Hari demi hari, perasaan aneh itu terus mengganggu Sadira tanpa henti, membuatnya tidak bisa beraktivitas dengan nyaman. Sampai detik ini, ia tidak tahu apa nama dari perasaan aneh itu. Terlalu sulit diungkapkan dengan kata-kata. Terlalu sulit juga untuk diekspresikan.
Sadira melihat gelang pemberian Adrian yang tidak pernah ia lepas. "Pemilik lo kenapa buat gue jadi begini?"
"Mending lo cepetan periksa ke psikolog kek, ke dukun kek, atau ke mana gitu. Lama-lama gue ngelihat lo jadi takut." ucap Elsa sambil membawa dua cup es krim
Sadira mendelik sebal. "Bukannya bantuin temannya kek."
"Itu gue udah kasih solusi."
Sadira memutar bola matanya.
"Gue tahu kenapa lo sampai sekarang uring-uringan kayak gini." ucap Elsa sambil memajukan tubuhnya
"Kenapa?"
"Karena lo nggak mau jujur sama perasaan lo."
"Gue udah jujur kok."
Elsa menggeleng. "Sekarang, gue tanya sekali lagi, perasaan lo ke Adrian seperti apa?"
"Gue nggak ada perasaan apapun ke dia."
"Yakin?"
Sadira diam sesaat. "Yakin lah."
"Tapi gue ngelihatnya nggak kayak gitu."
"Sok tahu lo! Yang tahu kan diri gue sendiri." protes Sadira
"Tuh kan! Lo selalu mengelak dan nggak mau menerima perasaan lo. Silakan deh lo jadi gila. Ikhlas gue." ucap Elsa sambil menyendok es krimnya
"Kalau seandainya gue beneran suka sama dia, kan hubungan gue sama dia nggak bisa kayak dulu lagi." ucap Sadira
"Kata siapa? Banyak kok orang yang baikan setelah lost contact cukup lama. Tergantung lo-nya mau tetap ikuti gengsi atau kata hati." jelas Elsa. Ia lantas menyenderkan tubuhnya. "Jangan membohongi diri lo sendiri, Dir, yang ada lo makin sengsara. Apa nggak kasihan sama hati lo? Walaupun udah terlambat, tapi lo harus kasih tahu ke Adrian tentang perasaan lo sebenarnya, daripada nggak bilang sama sekali. Lo mau kejadian lo ke Arion terulang lagi?"
Sadira menghela napas panjang. Menurunkan gengsi? Tidak semudah itu.
"Coba sekali-kali ikuti apa yang gue bilang. Lebih baik lo menyesal udah bilang daripada menyesal nggak pernah bilang." ucap Elsa
***
Elsa sialan.
Pikiran Sadira semakin semrawut. Sepertinya memang ada yang salah pada dirinya. Tidak, tepatnya hatinya.
Suka sama Adrian? Sadira tidak yakin akan hal itu. Elsa pasti hanya menakut-nakutinya saja. Tidak mungkin ia berpaling dari Arion secepat itu. Bukankah biasanya butuh waktu bagi seseorang untuk menerima orang lain setelah menghadapi patah hati?
Sadira lantas membuka sedikit pintu ruangan organisasinya, melongokan kepalanya untuk melihat ke arah ruangan organisasi musik. Di depan ruangan, ada Adrian yang sedang duduk seorang diri.
"Lo ngintipin siapa, Dir?"
Sadira tersentak, ia balik badan, melihat Raya yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. "Nggak kok, nggak lihat siapa-siapa."
"Bohong! Pasti lo lagi ngintipin cowok-cowok anak musik kan?" selidik Raya
"Ha? Enggak kok." elak Sadira
"Mereka emang ganteng-ganteng kok. Kalau gue jomblo, udah gue deketin salah satu di antara mereka." seru Raya
"Apa sih, Ray. Udah ah, gue mau keluar dulu." ucap Sadira
KAMU SEDANG MEMBACA
Tanpa Nama
General FictionMenjadi anggota pers kampus bukanlah perkara mudah bagi Sadira. Ia harus rela keluar dari zona nyaman demi mendapatkan pengalaman baru menjadi reporter. Keringat, air mata, amarah, tawa, menjadi satu padu membentuk sebuah perasaan baru yang sulit di...