Acara makan malam itu berlangsung baik, dan Eko pun mengantarkan Valerie pulang bersama temannya. Rumah mereka tak berbeda jauh, di blok yang sama. Teman Valerie tampak turun bersamaan dengan Valerie.
"Makasih, ya, tumpangannya! Dah, Say, dah Mas," kata wanita itu. "Aku duluan." Dia pergi duluan seakan sengaja agar Eko dan Valerie berdua.
Ini canggung, memang tak semudah dulu, momen tadi pun hanya sekian kecil yang bisa memecahkan kecanggungan mereka.
"Makasih, ya, sudah anterin kami, Mas Eko." Valerie tampak tersenyum, meski agak ragu dia kelihatan tulus.
Eko balas tersenyum. "Iya, sama-sama, aku ... pergi dulu ya."
"Ya, hati-hati di jalan." Valerie memperhatikan Eko yang mulai memutar mobilnya dan berjalan menjauh, dan wanita itu sedikit terkejut.
Sekilas tadi, bayangan Eko, seakan berbeda dan terlihat seperti sosok familiar. Segera, si gadis mengucek matanya, dan yah tetap Eko. Mungkin dia salah lihat karena hari sudah gelap. Dia membuka pagar rumahnya dan masuk ke sana.
Sementara itu, Eko berkendara, dan kini sampai di depan toko musik miliknya. Pria itu segera turun bersama bingkisan di tangan, memasuki area toko ke arah kasir di mana ada sang ayah duduk di sana.
"Bukannya itu jas kamu pagi tadi?" tanya Robert, tak ada tegur sapa malah menanyakan pakaian Eko. "Kamu enggak mandi dan langsung datang ke sini?"
Uh, Eko baru sadar, dia segera mengecek bau badannya. Syukur saja, tak bau, andai bau kan memalukan sekali tadi. Cuma, ayahnya ini, datang-datang komentar soal pakaian langsung.
"Gak bau, kok, Pah." Eko meletakkan bingkisan di tangan ke meja.
"Pulang, mandi, dan istirahat, kamu terlihat berantakan." Apa iya? Eko menatap dirinya di salah satu piano yang berkilau.
Tak begitu, tuh. Dia lumayan senang karena momen kecil hari ini, meski tetap frustrasi sih.
"Papah aja yang pulang, biar aku jaga toko, tuh bawa sekalian nasi padangnya, itu rendang favorit Papah."
"Ck, nurut sama Papah, atau Papah genjreng kepala kamu?" Eko melindungi kepalanya akan ancaman pria super galak itu. "Pulang, jangan membantah."
Eko menghela napas, dia akui dia memang lelah, sangat. "Iya, Pah. Maaf aku gak bisa jagain toko hari ini."
Sang ayah berdiri, menepuk bahu sang putra lembut. "Sudahlah, kamu masih muda, masih banyak hal yang bisa kamu lakukan. Sekarang, cepat pulang."
Eko mengangguk. "Papah jangan lupa makan, aku pergi dulu."
"Hm, hati-hati." Eko pun berbalik, masuk ke mobilnya lagi, dan mulai berkendara pulang ke rumahnya.
Eko masuk ke sana, ke rumahnya yang sepi dan hening, sedikit beres-beres, membersihkan diri, kemudian baru dia berbaring di atas kasur kamarnya yang empuk dalam keadaan shirtless. Membiarkan hawa dingin menerpa langsung ke kulitnya.
Eko berpejam, dan di kepalanya teringat kenangan manis soal dia yang membuat Valerie tersenyum, meski dengan hal di luar kehendaknya. Mata Eko terbuka lagi dan menatap tangannya sendiri.
Hah ... dahlah, pusing memikirkannya. Dia memang sudah sedeng dan mungkin tak normal lagi. Buktinya, tiba-tiba dia pingsan ....
Omong-omong soal pingsan, setelahnya Willy Willy itu ke mana hilangnya?
Argh, pusing pusing.
Eko turu sajalah!
Eko memejamkan mata erat-erat, mengabaikan segala keanehan hari ini dan berharap besok akan lebih baik. Setidaknya kalau tak bisa lebih baik, jangan bertambah buruk.
Akhirnya, pria itu terlelap, jatuh dalam tidurnya setelah segala hal yang begitu menguras tenaga.
Namun, tiba-tiba ....
Sebuah tangan keluar dari dada Eko!
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
Masuk, Mas Eko! ✅
Romance"Tapi, Ko, daripada itu ... apa kamu gak mau masuk ke kehidupan Valerie dan jadi penyembuh luka Valerie?" "Aku berpikir begitu, sempat, tapi aku berpikir lagi. Apa menurutmu ... kalau bukannya menyembuhkan aku malah ... membuatnya semakin terluka?"...