira
Seraya menunggu makanannya dibuat, dari ekor matanya ia menyadari bahwa pandangan cowok itu tidak pernah lepas sedikitpun ke arahnya. Meskipun jantungnya berdetak tidak karuan dan perutnya mulas, namun ia mencoba untuk tetap bersikap biasa-biasa saja.
Sebenarnya ada apa dengan cowok itu?
Sadira menggeleng kecil. Tidak, ia tidak mau geer.
Pesanannya selesai dibuat dan Sadira langsung membayarnya. Ketika pergi melewati cowok itu, tiba-tiba dia berseru memanggil Sadira. Sadira lantas menghentikan langkahnya, ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.
"Sadira?" panggil cowok itu lagi
Sadira balik badan, menatap cowok itu yang masih duduk di tempatnya. "Apa?"
"Lo mau makan siang?" tanya cowok itu seraya melirik satu plastik yang ada di tangan Sadira
"Iya."
"Sendiri?"
"Oh, enggak, gue makan sama teman gue."
"Nggak mau gabung sama gue, Adrian, sama yang lain juga?" tanya cowok itu
Sadira melirik Adrian dan teman-temannya yang tengah menatapnya.
"Nggak usah, gue makan di ruangan aja." tolak Sadira
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Nama
General FictionMenjadi anggota pers kampus bukanlah perkara mudah bagi Sadira. Ia harus rela keluar dari zona nyaman demi mendapatkan pengalaman baru menjadi reporter. Keringat, air mata, amarah, tawa, menjadi satu padu membentuk sebuah perasaan baru yang sulit di...