Jarum jam sudah menunjuk tepat di angka satu ketika mata perempuan itu perlahan terbuka. Bya segera duduk, malihat sisi ranjang yang kosong.
Menunduk melihat baju kerjanya sudah berganti dengan piyama, langkahnya mengarah ke kamar mandi, menatap pantulan dirinya pada cermin besar disana. Riasannya sudah bersih, tapi mengapa matanya terlihat sedikit sembab. Seingatnya dia tertidur di pundak Kevin.
Oh, Kevin, batin Bya. Suaminya bahkan belum makan sepulang kerja, sisi ranjang yang kosong juga terlihat masih rapi seperti terakhir Bya merapikannya.
"Istri macam apa kamu, By," kesalnya pada diri sendiri, entah mengapa dirinya bisa selalai ini.
Bya keluar kamar, menuruni tangga dengan sedikit kesal. Bukan, bukan karena Kevin, tapi perasaan kesal pada dirinya yang lalai.
"Kev, kamu belum tidur?" tanya Bya setelah melihat Kevin yang sibuk di ruang tengah, meja yang terisi dengan beberapa dokumen yang suaminya bawa.
Sedikit terkejut, bahkan bahu laki-laki itu sempat berjingkat, Kevin menatap Bya dengan mata membesar, terkejut.
"Astaga, maaf aku ngagetin, udah makan belum?" sambung Bya ketika melihat Kevin menyentuh dadanya, Bya berbalik berjalan menuju dapur.
"Loh, kok udah bangun?" tanya Kevin tanpa menjawab pertanyaan Bya, berjalan mengekor istrinya, membawa dua gelas bekas kopi yang sudah tandas isinya.
Bya melirik washbak tidak ada piring kotor disana, bahkan juga dapurnya masih terlihat bersih. Suaminya belum makan malam dan itu membuat dirinya semakin merutuki diri.
"Entahlah, belum makan kan?" tanya Bya sekali lagi, yang dibalas Kevin dengan anggukan. Laki-laki itu mencuci gelas yang dia bawa, tak lupa mengambil gelas baru.
Bya membuka lemari es di belakangnya, melihat bahan masakan apa yang bisa dia olah dengan waktu singkat.
"Jangan minum kopi lagi, aku masakin dulu, abis itu tidur," omel Bya melihat Kevin akan menuangkan kopi ke gelas.
Kevin meletakkan kembali coffee pot. Kevin berdiri menyebelahi Bya yang sedang membuka kaleng kornet.
Tangan laki-laki itu menarik kaleng kornet itu, membuat Bya sedikit terkejut. "Jangan buru-buru, cuma karena telat makan atau lewatin makan, aku nggak bakal berubah jadi macan," ucap Kevin dengan sedikit candaan disana.
Bya sedang menumis bawang bombay yang baru dia masukkan, terhenti sejenak, "maaf ya, Kev," ada penyesalan disuara Bya, membuat Kevin menatap istrinya.
Kevin memandangi side profile istrinya, Bya yang fokus pada nasi dan butter yang baru saja dia masukan, dia beruntung bisa melihat Bya dan berada disisi perempuan rapuh itu.
"Daripada kamu liatin aku kayak gitu, mending bantu aku buat ambil piring nggak sih, Kev?" sindir Bya, membuat Kevin terkekeh dan segera membuka laci di bawahnya.
Kevin membawa dua piring butter rice ke meja makan, diikuti Bya yang membawa sebotol air putih dengan dua gelas kosong di tangannya.
"Hari ini ada yang dateng ke warehouse orang HQ, cantik deh, kamu mungkin kenal mereka?" mulai Bya setelah meneguk airnya, membuat Kevin menaikan satu alisnya, "iya, namanya Liv sama Zia, oh iya ada satu cowok, namanya Noah," sambungnya.
Entah perasaannya atau memang ada perubahan dari mimik muka suaminya, tapi sikap tenang laki-laki itu masih berkuasa disana, "ya mereka tim purchase, aku kenal mereka," balas Kevin dengan suara yang tenang.
"Ngomong-ngomong, Kev. Aku tiba-tiba penasaran deh, kenapa kamu waktu itu tiba-tiba ngajak nikah? I mean, how could you made that decision?" tanya Bya, membuat Kevin sedikit terkejut yang jelas terlihat di mukanya.
Kevin meneguk air digelasnya hingga tandas, menggeser piringnya menjauh,
"waktu itu Papa lagi sakit, By, Mama harus urus papa sendirian. Aku? aku bahkan setiap bulan harus ambil cuti balik, dan kamu tau urus cuti kadang abisin waktu, nggak naif, tiket pesawatnya mahal," jawaban Kevin dengan kekehan diakhir.Ah, mertuanya. Papa Kevin sudah meninggal dua bulan setelah pesta pernikahan mereka, dan Mama Erina kini tinggal di Surabaya, mengurus perusahaan milik suaminya dan usaha miliknya.
Papa Ric, mendiang ayah Kevin adalah pemilik sebuah perusahaan yang bergerak dibidang konstruksi dan real estate, satu dari sekian perusahaan besar di Indonesia.
Istrinya, Mama Erina, juga seorang pengusaha dibidang travel agent dan event organizer.
Kevin menghadapkan kursinya menatap Bya, "kedua, Mamaku meskipun peranakan, Ibu-ibu satu itu juga selalu mojokin aku buat nikah, entah berapa banyak anak tante temen arisan atau rekan bisnis Papa yang udah disodorin ke aku," lanjut Kevin, membuat Bya menganggukkan kepala pelan.
"Tapi, emang nggak punya pacar disana?" jeda Bya penasaran.
Kevin mengangguk, "ada, dia rekan kerjaku, tapi ya satu dan lain hal nggak bisa lanjut," terang Kevin.
Bya menyeruput sisa air di gelasnya, "terus, kenapa aku?" rasa penasarannya tiba-tiba mencuat.
Kevin tersenyum, menarik tangan istrinya yang tergeletak di atas meja, "waktu di Vietnam, aku denger kamu lagi telfon, terus kalian debat.." mengelus jemari Bya lembut, "nggak nguping loh, aku niatnya mau ngerokok. Terus aku tanyain aja ke Eric, who you are, kamu orangnya seperti apa, ditambah kita tukeran contact jadi yaudah, maybe we meant to be here,"
Kini Bya yang menaikan satu alisnya meminta Kevin melanjutkan ucapannya.
"Jalannya nggak mudah nggak sih? I mean, kita beda, definitely seberbeda itu, our religion, our society, and race?" terang Bya melihat Kevin kebingungan.
Kembali menganggukan kepalanya, Kevin tersenyum menatap Bya, "Iya, tapi setelah aku bawa kamu ke Surabaya, Mama sama Papa serahin semuanya sama aku, apalagi Papa, aku bisa liat Papa happy banget waktu ketemu kamu,"
Bya ingat, dirinya bertemu dengan orang tua Kevin untuk pertama kalinya di rumah sakit, didalam sebuah VVIP Room rumah sakit terbesar di Surabaya.
Mama Erina memeluknya hangat, bahkan Papa Ric juga memeluknya di atas brangkar rumah sakit, keduanya menyambut kedatangan Bya dengan hangat.
"Waktu itu aku inget ketika Papa pulang dari rumah sakit, Papa bilang kalo apapun keputusanku, aku harus teguh disana, nggak boleh seenaknya," lanjut Kevin, "aku masih belajar, By, buat semuanya, karena semua masih baru buat aku, please accompanying me to be there."
Hati Bya terasa menghangat, entah perasaan darimana yang tiba-tiba menyeruak, mendorong air matanya berkumpul di balik kedua kelopak matanya.
Ada perasaan ragu disana, ragu akan dirinya sendiri, karena Bya sadar jika dirinya masih menggenggam masa lalunya erat. Apa ini adil untuk Kevin?
Suasana menjadi hening, tidak ada sahutan disana, Kevin menatap Bya yang tiba-tiba berubah terlihat canggung dan ada keraguan yang tercipta di wajah istrinya.
"By, you ok? ayo langsung tidur aja, kecapekan kayanya," suara Kevin menginterupsi Bya.
Bya tersenyum canggung, segera berdiri membawa piring bekasnya dan Kevin, Kevin berjalan di belakang istrinya membawa gelas dan botol yang tadi mereka ambil.
Bya segera mencuci piring dan Kevin merapikan meja makan, tak lupa suaminya juga merapikan meja ruang tengah.
Keduanya kembali ke kamar mereka, Kevin meninggalkan tas kerjanya di ruang tengah, toh besok barang-barang itu akan dia bawa.
Setelah menyelimuti dirinya, Bya menatap Kevin yang masih menyambungkan charger pada ponselnya.
"Kev, mungkin aku nggak sempurna sebagai partner kamu, aku masih banyak kurangnya, tapi izinin aku lepasinnya pelan-pelan ya, Kev," tutur Bya lembut.
Kevin tersenyum, membawa tubuhnya masuk ke dalam selimut yang sama dengan istrinya.
Tangan Kevin memeluk pinggang Bya lembut, "take your time, By," sambut Kevin lembut sebelum mengecup pelipis istrinya sayang.
🍃
"If our love is wrong, then I don't wanna be right,"
-If Our Love is Wrong, Callum Scott-
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Everyday
ChickLitMenurut Bya, jatuh cinta tidak ada dalam daftar jobdesk ketika dirinya menandatangani kontrak dengan HRD. Kevin Kuo, tidak pernah menyangka jika dia bisa menjadikan seseorang baru sebagai tempatnya kembali setiap malam, bercerita panjang lebar tenta...