Chapter 09

346 28 3
                                    

Entah bisa disebut sial atau konyol, sepertinya keduanya. Pertama, Eko yang entah kenapa mengiyakan ajakan mereka, dia tak tahu kenapa dia bisa berkata demikian tanpa dia mau. Apa hati kecilnya memang menginginkan itu? Memang ada yang begitu?

Lalu kedua, konyolnya, mobil teman Valerie bermasalah, hingga mobil Eko-lah yang jadi sasaran untuk pergi.

Dan terakhir ... kini di dalam mobil, ia sebayai pengemudi, dan Valerie duduk di sampingnya. Suasana canggung cukup kentara meski sedikit teratasi oleh ocehan teman Valerie di belakang yang membicarakan soal kebodohannya tak menjaga mobil dengan baik, dan mungkin akan dimarahi sang suami yang tengah dalam pelayaran.

Mau tak mau Eko mengikuti sebab akibat yang dia lakukan, persetan dengan mulutnya yang suka asal jeblak, meski rasanya tak mungkin seaneh itu. Niat hati menjauh, malah tak sengaja mendekat, dan sekarang Eko berpikir lagi soal keputusannya.

Dia ini pria bukan, sih? Keputusan saja tak bisa bulat.

Sepanjang perjalanan, keduanya hening, hanyut dalam pikiran masing-masing.

Tak butuh waktu lama, mereka sampai di kedai yang dimaksud, Eko menghentikan mobil ke parkiran yang ada di sana, jadwalnya nanti makan, lalu mengantarkan keduanya pulang, kemudian pamit karena dia harus ke toko. Semoga saat datang dia tak dilempari gitar oleh sang ayah.

Memasuki kedai sederhana tetapi luas dan banyak pelanggan itu, mereka duduk di kursi yang sepi, pun mulai memesan apa yang ada. Tak butuh waktu lama untuk pesanan mereka sampai ....

Valerie kelihatan tak berselera makan, Eko jadi merasa bersalah, dan Eko juga sebenarnya sih kalau bisa meminta nasi setengah, karena dia yakin dia tak berselera makan juga ....

Tunggu, tangannya bergerak sendiri!

Dengan lahap, Eko memasukkan suap demi suap ke mulutnya, Eko nyaris tak bisa bicara karena ia terlihat rakus. Sebenarnya, dia ini kenapa, sih? Apakah stres berat memicu gerakan tak diinginkan ini?

Valerie dan temannya yang makan dengan santai agak tercengang dengan Eko.

"Kamu kayak gak makan setahun aja, Mas Eko." Teman Valerie tertawa dan Valerie terlihat menahan tawa, sulit sepertinya untuk tertawa mengingat situasi mereka.

Namun, Eko merasa itu hal baik kalau Valerie terhibur. "Um mmmoaf." Dia berkata, tak terlalu jelas, mau tak mau Eko mengunyah dan menelan isi mulutnya. "Maaf." Dia tertawa miris akan dirinya sendiri. "Aku memang suka sama nasi padamg, yah ini sangat enak."

Eko tak berbohong soal itu, tetapi dia merasa bodoh.

Syukurlah berikutnya, Eko bisa makan lebih santai dan sesuai keinginan otaknya, meski lebih santai ternyata lebih cepat dari yang lain. Para cewek belum menghabiskan makanan, Eko sudah tandas semua.

Lalu, kembali, gerakan aneh tak diinginkan Eko keluar lagi.

"Mas, tambah, ya. Lauknya ayam balado." Oke, ini di luar nalar, Eko harus memeriksakan diri ke rumah sakit.

"Waduh, acara nambah lagi." Teman Valerie tertawa, dan kali ini Valerie sepertinya tak bisa menahan tawanya.

Eko ... tersipu jadinya.

"Laper, hehe." Entahlah, Eko berpikir itu hal baik, apa mereka sungguh bisa bersama nantinya?

Entahlah, maju mundur, dan dari yang tidak yakin sama sekali menjadi tidak yakin saja.

Apa ini step yang bagus?

"Syukurlah jika kamu berpikir demikian." Eko terkejut dan menatap kiri kanan, seakan tadi ada suara yang berkata tepat di telinganya. Namun, tak ada yang sedekat itu.

"Nih, Mas, pesanannya." Pelayan datang, dan sepertinya Eko hanya salah dengar, kan?

"Mas, bungkus satu, rendang ya." Oke, kali ini Eko yang berkata sendiri, ada sang ayah yang perlu dia beri hadiah pulang nanti.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Masuk, Mas Eko! ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang