"Eko, mending gigi kamu aja yang Mbak cabut sini!" Rachita kesal karena adik ipar suaminya itu begitu jail.
"Bercanda, Mbak. Bercanda. Eh eh eh, Tanaya, kamu tau gak cabut gigi sakiiit banget! Kayak digigit jerapah!" Mulai lagi menjaili keponakannya.
"Itu karena Uncle udah tua dan giginya gede, jadi sakit. Aku gigi susu, mana ada sakit! Wee!" Tanaya dengan cerdiknya mengejek balik.
"Ah, enggaklah, itu Uncle pas kecil kok nyabutnya. Sakiiit banget banget banget, terus dokternya galak banget, serem matanya, dokternya juga pakai tang gede, pokoknya nakutin deh."
"Uncle, aku bukan anak kecil! Aku bentar lagi sembilan tahun!" Tanaya tegas, tapi sembilan tahun kan memang masih anak kecil. "Dulu aku ke sini juga dan gak papa tuh! Dokternya cantik, baik, Om gak bisa nipu aku, deh!" Tanaya menang telak, Rachita tertawa diam-diam bahkan Hansel kecil ikut menertawakan.
"Pinter banget kamu, ya." Eko mengakui kekalahannya.
"Kalau pinter, hadiahnya dong!" Tanaya menadahkan tangan, tersenyum manis.
"Nanti aja pas ulang tahun kamu, nanti Uncle kabulin semua permintaan kamu."
"Aku mau Aunty aja!"
"Eh ...." Tanaya memang ngadi-ngadi permintaannya.
"Tanaya." Sang ibu menegur.
Tanaya tertawa saja. "Bercanda, Uncle. Kita ke taman air aja."
"Oke kalau gitu, siap."
"Tanaya Putri." Panggilan itu membuat mereka semua menoleh, dan Eko menyadari apa yang dikatakan Tanaya benar.
Dokter cantik.
Wajah ramahnya memancarkan kehangatan di sana, Eko terkesima, sejenak, dan kemudian memperhatikan sang keponakan berjalan dengan percaya diri ke arah wanita itu, bergandengan dan masuk ke dalam ruangan.
Eko melihat tulisan yang terpampang di bagian tanda nama depan ruangan, tentang dokter yang bertugas hari ini.
drg. Xena Thomas, Sp.KGA
Plak!
"Aw argh!" Eko terkejut karena tiba-tiba menampar dirinya sendiri, dan Rachita yang ada di sana sama terkejutnya.
"Eko, kenapa kamu?" tanya sang wanita heran.
"Oh, um, gak papa, Mbak." Eko tersenyum kecut, meski dia yakin tercetak warna kemerahan di pipinya dengan bentuk tangan. "Um, oh, Mbak, aku permisi dulu. Ada urusan."
"Urusan apa? Sama Valerie? Apa kalian sudah ... apa nyebutnya, berbaikan?"
Eko diam, hubungan mereka lebih tepatnya, rumit. "Yah, entahlah, kita lihat aja nanti, Mbak."
"Sabarlah, kalau jodoh, pasti akan ketemu." Mendengarnya, Eko menghela napas seraya tersenyum.
"Kalau gitu aku pergi dulu. Dah, Mbak, dah juga Hansel, ututu lucunya." Hansel kecil tertawa melihat sang paman, dan kemudian dengan sendu Eko berjalan.
Mungkin dia perlu janji temu dengan poli syaraf, gila tadi kenapa tangannya bergerak memukul diri sendiri? Mana sakit, pedas banget. Eko memegang pipinya, huhu.
Dan entah pucuk dicinta ulam pun tiba, siapa sangka Eko berpapasan dengan seseorang yang tadi ia cari. Keduanya berhenti seketika seakan waktu tak berputar lagi di antara mereka.
Sampai, Eko tersadar. "Mm ha-hai, Valerie." Kalau berduaan begini, kecanggungannya meningkat drastis.
"Mm hai, Mas Eko, eh pipi Mas kenapa? Seseorang mukul Mas?" Wajah Valerie khawatir melihat cetakan merah berbentuk tangan di pipi Eko, tampak jelas.
Dan apa Eko harus bilang dia baru saja menampar diri sendiri karena gerakan spontan tak dia inginkan?
"Oh, gak papa gak papa, cuman ... masalah sederhana." Sebenarnya rumit, tapi siapa yang mendengar kegilaan Eko?
"Uh begitu, maaf keknya aku ketinggalan makan siang."
"Gak papa, gak papa, aku ngerti, pasien perlu penanganan, kamu ... dokter yang sigap."
Valerie tersenyum kecil. "Kamu sudah makan sama teman-teman, kan?" Eko mengangguk jujur. "Syukurlah."
"Tapi, aku makan sedikit, apa kamu mau makan siang? Ayo sama-sama."
Bukan, Eko tak berinisiatif begitu, lho. Woi woi woi!
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
Masuk, Mas Eko! ✅
Romance"Tapi, Ko, daripada itu ... apa kamu gak mau masuk ke kehidupan Valerie dan jadi penyembuh luka Valerie?" "Aku berpikir begitu, sempat, tapi aku berpikir lagi. Apa menurutmu ... kalau bukannya menyembuhkan aku malah ... membuatnya semakin terluka?"...