Chapter 14

254 25 0
                                    

Eko sebenarnya berinisiatif ke dokter syaraf, atau mungkin dokter kejiwaan, tetapi karena ucapannya tadi mau tak mau dia ikut saja. Kini, dia dan Valerie sudah ada di kantin, duduk berdua dengan perasaan canggung, sembari memesan makanan mereka.

Namun, Valerie mengambil sesuatu di lemari es krim, nyatanya wanita tersebut mengambil sebungkus es batu di sana dan meletakkan ke pipi Eko. Sejenak, Eko terkejut.

"Kamu enggak berantem, kan, Mas?" tanya Valerie, sepertinya masih memikirkan cetakan merah tangan di pipi Eko yang sangat tampak.

Eko mau menggeleng, ingin jujur, tetapi alasan lain apa yang masuk akal? "Yah, begitulah, cuman masalah antar lelaki. Bukan hal besar."

Usai mengompres, Eko merasa lebih lega, dan Valerie mengembalikan kantong es ke tempatnya. Makanan mereka pun tak lama sampai dan mereka menyantap makan siang masing-masing.

"Omong-omong ...." Siapa sangka, Valerie memulai pembicaraan. "Aku ... cuman punya waktu sebentar untuk makan siang."

"Oh, iya, aku ngerti." Eko sangat paham Valerie pasti harus mengurus pasien. "Kamu semangat, ya, kerjanya."

"Iya, terima kasih, Mas." Valerie tersenyum balik.

Sesuai ungkapan Valerie, usai makan siang sang wanita langsung pamit pergi dan Eko merasa ada sebagian dirinya yang hilang. Namun, dia tak mau egois dan terlalu berharap ... mereka kan hanya temanan. Dia seperti ada di tengah jembatan, ujung sana ada zombie ujung lainnya hewan buas.

Benar-benar tak tahu arah tujuan.

Eko memilih memesan minuman, mau menghabiskan waktu lebih lama di sini dengan santai-santai, membunuh banyak waktu dengan aktivitas tak berguna memang kebiasaan buruk Eko, sih.

"Eko, kamu masih di sini?" Eko menoleh dan menemukan Rachita dan dua keponakannya di sana.

"Eh, Mbak," kata Eko, sedikit tertawa miris, kemudian mereka duduk tepat di seberangnya.

"Mending kamu ngapain daripada nge-sadboy mulu di rumah sakit."

"Eh, um, gak gitu, Mbak." Baru saja dia tadi makan bareng Valerie, meski yah tak berjalan mulus.

"Uncle jadi sadboy!" ejek Tanaya geli.

"Yeee, mending, daripada kamu, liat ompong!" Eko mengejek balik. "Iii, ompong!"

"Gak papa, kan nanti tumbuh lagi! Wee!" Keduanya seperti anak kecil, Rachita hanya bisa menggeleng miris melihatnya.

"Mbak sendiri gak pulang?" tanya Eko pada mereka.

"Kami mau istirahat sebentar."

"Uncleee, minta jajaaan!" Tanaya dengan manja ke arah Eko.

"Mbak, ini boleh makan dia?" Eko memastikan dulu.

"Boleh, kok, asalkan makanan yang gak keras atau yang bisa bikin ngilu, jangan soda atau sejenisnya oke?" kata seseorang, semua menoleh dan menemukan dokter cantik itu.

Dokter Xena ....

"Siap, Dokter! Aku juga maunya makan pas di rumah aja, kok." Tanaya tersenyum lebar dan menuju ke arah tempat jajan.

"Heh, Uncle belum bilang boleh." Namun, percuma sih, mau tak mau dibelikan.

"Dokter Xena, apa mau makan siang juga? Duduklah di sini sama kami," ucap Rachita hangat.

"Terima kasih, Bu Rachita." Xena pun duduk, tepat di samping Eko. "Oh ya, ini Eko, keluarga suami saya," ucap Rachita memperkenalkan.

"Bu Dokter." Eko menyapa hangat, dan dari sini Dokter Xena kelihatan lebih cantik. "Argh!"

Semua terkejut ketika Eko mengaduh spontan, mereka menatap Eko keheranan.

"Eko, kamu kenapa?"

Eko menggeleng, dan menatap ke bawah. Apakah ada sesuatu di sana? Tak ada selain kakinya sendiri dan kaki yang lain berjauhan. Pasti bukan sakit tiba-tiba, Eko menyimpulkan kakinya bergerak sendiri kemudian menginjak kakinya sendiri sangat keras, apalagi sepatu yang dia pakai sepatu keras.

Sakit, Eko mau menangis rasanya.

Badan dia kenapa, sih?!

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

Masuk, Mas Eko! ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang