Sebuah nampan berisikan makanan dihidangkan Fitri di atas permadani bemotif bunga mawar tepat di hadapan Kaif. Namun, kelihatannya Kaif tidak begitu merespons kedatangan makanan tersebut, matanya tersorot penuh menatap seberang yang bila diikuti arah pandang Kaif tertuju pada Ruhi memicu senyuman di bibir Fitri tatkala menciduk tingkah putranya ini.
“Ngelihatin apa sih kamu?” tegur Fitri membuyarkan lamunan Kaif, sang putra tertunduk malu begitu ditegur. “Ruhi nggak bakal lari, jadi nggak usah dipantau terus.”
Blush! Wajah Kaif mendadak terasa hangat dengan telinga yang memerah salah tingkah.
“Santai, Kaf. Tahan, nggak usah ngereog apalagi jungkir balik cuma karena salting!” bisik Kaif dalam hati, dia berdehem singkat seraya menetralkan raut wajah.
Di hadapannya kini sudah ada Ilham bersama putri paman yang sekarang sudah menjabat sebagai istrinya dan Kaif menyadari bahwa perempuan yang diiming-imingnya dipinang lewat surat ternyata sudah menikah itupun dengan lelaki yang disebut sebagai iparnya sendiri. Iya─Alisa─putri ustadz Hamdan yang sempat Kaif ungkapkan cinta kepadanya melalui selembar surat saat kajian tempo hari lalu. Meskipun itu hanya candaan karena gabut.
Lirik ke samping. Lagi, Kaif tersenyum. Hatinya berdesir halus begitu tersadar akan keberadaan sosok yang bahkan dikatakan lebih sempurna menurut versinya. Entah mengapa bahagia rasanya hati bisa bertemu Ruhi secara langsung bukan melalui foto yang bentukannya gepeng. Apalagi sore menjelang malam ini mereka mengadakan acara makan bersama, sudah barang pasti untuk kali pertama bagi Kaif dan Ruhi.
Namun, rasanya masih ada yang kurang bagi Kaif mengharuskannya mendekati sang ibunda dan berbisik, “Bun. Kok, kita duduknya jauhan gini sih? Banyak celah antara Kaf sama dia, nanti setan ikut makan kalau dikasih celah.”
“Kamu ini, ya! Ada-ada saja alasannya. Terus mau gimana?” balas Fitri ikut berbisik.
“Suruh dia dekatan lagi dong, Bun. Masa makannya kayak orang marahan,”
“Ya ampun, Kaf. Blak-blakkan banget kamu, minimal tunjukkan sikap malu-malu, bukan malah cenderung malu-maluin!”
“Basi, Bun. Pingin Kaf dekat sama dia!” gumam Kaif dengan wajah cemberut.
Fitri hanya bisa menghela napas melihat tingkah kekanak-kanakan putranya ini, tetapi tetap saja menuruti kemauannya. Lagipula memang tak ada salahnya memberi akses bagi Kaif untuk berdekatan dengan istrinya, pun acara makan malam ini diadakan untuk memperkenalkan keduanya meski tidak secara resmi. Hanya dihadiri oleh Ilham selaku abang kandung Ruhi dan Alisa istri Ilham, keduanya mewakili keluarga besar mereka dalam acara sederhana ini.
Didekatinya Ruhi, Kaif menyaksikan betul bagaimana bunda berupaya membujuk menantunya sampai Ruhi beranjak dari tempat dan duduk bersebelahan dengan suaminya ini. Tak lama setelahnya bunda menyusul, hingga ditariknya senampan makanan yang sempat dibawa Ruhi tadi membuat sang empu terheran.
“Ruhi sepiring berdua sama Kaif, ya. Bunda nggak kebagian soalnya,” kata Fitri tentu saja berbohong.
Ruhi yang tak tahu apapun hanya mengangguk dan menyerahkan nampan itu secara suka rela. Lain halnya dengan Kaif yang hanya tersenyum penuh kemenangan, lengkap sudah.
“Ayo, semuanya silakan makan. Nak Ilham dan Alisa,” ujar Fitri diangguki oleh Ilham dan istrinya.
Acara makan malam pun dimulai. Kaif sudah tak sabaran melayani perutnya yang sudah keroncongan, tetapi saat akan meraih sesuap nasi dia malah mendapat teguran dari Ruhi.
“Basuh tangan dulu,” bisik Ruhi menegur.
“Lah, iya!” tanggap Kaif dan bersegera mencuci tangan dengan air dalam mangkuk kecil di hadapannya. Baru setelah itu Kaif akan meraih lauk pauk untuk dimakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Hati Berkiblat [END]
SpiritualKisah ini tentang Kaif al-Jihah; mantan badboy kampus yang sedang dalam fase belajar hijrah. Di usia yang masih terbilang muda juga sibuk menata masa depan, Kaif malah diminta ibunya menikah karena wasiat ayah. Ya, menikahi gadis yang bahkan belum...