20. Dia Selalu Ada

12 2 0
                                    

Ujian semester akan berlangsung mulai minggu depan. Jadwal Sadira benar-benar padat, seperti adanya kelas pengganti, tugas individu maupun kelompok yang harus diselesaikan sebelum ujian, hingga mengurusi organisasinya. Rasanya ia ingin membelah diri agar bisa mengerjakan tugas-tugas sialan itu dengan cepat.

"Ini pertemuan terakhir kita di semester ini, jadi ibu mau minta maaf kalau selama mengajar ada salah sama kalian. Untuk materi hari ini kalian pelajari baik-baik karena akan keluar pada saat ujian. Oh iya, ujiannya close book ya. Awas aja ada yang nyontek." ucap dosen menutup kelas hari ini

"Yaaahhh..." seru teman-teman kelas Sadira, mengungkapkan kekecewaan mereka

Begitu dosennya keluar kelas, Sadira membaringkan kepalanya di atas meja. Belum ada niatan membereskan barang-barangnya, apalagi keluar kelas.

"Gue mau nangis tapi udah nggak bisa lagi.. Kenapa di dunia ini harus ada ujian buat bisa lanjut ke semester berikutnya??" rengek Raya yang duduk di sebelah Sadira

"Gue mau nyebur ke laut aja." gumam Sadira yang masih didengar Raya

"Jangan dong, nanti gue nggak bisa nyontek lo lagi." ucap Raya

Sadira menegapkan tubuhnya. "Bayaran sampai tanggal berapa sih?"

"Terakhir hari Sabtu."

"Lo udah ambil kartu ujian?" tanya Sadira

"Gampang, nanti aja kalau udah dekat-dekat ujian. Sekarang masih hari Senin ini." jawab Raya

Sadira memasukkan barang-barangnya ke dalam totebag. Ia lalu pamit pada Raya menuju gedung sekretariat dan administrasi. Ketika ingin mengajukan dispensasi, ada satu pemberitahuan baru yang membuatnya sangat tercengang; adanya tambahan biaya sebesar 200 ribu rupiah. Sadira tentu saja protes karena tiba-tiba mengambil keputusan seenak jidat tanpa ada pengumuman terlebih dahulu.

"Ini keputusan wakil rektor, saya hanya menjalankan tugas."

"Boleh saya lihat surat keputusannya, bu? Karena di grup angkatan saya nggak ada omongan sama sekali soal kenaikan ini." jelas Sadira

Karyawan kampus itu menyerahkan surat dari wakil rektor yang berisi mulai hari ini, UKT seluruh mahasiswa akan ditambah 200 ribu rupiah untuk perbaikan fasilitas kampus dan kegiatan organisasi. Tentu saja alasan tersebut sangat tidak masuk akal bagi Sadira. Fasilitas kampus mana lagi yang harus diperbaiki? Bukankah uang kuliahnya selama ini juga sudah termasuk untuk fasilitas kampus?

Atau memang ini akal-akalan untuk dikorupsi lagi?

Sadira segera memotret surat tersebut lalu mengirimkannya ke grup angkatannya. Seluruh mahasiswa harus tahu akan hal ini. Mungkin bagi sebagian orang, 200 ribu rupiah angka yang kecil dan masih bisa didapatkan, tapi bagi mahasiswa seperti Sadira yang hidupnya pas-pasan, tentu saja angka tersebut termasuk besar.

10 orang saja sudah mendapatkan 2 juta rupiah, sedangkan jumlah mahasiswa di kampusnya ada ribuan.

Sadira berjalan menuju lift dengan langkah penuh emosi. Ponsel yang ada di tangannya berdenting tanpa henti. Jika ada demo lagi, ia akan berada di barisan paling depan.

***

Sadira membuka pintu ruang organisasinya dengan kencang, membuat seluruh orang terkejut.

"Dir, yang lo kirim itu beneran?" tanya Raya sambil memperlihatkan foto surat di ponselnya

Sadira mengangguk. Pandangannya beralih ke pemimpin redaksinya, Sania. "Kak, kita harus bikin berita ini. Gue nggak sudi sumbang 200 ribu buat alasan yang nggak jelas. Biarin ada demo jilid II."

Sania mengangguk setuju. Ia lantas mengumpulkan semua orang yang ada di ruangan untuk membahas masalah ini. Telah diputuskan bahwa Sadira dibantu Aruna akan meliput untuk website karena mau bagaimanapun, Sadiralah yang menjadi sumber utama berita ini.

Tanpa NamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang