Bya baru saja meletakkan slingbag kesayangannya di atas sofa, di luar Kevin masih sibuk membawa bahan makanan hasil belanja bulanan mereka.
Dirinya dan Kevin langsung belanja bulanan setelah check up di Columbia Asia, bertemu kembali dengan Dokter Aneke.
Untuk pertama kalinya, Bya melihat suaminya itu menangis, ketika suara detak jantung janin di perutnya terdengar, menggema memenuhi ruang prakter Dokter Aneke.
Kevin yang dua minggu terakhir bersikap tenang dan selalu berusaha menenangkan Bya, hari ini ketenangan itu pudar ketika mendengar detak jantung janin di perut istrinya.
Tidak ada masalah sejauh ini, nyawa kecil itu berkembang senormalnya janin dengan usianya, tidak ada hal janggal dalam perkembangan janin di perut Bya.
Cemas yang menghantuinya sejak pertama menemukan dirinya hamil pudar. Hanya sedikit. Banyak ketakutan lain yang menghinggapinya, apalagi dirinya juga membaca beberapa artikel bahayanya pil kontrasepsi bagi perkembangan janin.
Bya baru saja menandaskan air putih digelasnya, ketika Kevin masuk. Segera mengisi gelas lain untuk suaminya, "ini, Mas, minum dulu," tawar Bya menyerahkan gelas berisi air putih pada Kevin.
Kevin mengangguk, meminum air yang sudah disiapkan istrinya, "kamu mau makan malam apa?" tanya Kevin.
Bya bergumam pelan, "cheese chicken snitzel," gumam Bya.
Kevin terheran, semenjak istrinya hamil, selera makan mereka berdua seolah tertukar. Bya yang biasanya lebih suka makanan Indonesia kini lebih sering makan makanan western atau chinese cuisine.
"Pelangi aja kali ya, Mas?" ajak Bya, tangannya sibuk memilah belanjaan yang akan mereka simpan.
Kevin mengangguk, setuju dengan tempat makan yang Bya sebut, setidaknya disana dirinya masih bisa menemukan makanan Indonesia.
"By, kita mau ngabarin orang tua kapan?" tanya Kevin membuat Bya yang sedang memasukan barang ke lemari es terhenti, menepuk dahinya.
"Astaga aku lupa."
Rencana mereka memang memberi tahu ketiga orang tua setelah memastikan janin di perutnya berkembang. Setidaknya ketika mereka bisa mendengar detak jantung anaknya.
Rasa cemas jika terjadi sesuatu menjadi salah satu tembok besar dihatinya. Bya tidak bisa mengetahui bagaimana keadaan anaknya disana, merutuki dirinya yang tidak peka.
"Ayo, Mas, telfon Mama sama Ibu," pinta Bya pada Kevin.
Laki-laki itu segera menarik ponsel di saku celananya, mulai mencari kontak milik Mama serta Ibu mertuanya.
Suara sambungan terdengar, mereka melakukan group call, lama jika harus menelfon satu persatu.
"Halo, Vin," sapa Mama Erina yang lebih dulu mengangkat panggilan, "ada apa?" lanjut Mama dengan tenang.
Mama terlihat sibuk menjepit rambutnya, asal. Membuat Bya terus mengagumi paras ibu mertuanya yang bahkan memakai daster seperti sekarang, Mama masih terlihat sangat anggun. Memang, pesona seorang Erina Hardjo yang tiada tanding.
"Ini loh, anak perempuannya bilang kangen," ucap Kevin menggeser ponsel hitam itu dan mengahadapkannya pada Bya yang duduk di sampingnya.
"Mama apa kabar?" sapa Bya dengan senyuman lebar, Mama tersenyum diseberang sana, keduanya bahkan langsung sibuk mengobrol, mengabaikan Kevin, seolah laki-laki itu tidak duduk disana.
Sebuah kebiasaan yang membuat Kevin berdecak, "iyadeh, sipaling anak perempuan," gerutunya sebelum memilih pergi.
Kevin beranjak, mengambil botol air yang tadi ditinggalkan istrinya di kitchen bar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Everyday
ChickLitMenurut Bya, jatuh cinta tidak ada dalam daftar jobdesk ketika dirinya menandatangani kontrak dengan HRD. Kevin Kuo, tidak pernah menyangka jika dia bisa menjadikan seseorang baru sebagai tempatnya kembali setiap malam, bercerita panjang lebar tenta...