Bya menatap dada bidang yang berada di hadapannya, tangannya masih melingkar di pinggang si pemilik tubuh itu, berbantalkan lengan laki-laki, yang entah sejak kapan mereka tidur dengan posisi itu.
Tadi dirinya terlelap begitu saja setelah menangis. Bangun dengan mata yang terasa berat, membuatnya semakin yakin jika kedua matanya sembab kali ini.
Gerakan tangan yang berniat memindahkan lengan Kevin dari pinggangnya terhenti, ketika tarikan suaminya kembali membawanya masuk ke pelukan yang lebih erat.
"Aku mau bangun, Mas," pintanya dengan suara yang masih sedikit parau. Membuat Kevin membuka matanya. Laki-laki itu melirik sekilas jam yang ada di dinding depan mereka. Sepuluh lebih dua puluh.
Kevin kembali memejamkan matanya, tanpa memindahkan lengannya dari pinggang Bya, "mau ngapain? tidur lagi aja, mumpung libur," tolaknya dengan suara serak.
"Aku mau pipis, bukan mau angkat beban di ruang fitnes kamu," balas Bya sekenanya. Membuat Kevin mendesah, ya, istrinya sedang menyindirnya, "awas," pukul Bya pada lengan Kevin.
Memindahkan lengannya dengan terpaksa, "pokoknya balik sini lagi," perintah Kevin sontak membuat Bya melengos.
Benar saja istrinya itu kembali di sampingnya setelah menyelesaikan keperluannya di kamar mandi. Tak banyak bicara, Bya hanya duduk disana, bersandar pada headboard.
"Kamu marah, hm?" tanya Kevin membuat Bya menurunkan ponselnya. Istrinya itu mendengus, meletakan ponsel ke atas nakas samping tempat tidur.
Bya menggelengkan kepalanya singkat, "aku cuma lagi kesel sama diriku sendiri, kenapa aku jadi orang yang senyusahin kayak sekarang," jawabnya menatap lurus kedepan.
"Kamu nggak nyusahin, By," sanggah Kevin mengusap perut buncit istrinya lembut. Memeluk perut Bya, bahkan kepalanya entah sejak kapan sudah berpindah, bertumpu pada perut istrinya.
"Aku nggak benci sama adek, aku cuma nggak ngerti kenapa orang lain fine-fine aja waktu hamil, sedangkan aku setengah mati struggling with this state," racau Bya menatap tangan suaminya yang masih mengelus perutnya.
Dua minggu lalu, Bya mengalami flek yang berhasil membuatnya dan Kevin panik setengah mati, hampir dua hari perempuan itu terus mengalami flek yang berujung dengan bedrest selama seminggu penuh.
Ada banyak perempuan hamil, bahkan Sofi, rekan kerjanya itu terlihat normal tanpa keluhan sampai hari terakhirnya bekerja sebelum cuti.
Sofi tidak pernah sampai harus cuti berulang kali karena masalah kehamilannya. Berbanding terbalik dengan dirinya yang baru menginjak minggu ke dua puluh dua dan sudah mengambil dua kali cuti karena harus bedrest.
Kevin menarik tangan istrinya, membawanya kembali berbaring dan merapatkan tubuhnya dengan Bya, "maaf ya, kalo aku cuma bisa larang kamu ini itu, maaf kalo aku terlalu batesin gerakan kamu," mohon Kevin menyisipkan anak rambut istrinya, "aku takut kalo kalian berdua kenapa-kenapa."
Bya mendesah pelan, "apa ini efek pil 'itu' ya, Mas?" tanya Bya. Rasa bersalahnya terus tumbuh begitu saja, apalagi setelah kejadian dua minggu lalu.
Kevin mengecup bibir istrinya singkat, "sssstt! nggak boleh ngomong gitu," ucapnya menghentikan istrinya agar tidak merembet kemana-mana. "Dia cuma kecapean aja kan kata Dokter Aneke," lanjutnya.
Tak ada balasan dari Bya, sejujurnya Kevin tau jika istrinya stress dengan kondisinya, Bya terbiasa leluasa dan sekarang dirinya hamil ditambah cemasnya karena kejadian pil itu semakin membuat istrinya kepikiran.
"Jangan kecapean, jangan banyak pikiran, dan jangan stress. Kamu harus happy, pasti adek juga bakal ikut happy," pinta Kevin mengusap pipi istrinya lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Everyday
ChickLitMenurut Bya, jatuh cinta tidak ada dalam daftar jobdesk ketika dirinya menandatangani kontrak dengan HRD. Kevin Kuo, tidak pernah menyangka jika dia bisa menjadikan seseorang baru sebagai tempatnya kembali setiap malam, bercerita panjang lebar tenta...