"Hamil apalagi kalo itu anak pertama emang nggak mudah buat sebagian perempuan," suara Mama Erina masih terus terdengar, mengisi deluxe room yang di tempati Bya.
Ibu mertuanya itu baru saja kembali setelah semalam harus Bya paksa untuk pulang ke rumah, mana tega perempuan itu membiarkan Mama tidur di extra bed.
Meletakan potongan apel yang baru dikupas pada piring Bya, "nggak papa, kondisi apapun itu normal, setiap Ibu hamil punya siklusnya masing-masing, bentar lagi pasti enakan," lanjut Mama yang hanya diangguki menantunya.
Kemarin sore Bya menyerah dan menurut pada Mama untuk ke rumah sakit setelah seharian muntah. Seharian tubuhnya hanya terisi dengan air putih dan teh jahe hangat buatan Mbok Har.
"Cucun, jangan rewel ya, kasian Mamanya," ucap Mama mengusap perut menantunya lembut.
Aih, air matanya kembali menetes melihat perlakuan ibu mertuanya itu. Kemarin Mama yang menyetir ke rumah sakit, ya meskipun jarak Padma ke Columbia tidak lebih dari lima belas menit tapi tetap saja itu membuat Bya mellow.
"Makasih ya, Ma," ucap Bya memeluk mertuanya dengan sayang.
Mama menepuk punggung Bya lembut, "sama-sama, sayang, jangan banyak pikiran ya, nikmati fasenya, nanti kalo adek udah keluar, semua bakal terbayar, pasti."
Bya hanya mengangguk. Maafin Mama ya, kemaren marah ke kamu, batinnya mengingat kemarin dirinya marah pada si bayi karena tidak menurut dengannya.
"Nggak usah mikirin suami kamu, anak itu bakal Mama hajar pas balik, kamu tenang aja."
Sejak kemarin Mama memang sudah menyimpan dendam pada putra semata wayangnya. Meskipun tidak meluapkan kemarahannya secara langsung di hadapan Bya, tapi Bya bisa merasakan kemarahan Mama terhadap Kevin.
Terlebih, sejak semalam, laki-laki itu tidak juga mengirimkan kabar. Panggilan terakhir Mama pada Kevin diangkat oleh Alvin.
Mama duduk di kursi penunggu, "kamu ikut Mama pulang aja, hm?" tawar Mama yang langsung membuat senyum tipis di bibir Bya pudar.
"Kita kasih pelajaran ke suami kamu. Dia emang anak Mama, tapi sepertinya Mama gagal didik dia buat tanggung jawab atas kewajiban dia," lanjut Mama setelah melihat perubahan ekspresi menantunya.
"Tapi, Mas Kevin kan nggak disini karena kerjaan, Ma," tolak Bya, membawa tangannya untuk mengelus lengan Mama mertuanya yang menatapnya dengan sorot bersalah, "bukan salah Mama atau Mas Kevin."
Bya bisa melihat kemarahan Mama yang kini bercampur dengan kekecewaan. Jika kalian bertanya tentang bagaimana perasaan Bya saat ini, Bya hanya bisa menjawab jika dirinya takut.
Tidak, tidak ada rasa marah atas menghilangnya laki-laki yang berstatus sebagai Papa dari bayi di perutnya. Tapi sebuah rasa takut yang membayanginya sejak kemarin.
Bya takut jika Kevin memilih pergi, jika ternyata suaminya sudah menemukan seseorang yang ia rasa lebih baik dari Bya. Bya takut kehilangan, sekali lagi.
Sebuah ketukan pintu membuyarkan suasana canggung diantara Bya dan Mama.
Tak lama, Bya bisa melihat Raga yang berdiri disana, tak lupa juga Ibu yang tersenyum menatap Bya di belakang Raga.
Pagi tadi selepas subuh Ibu langsung berangkat dari Jogja, setelah mendapat kabar dari Mama jika Bya sedang dirawat semalam. Ayah tidak datang bersama mereka karena sedang dinas di Makasar.
"Gimana kondisinya, Mbak?" tanya Raga setelah mencium tangan kakaknya. Laki-laki itu memeluk Bya singkat.
Bya tersenyum tipis, "udah baikan," balas Bya, Raga beranjak mencium tangan Mama Erina setelah Ibu selesai menyapa berpelukan dengan besannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Everyday
Literatura FemininaMenurut Bya, jatuh cinta tidak ada dalam daftar jobdesk ketika dirinya menandatangani kontrak dengan HRD. Kevin Kuo, tidak pernah menyangka jika dia bisa menjadikan seseorang baru sebagai tempatnya kembali setiap malam, bercerita panjang lebar tenta...